26 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Nekat Mudik, Sanksi Isolasi hingga Denda Rp100 Juta Menanti

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Pemerintah melarang mudik semua kalangan masyarakat, baik itu karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum. Bagi yang nekat mudik, bisa dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Aturan larangan mudik pada 6-17 Mei tertuang dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 selama bulan suci Ramadan 1442 Hijriah. Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan masyarakat yang nekat mudik akan diberikan sanksi yang berpatokan pada undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam Pasal 93 disebutkan bahwa hukuman kurungan paling lama adalah setahun dan denda maksimal hingga Rp100 Juta bila melanggar aturan mudik ini. “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta,” demikian bunyi Pasal 93.

Kakorlantas Polri Irjen Istiono menyampaikan warga yang nekat mencuri start mudik sebelum 6 Mei 2021 akan dikarantina lima hari. Karantina tidak di rumah masing-masing, tetapi di tempat yang sudah disediakan pemerintah daerah setempat.

Menanggapi berbagai kebijakan untuk mencegah masyarakat mudik, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman mengatakan hal itu bisa saja berjalan, tetapi tantangannya cukup berat. Menurut dia, harus ada penjelasan bahwa larangan mudik hanya sementara karena masih pandemi Covid-19.

“Covid-19 masih sangat berbahaya, mudik bisa jadi klaster baru, gagal memutus mata rantai penularan. Pejabat, tokoh-tokoh masyarakat, ulama harus memberikan contoh bahwa mereka tidak mudik. Dibutuhkan keteladanan,” tuturnya.

Sedangkan anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen berpendapat bahwa pemerintah daerah (Pemda) harus tanggap dan merespons secara tepat penanganan pemudik yang datang terlebih dahulu sebelum Ramadhan. Nabil menilai harus ada upaya pencegahan agar virus tidak menyebar secara cepat.

“Misal, dengan isolasi dulu di penginapan atau hotel, sebelum masuk ke kampung halaman. Maka, pada titik ini, pemda harus berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat, untuk mengatur agar desa bisa tercegah dari penularan virus,” ujar Nabil.

Menurut dia, ketegasan yang bisa dilakukan pemda dengan isolasi selama waktu yang direkomendasikan. “Atau, dengan menunjukkan surat negatif Covid-19 dari institusi yang berwenang. Akan tetapi, koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah desa sangat penting untuk Tindakan pencegahan ini,” katanya.

Dia pun menilai Pemerintah Pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar informasinya tepat dan satu pintu. “Kalau kebijakannya mengambang, maka tidak akan efektif. Maka, kebijakan satu pintu yang integral antara pemerintah pusat dan daerah ini sangat penting,” ujar Nabil. (bbs/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Pemerintah melarang mudik semua kalangan masyarakat, baik itu karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum. Bagi yang nekat mudik, bisa dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Aturan larangan mudik pada 6-17 Mei tertuang dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 selama bulan suci Ramadan 1442 Hijriah. Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan masyarakat yang nekat mudik akan diberikan sanksi yang berpatokan pada undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam Pasal 93 disebutkan bahwa hukuman kurungan paling lama adalah setahun dan denda maksimal hingga Rp100 Juta bila melanggar aturan mudik ini. “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta,” demikian bunyi Pasal 93.

Kakorlantas Polri Irjen Istiono menyampaikan warga yang nekat mencuri start mudik sebelum 6 Mei 2021 akan dikarantina lima hari. Karantina tidak di rumah masing-masing, tetapi di tempat yang sudah disediakan pemerintah daerah setempat.

Menanggapi berbagai kebijakan untuk mencegah masyarakat mudik, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman mengatakan hal itu bisa saja berjalan, tetapi tantangannya cukup berat. Menurut dia, harus ada penjelasan bahwa larangan mudik hanya sementara karena masih pandemi Covid-19.

“Covid-19 masih sangat berbahaya, mudik bisa jadi klaster baru, gagal memutus mata rantai penularan. Pejabat, tokoh-tokoh masyarakat, ulama harus memberikan contoh bahwa mereka tidak mudik. Dibutuhkan keteladanan,” tuturnya.

Sedangkan anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen berpendapat bahwa pemerintah daerah (Pemda) harus tanggap dan merespons secara tepat penanganan pemudik yang datang terlebih dahulu sebelum Ramadhan. Nabil menilai harus ada upaya pencegahan agar virus tidak menyebar secara cepat.

“Misal, dengan isolasi dulu di penginapan atau hotel, sebelum masuk ke kampung halaman. Maka, pada titik ini, pemda harus berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat, untuk mengatur agar desa bisa tercegah dari penularan virus,” ujar Nabil.

Menurut dia, ketegasan yang bisa dilakukan pemda dengan isolasi selama waktu yang direkomendasikan. “Atau, dengan menunjukkan surat negatif Covid-19 dari institusi yang berwenang. Akan tetapi, koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah desa sangat penting untuk Tindakan pencegahan ini,” katanya.

Dia pun menilai Pemerintah Pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar informasinya tepat dan satu pintu. “Kalau kebijakannya mengambang, maka tidak akan efektif. Maka, kebijakan satu pintu yang integral antara pemerintah pusat dan daerah ini sangat penting,” ujar Nabil. (bbs/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/