28 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Mobil 2006 ke Atas Wajib Pertamax

Sudah Pakai Standar Emisi Euro 2

JAKARTA – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengusulkan kepada pemerintah agar mobil keluaran tahun 2006 keatas dilarang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Selain membantu mengurangi beban Negara, hal itu juga bisa membuat kendaraan menjadi lebih awet.

ISI BBM: Sejumlah mobil tengah mengisi bahan bakar  SPBU 142011126  Jalan Brigjend Katamso Medan, beberapa waktu lalu.//ANDRI GINTING/SUMUT POS
ISI BBM: Sejumlah mobil tengah mengisi bahan bakar di SPBU 142011126 di Jalan Brigjend Katamso Medan, beberapa waktu lalu.//ANDRI GINTING/SUMUT POS

“Itu sebenarnya sudah ada aturannya, yang dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian sejak tahun 2006. Bahwa sejak tahun 2006 itu seharusnya seluruh kendaraan produksi baru wajib memakai BBM dengan oktan 91 keatas,” ujar Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto saat dihubungi kemarin.

Kebijakan itu sendiri merujuk dari kualitas produksi mobil yang sejak tahun 2006 sudah menggunakan standae emisi Euro 2. Mobil dengan spesifikasi tersebut tidak cocok lagi menggunakan bahan bakar dengan oktan 91 ke bawah. “Sejak 2006 semua sudah memakai standar emisi Euro 2, jadi mesin-mesin itu seharusnya memakai BBM dengan oktan 91 keatas,” tuturnya.

Saat ini Pertamina memiliki dua produk utama yaitu Premium dengan oktan 88, dan Pertamax yang memiliki kandungan oktan 92. Para pemilik mobil kebanyakan memilih Premium karena disubsidi pemerintah sehingga harganya lebih murah, yaitu Rp 4500 perliter. Sementara Pertamax yang tidak disubsidi harganya antara Rp 9000-10.000 perliter.

Jongkie menegaskan, jika pemilik mobil masih memaksakan mengkonsumsi BBM dengan oktan dibawah 91, maka kendaraan akan cepat rusak. “Pakailah BBM yang benar. Baca dong owners manual, pasti tertulis di situ harus pakai bahan bakar sesuai Euro 2, itu berarti harus yang beroktan 91 keatas, jangan cuma mau murah aja,” kata dia .

Kalau pemilik mobil baru enggan membeli Pertamax karena mengira Premium yang beroktan 88 lebih murah, Jongkie menilai itu pilihan keliru. Sebab mesin akan lebih cepat rusak sehingga merugikan konsumen itu sendiri. “Nanti ketika mobilnya bunyi klitik-klitik baru deh ngeluh. Padahal kalau oktannya sesuai tidak akan seperti itu,” cetusnya.

Oleh sebab itu, Gaikindo menyatakan mendukung pembatasan BBM bersubsidi. Caranya dengan melarang mobil-mobil keluaran tahun 2006 keatas untuk membeli Premium. Pembatasan seperti itu dianggap lebih adil daripada melarang seluruh mobil membeli Premium. “Saya kira pemilik mobil 2006 ke atas sudah termasuk golongan yang mampu,” tegasnya.

Namun Jongkie mengakui ketersediaan BBM non-subsidi masih kalah banyak dibanding premium. Karena itu dia mengingatkan Pertamina untuk menambah produkai Pertamax jika kebijakan seperti itu dilakukan. “Pertamina harus mengikuti tren bahan bakar dunia, atau industri otomotif dalam negeri akan stagnan dari segi teknologi,” sebutnya.

Sebab, lanjut dia, disaat Indonesia menerapkan kebijakan kendaraan baru minimal harus standar Euro 2, beberapa negara sudah menerapkan standar Euro 4. “Nanti kalau tren mesin harus Euro 4, itu minta BBM yang oktannya lebih tinggi lagi, bisa 95. Nah, Pertamina siap atau tidak, ketika industri sudah euro 4 karena Thailand sudah menerapkan itu sekarang,” ungkapnya.

Wakil Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai pemerintah tidak akan berani melakukan kebijakan melarang mobil 2006 keatas mengkonsumsi Premium. Pasalnya sekarang ini sudah mendekat Pemilu Presiden. Pemerintah dinilai hanya berani melakukan pembatasan khusus bagi kendaraan pemerintah. “Kalau pemerintah tegas, setidaknya harga BBM subsidi sudah naik,” tukasnya.

Ketidaktegasan pemerintah itu terlihat dari bersikerasnya pemerintah melakukan pembatasan BBM subsidi hanya kepada kendaraan pemerintah, BUMN, BUMD, serta kendaraan pertambangan dan perkebunan.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini telah mendorong harga BBM subsidi agar dinaikkan Rp 1.500 per liter sehingga menjadi Rp 6.000/liter. Jika ini terjadi maka anggaran subsidi BBM bisa hemat Rp 56 triliun.  (wir/jpnn)
Sayang, Rudi kemudian dimutasi menjadi Kepala SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi). Cita-citanya kandas. (wir/jpnn)“Kebijakannya masih itu-itu saja, yang sudah pasti tidak akan efektif mengurangi subsidi secara signifikan. Padahal pembatasan seperti lebih ramai polemiknya daripada hasilnya,” jelasnya

Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini telah mendorong harga BBM subsidi agar dinaikkan Rp 1.500 per liter sehingga menjadi Rp 6.000/liter. Jika ini terjadi maka anggaran subsidi BBM bisa hemat Rp 56 triliun. Sayang, Rudi kemudian dimutasi menjadi Kepala SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi). Cita-citanya kandas. (wir/jpnn)

Sudah Pakai Standar Emisi Euro 2

JAKARTA – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengusulkan kepada pemerintah agar mobil keluaran tahun 2006 keatas dilarang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Selain membantu mengurangi beban Negara, hal itu juga bisa membuat kendaraan menjadi lebih awet.

ISI BBM: Sejumlah mobil tengah mengisi bahan bakar  SPBU 142011126  Jalan Brigjend Katamso Medan, beberapa waktu lalu.//ANDRI GINTING/SUMUT POS
ISI BBM: Sejumlah mobil tengah mengisi bahan bakar di SPBU 142011126 di Jalan Brigjend Katamso Medan, beberapa waktu lalu.//ANDRI GINTING/SUMUT POS

“Itu sebenarnya sudah ada aturannya, yang dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian sejak tahun 2006. Bahwa sejak tahun 2006 itu seharusnya seluruh kendaraan produksi baru wajib memakai BBM dengan oktan 91 keatas,” ujar Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto saat dihubungi kemarin.

Kebijakan itu sendiri merujuk dari kualitas produksi mobil yang sejak tahun 2006 sudah menggunakan standae emisi Euro 2. Mobil dengan spesifikasi tersebut tidak cocok lagi menggunakan bahan bakar dengan oktan 91 ke bawah. “Sejak 2006 semua sudah memakai standar emisi Euro 2, jadi mesin-mesin itu seharusnya memakai BBM dengan oktan 91 keatas,” tuturnya.

Saat ini Pertamina memiliki dua produk utama yaitu Premium dengan oktan 88, dan Pertamax yang memiliki kandungan oktan 92. Para pemilik mobil kebanyakan memilih Premium karena disubsidi pemerintah sehingga harganya lebih murah, yaitu Rp 4500 perliter. Sementara Pertamax yang tidak disubsidi harganya antara Rp 9000-10.000 perliter.

Jongkie menegaskan, jika pemilik mobil masih memaksakan mengkonsumsi BBM dengan oktan dibawah 91, maka kendaraan akan cepat rusak. “Pakailah BBM yang benar. Baca dong owners manual, pasti tertulis di situ harus pakai bahan bakar sesuai Euro 2, itu berarti harus yang beroktan 91 keatas, jangan cuma mau murah aja,” kata dia .

Kalau pemilik mobil baru enggan membeli Pertamax karena mengira Premium yang beroktan 88 lebih murah, Jongkie menilai itu pilihan keliru. Sebab mesin akan lebih cepat rusak sehingga merugikan konsumen itu sendiri. “Nanti ketika mobilnya bunyi klitik-klitik baru deh ngeluh. Padahal kalau oktannya sesuai tidak akan seperti itu,” cetusnya.

Oleh sebab itu, Gaikindo menyatakan mendukung pembatasan BBM bersubsidi. Caranya dengan melarang mobil-mobil keluaran tahun 2006 keatas untuk membeli Premium. Pembatasan seperti itu dianggap lebih adil daripada melarang seluruh mobil membeli Premium. “Saya kira pemilik mobil 2006 ke atas sudah termasuk golongan yang mampu,” tegasnya.

Namun Jongkie mengakui ketersediaan BBM non-subsidi masih kalah banyak dibanding premium. Karena itu dia mengingatkan Pertamina untuk menambah produkai Pertamax jika kebijakan seperti itu dilakukan. “Pertamina harus mengikuti tren bahan bakar dunia, atau industri otomotif dalam negeri akan stagnan dari segi teknologi,” sebutnya.

Sebab, lanjut dia, disaat Indonesia menerapkan kebijakan kendaraan baru minimal harus standar Euro 2, beberapa negara sudah menerapkan standar Euro 4. “Nanti kalau tren mesin harus Euro 4, itu minta BBM yang oktannya lebih tinggi lagi, bisa 95. Nah, Pertamina siap atau tidak, ketika industri sudah euro 4 karena Thailand sudah menerapkan itu sekarang,” ungkapnya.

Wakil Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai pemerintah tidak akan berani melakukan kebijakan melarang mobil 2006 keatas mengkonsumsi Premium. Pasalnya sekarang ini sudah mendekat Pemilu Presiden. Pemerintah dinilai hanya berani melakukan pembatasan khusus bagi kendaraan pemerintah. “Kalau pemerintah tegas, setidaknya harga BBM subsidi sudah naik,” tukasnya.

Ketidaktegasan pemerintah itu terlihat dari bersikerasnya pemerintah melakukan pembatasan BBM subsidi hanya kepada kendaraan pemerintah, BUMN, BUMD, serta kendaraan pertambangan dan perkebunan.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini telah mendorong harga BBM subsidi agar dinaikkan Rp 1.500 per liter sehingga menjadi Rp 6.000/liter. Jika ini terjadi maka anggaran subsidi BBM bisa hemat Rp 56 triliun.  (wir/jpnn)
Sayang, Rudi kemudian dimutasi menjadi Kepala SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi). Cita-citanya kandas. (wir/jpnn)“Kebijakannya masih itu-itu saja, yang sudah pasti tidak akan efektif mengurangi subsidi secara signifikan. Padahal pembatasan seperti lebih ramai polemiknya daripada hasilnya,” jelasnya

Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini telah mendorong harga BBM subsidi agar dinaikkan Rp 1.500 per liter sehingga menjadi Rp 6.000/liter. Jika ini terjadi maka anggaran subsidi BBM bisa hemat Rp 56 triliun. Sayang, Rudi kemudian dimutasi menjadi Kepala SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi). Cita-citanya kandas. (wir/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/