30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

IPW: Banyak Polisi Stres

Neta S Pane
Neta S Pane

SUMUTPOS.CO – Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan, kasus polisi tembak polisi atau kasus polisi menembak atasannya bukanlah hal baru di Indonesia.

Tapi, kata dia, peristiwa penembakan terhadap AKBP Pamudji hingga tewas yang diduga dilakukan oleh seorang Brigadir di Polda Metro Jaya merupakan pukulan bagi korps kepolisian, khususnya Polda Metro.

“Sebab kasus penembakan itu terjadi saat Kapolda Metro Jaya dan jajarannya sedang melakukan acara pisah sambut antara Kapolda lama dengan Kapolda baru di Auditorium PTIK,” kata Neta dalam keterangan persnya, Rabu (19/3).

Selain itu, Neta menambahkan, kasus penembakan ini mencoreng atau mencederai situasi keamanan Jakarta yang sangat kondusif setelah tiga hari masa kampanye pemilu 2014.

Yang membuat tragis lagi, kata Neta, jika di tahun-tahun sebelumnya muncul tren aksi penembakan misterius terhadap polisi, kini yang terjadi adalah polisi menembak polisi.

“Kasus ini harus dituntaskan dengan cepat. Jika tidak dikhawatirkan akan menjadi tren, yakni anak buah yang emosional akan dengan gampang menembak atasannya,” papar Neta.

Menurutnya, belajar dari kasus ini Polri tampaknya harus kembali mengevaluasi penggunaan senjata api di jajaran bawahnya. Artinya, lanjut dia,  tes psikologi secara reguler terhadap polisi pemegang senjata api harus dilakukan dengan serius.

“Tujuannya agar kasus polisi tembak atasanya tidak terulang, apalagi di Jakarta sebagai barometer kamtibmas di Indonesia,” ungkapnya.

Ia menambahkan, bagaimana pun kasus polisi tembak polisi ini menjadi pukulan psikologis bagi Kapolda baru.

Neta juga menyampaikan, para pimpinan Polri harus menyadari bahwa belakangan ini cukup banyak polisi yang terkena stres.

Menurutnya, tekanan tugas yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta kerap membuat polisi tidak punya waktu luang, sementara penghasilan mereka sangat terbatas kerap memunculkan problem di rumah tangga.

Dia mengatakan, stres akibat tekanan psikologi yang berat itu kerap menimbulkan dua hal. Pertama, polisi gampang bunuh diri (trennya meningkat dari tahun ke tahun).

Kedua, polisi gampang kalap dan emosional serta gampang melepaskan tembakan, termasuk kepada rekannya atau atasannya.

“Kondisi ini perlu dicermati agar kasus polisi tembakan polisi atau polisi tembak atasan tidak terus berulang,” pungkasnya.

Anggota Komisi III DPR RI, Harry Witjaksono meminta Wakapolri Komisaris Jenderal Badroedin Haiti segera menetibkan disiplin di internal Polri menyusul kasus dugaan pembunuhan terhadap Kepala Detasemen Markas Polda Metro Jaya, AKBP Pamudji di markasnya, tadi malam.

“Ini tugas Pak Wakapolri, apapun kalau antar polisi antar anggota saling tembak ini Pak Badroedin ini menegakkan disiplin, jadi apapun perstiwanya. Tidak zamannya polisi main tembak-tembakan,” kata Harry.

Menurutnya, terjadinya kasus dugaan pembunuhan seorang perwira menengah Polri di lingkungan Polri sendiri tidak bisa dilepaskan dari masalah disiplin. Sebab, ada banyak faktor yang bisa memicu kejadian itu.

“Ini masalah disiplin, polisi tugasnya rentan pelanggaran hukum, tugas reserse ada kepenatan, kejenuhan. Bisa juga terjadi persaingan antar reserse, atau persinggungan pribadi,” jelas politikus Partai Demokrat itu.

Ditambahkannya, kejadian ini tidak boleh terjadi kembali karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Dia juga meminta Mabes Polri melakukan pemeriksaan psikologis secara berkala terhadap jajaran anggota Polri.

“Secara berkala mereka (khususnya reserse) harus diperiksa (psikologisnya). Masih layak tidak memegang senjata. Ini kan masih labil. Saya mengharapkan Pak Badroedin (membenahi disiplin Polri) karena dia baru diangkat. Begitu juga Pak Kapolda,” tandasnya.

Kapolri, Jenderal Sutarman menekankan, kejadian tersebut menjadi feedback bagi kepolisian untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Peminjaman pistol harus melalui serangkaian psikotes. Kalau anggota polisi itu orangnya emosional tidak boleh memegang senjata api.

“Itu saya sudah sampaikan ke Satker. Uji ulang apakah ini memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan psikotes yang ketat. Kalau polisinya gampang marah mudah emosi, jangan dikasih (pistol), itu berbahaya,” jelas Sutarman.

Sutarman juga belum dapat memastikan apakah senjata api yang dipakai untuk menembak perwira menengah di Polda Metro Jaya itu merupakan senjata piket. “Semua akan kita periksa, periksa ulang psikologis dan teknis pemeriksaan kita serahkan (ke penyidik),” ujarnya.(fat/boy/jpnn/bbs/net)

Neta S Pane
Neta S Pane

SUMUTPOS.CO – Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan, kasus polisi tembak polisi atau kasus polisi menembak atasannya bukanlah hal baru di Indonesia.

Tapi, kata dia, peristiwa penembakan terhadap AKBP Pamudji hingga tewas yang diduga dilakukan oleh seorang Brigadir di Polda Metro Jaya merupakan pukulan bagi korps kepolisian, khususnya Polda Metro.

“Sebab kasus penembakan itu terjadi saat Kapolda Metro Jaya dan jajarannya sedang melakukan acara pisah sambut antara Kapolda lama dengan Kapolda baru di Auditorium PTIK,” kata Neta dalam keterangan persnya, Rabu (19/3).

Selain itu, Neta menambahkan, kasus penembakan ini mencoreng atau mencederai situasi keamanan Jakarta yang sangat kondusif setelah tiga hari masa kampanye pemilu 2014.

Yang membuat tragis lagi, kata Neta, jika di tahun-tahun sebelumnya muncul tren aksi penembakan misterius terhadap polisi, kini yang terjadi adalah polisi menembak polisi.

“Kasus ini harus dituntaskan dengan cepat. Jika tidak dikhawatirkan akan menjadi tren, yakni anak buah yang emosional akan dengan gampang menembak atasannya,” papar Neta.

Menurutnya, belajar dari kasus ini Polri tampaknya harus kembali mengevaluasi penggunaan senjata api di jajaran bawahnya. Artinya, lanjut dia,  tes psikologi secara reguler terhadap polisi pemegang senjata api harus dilakukan dengan serius.

“Tujuannya agar kasus polisi tembak atasanya tidak terulang, apalagi di Jakarta sebagai barometer kamtibmas di Indonesia,” ungkapnya.

Ia menambahkan, bagaimana pun kasus polisi tembak polisi ini menjadi pukulan psikologis bagi Kapolda baru.

Neta juga menyampaikan, para pimpinan Polri harus menyadari bahwa belakangan ini cukup banyak polisi yang terkena stres.

Menurutnya, tekanan tugas yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta kerap membuat polisi tidak punya waktu luang, sementara penghasilan mereka sangat terbatas kerap memunculkan problem di rumah tangga.

Dia mengatakan, stres akibat tekanan psikologi yang berat itu kerap menimbulkan dua hal. Pertama, polisi gampang bunuh diri (trennya meningkat dari tahun ke tahun).

Kedua, polisi gampang kalap dan emosional serta gampang melepaskan tembakan, termasuk kepada rekannya atau atasannya.

“Kondisi ini perlu dicermati agar kasus polisi tembakan polisi atau polisi tembak atasan tidak terus berulang,” pungkasnya.

Anggota Komisi III DPR RI, Harry Witjaksono meminta Wakapolri Komisaris Jenderal Badroedin Haiti segera menetibkan disiplin di internal Polri menyusul kasus dugaan pembunuhan terhadap Kepala Detasemen Markas Polda Metro Jaya, AKBP Pamudji di markasnya, tadi malam.

“Ini tugas Pak Wakapolri, apapun kalau antar polisi antar anggota saling tembak ini Pak Badroedin ini menegakkan disiplin, jadi apapun perstiwanya. Tidak zamannya polisi main tembak-tembakan,” kata Harry.

Menurutnya, terjadinya kasus dugaan pembunuhan seorang perwira menengah Polri di lingkungan Polri sendiri tidak bisa dilepaskan dari masalah disiplin. Sebab, ada banyak faktor yang bisa memicu kejadian itu.

“Ini masalah disiplin, polisi tugasnya rentan pelanggaran hukum, tugas reserse ada kepenatan, kejenuhan. Bisa juga terjadi persaingan antar reserse, atau persinggungan pribadi,” jelas politikus Partai Demokrat itu.

Ditambahkannya, kejadian ini tidak boleh terjadi kembali karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Dia juga meminta Mabes Polri melakukan pemeriksaan psikologis secara berkala terhadap jajaran anggota Polri.

“Secara berkala mereka (khususnya reserse) harus diperiksa (psikologisnya). Masih layak tidak memegang senjata. Ini kan masih labil. Saya mengharapkan Pak Badroedin (membenahi disiplin Polri) karena dia baru diangkat. Begitu juga Pak Kapolda,” tandasnya.

Kapolri, Jenderal Sutarman menekankan, kejadian tersebut menjadi feedback bagi kepolisian untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Peminjaman pistol harus melalui serangkaian psikotes. Kalau anggota polisi itu orangnya emosional tidak boleh memegang senjata api.

“Itu saya sudah sampaikan ke Satker. Uji ulang apakah ini memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan psikotes yang ketat. Kalau polisinya gampang marah mudah emosi, jangan dikasih (pistol), itu berbahaya,” jelas Sutarman.

Sutarman juga belum dapat memastikan apakah senjata api yang dipakai untuk menembak perwira menengah di Polda Metro Jaya itu merupakan senjata piket. “Semua akan kita periksa, periksa ulang psikologis dan teknis pemeriksaan kita serahkan (ke penyidik),” ujarnya.(fat/boy/jpnn/bbs/net)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/