Mursyid Murdiantoro, penasihat hukum Dahlan, menjelaskan bahwa restrukturisasi aset merupakan satu-satunya cara menghidupkan PWU. Sebab, saat lahir dari peleburan lima perusahaan daerah (PD), banyak aset PWU yang bermasalah. Apalagi, modal perusahaan kecil.
Permasalahan aset PWU sangat kompleks. Ada yang berstatus hak guna bangunan (HGB) dan hak penggunaan lahan (HPL) dengan izin mati bertahun-tahun. Ada juga yang sudah dikuasai pihak lain karena lama terbengkalai. Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan aset itu ialah menjual kepada orang yang tepat. ”Penjualan ini bersifat asset-to-asset. Aset dijual untuk dibelikan aset di tempat lain,” terang Mursyid.
Secara kebijakan, restrukturisasi aset sudah sesuai dengan prosedur. Mekanisme lelang dan penentuan harga melalui appraisal sudah ditempuh. ”Harga jual tanah itu di atas appraisal kok,” ucap Mursyid. Bahkan, meski didirikan dalam bentuk perseroan terbatas yang harus tunduk terhadap UU PT, mekanisme izin legislatif dan eksekutif tetap dilakukan direksi.
DPRD Jatim saat itu juga telah mengeluarkan surat bernomor 38/PWU/02/II/2002. Dalam surat itu disebutkan, sesuai hasil rapat dengar pendapat antara komisi C dan PWU, diputuskan pelepasan aset diproses sesuai dengan UU PT. Juga berpedoman pada UU tersebut.
Nah, dari penjualan aset tak produktif itu, PWU akhirnya bisa membeli lahan 10,5 hektare di sekitar tanah milik PWU di kawasan Karangpilang, Surabaya. Tanah PWU di Karangpilang sebelumnya seluas 14 hektare. Maka, jadilah kini aset itu utuh dan memiliki luas total 24,5 hektare. Kini aset tersebut bernilai sangat tinggi sebagai industrial estate. (eko/gun/c9/nw)