25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Menyelami Kekayaan Laut Indonesia Melalui Ekspedisi Jala Citra

Ada Gunung Mirip Semeru di Bawah Laut Banda

SAHRUL YUNIZAR, Jakarta

SUMUTPOS.CO – Selain temuan gunung purba, dua Ekspedisi Jala Citra Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut yang melibatkan para peneliti lintas instansi memetakan beragam potensi sumber daya alam di bawah laut. Di antaranya, area tangkap ikan serta area dengan potensi kandungan minyak bumi.

ADA “Semeru” di bawah Laut Banda, Maluku. Setinggi 3.400 meter, hanya beda 276 meter dari gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebutn

Gunung raksasa itu bahkan memiliki lebar yang jauh lebih besar daripada Semeru. Berdasar penghitungan para peneliti, lebarnya mencapai belasan kilometer. “Gunung setinggi 3.400 meter itu satu dari enam gunung di bawah Laut Banda yang ditemukan dari Ekspedisi Jala Citra II Banda,” kata Komandan Pushidrosal (Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut) Laksamana Madya TNI Nurhidayat saat menyampaikan temuan ekspedisi di Jakarta.

Ekspedisi Jala Citra II merupakan satu dari dua ekspedisi panjang yang diadakan TNI Angkatan Laut dalam dua tahun belakangan. Satunya lagi Ekspedisi Jala Citra I Aurora.

Dua ekspedisi itu diadakan untuk menggali potensi sumber daya laut Indonesia. Para peneliti dari Pushidrosal berkolaborasi dengan para kolega dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Juga para periset dari fakultas perikanan dan ilmu kelautan Papua-Ternate, IPB, ITB, UGM, BPPT, serta BMKG. Dua ekspedisi tersebut pun menghasilkan beberapa temuan fitur bawah laut.

Menurut Nurhidayat, secara keseluruhan ada delapan temuan yang sudah diberi nama dan dipatenkan. Yakni, Laut Gapuro Sagoro, Gunung Laut Moro Sagoro, Bukit Yudo Sagoro, Bukit Spica, Bukit Rigel, Bukit Yiew Vero, Bukit Moro Gada, dan Gosong Aurora.

“Tidak hanya dipatenkan, delapan temuan tersebut juga sudah diakui dunia melalui Sidang Sub-Committee Undersea Feature Names atau SCUFN Ke-35 UNESCO,” katanya.

Saat melepas Jala Citra I Aurora pada Agustus 2021, Laksamana TNI Yudo Margono yang kala itu masih bertugas sebagai kepala staf Angkatan Laut (KSAL) menyatakan, ekspedisi tersebut bertujuan mencari tahu kekayaan bawah Laut Halmahera dan perairan Papua. Saat itu Yudo yang kini menjadi panglima TNI menyinggung soal peta peninggalan Belanda bertarikh 1949.

Belakangan diketahui bahwa ada gunung purba bawah laut di daerah tersebut. Para peneliti pun kemudian mencari tahu lebih jauh. Kurang lebih dua bulan, KRI Spica-934 berlayar di Laut Halmahera dan perairan Papua.

Sementara itu, Jala Citra II Banda dilepas Yudo bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada 16 Juni 2022. Total ada 88 peneliti yang turut ambil bagian dalam ekspedisi itu.

Kali ini, Angkatan Laut mengirim KRI Rigel-933. Serupa dengan KRI Spica-934, KRI Rigel-933 merupakan kapal riset milik Pushidrosal. Fokus mereka melanjutkan Ekspedisi Jala Citra I Aurora. Lantaran ekspedisi pertama mendapati gunung api bawah laut, pada ekspedisi kedua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) turut serta. Hasilnya, antara lain temuan gunung di bawah Laut Banda tadi.

Perwira tinggi bintang tiga Angkatan Laut itu menambahkan, potensi dan kerawanan bencana memang menjadi salah satu fokus mereka. Berdasar hasil ekspedisi tersebut, BNPB telah membuat mitigasi. Termasuk bila terjadi tsunami dari letusan gunung api bawah laut tersebut.

Beda temuan kedua ekspedisi, di Jala Citra I Aurora, gunung yang ditemukan diyakini muncul setelah terjadinya letusan gunung yang lebih besar. Adapun di Jala Citra II Banda, para peneliti mendapati gunung besar yang masih utuh. Artinya, gunung tersebut belum pernah meletus.

Nurhidayat menyebutkan, salah satu alat yang diandalkan dalam ekspedisi itu adalah multibeam echosounder. Alat tersebut pernah digunakan TNI-AL dalam beberapa misi kemanusiaan. Di antaranya, misi pencarian pesawat Lion Air yang jatuh dan tenggelam di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 2018.

Dua kali ekspedisi panjang, melibatkan puluhan peneliti dan belasan instansi, Ekspedisi Jala Citra I Aurora dan Jala Citra II Banda turut memetakan beragam potensi sumber daya alam di bawah Laut Halmahera, Papua, dan Banda. Misalnya, area tangkap ikan serta area dengan potensi kandungan minyak bumi.

Adam Budi Nugraha, peneliti yang turut serta dalam Ekspedisi Jala Citra II Banda, menyatakan bahwa penelitian tersebut sangat penting mengingat data-data sebelum Ekspedisi Jala Citra II Banda hanya bersumber dari satu ekspedisi: Ekspedisi Snellius pada 1929–1930 yang dilakukan Belanda. “Proposal riset kami bertujuan untuk memetakan kembali Gunung Api Nieuwerkerk dan Emperor of China,” kata Adam yang tergabung dalam tim yang beranggota periset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)-Universitas Padjadjaran (Unpad) yang total berisi delapan peneliti.

Dengan peralatan yang dimiliki Pushidrosal, para peneliti dari BRIN dan Unpad bisa memperoleh data dan peta batimetri yang lebih baru, canggih, dan modern. “Data batimetri ini akan digunakan untuk dikarakterisasi seperti kondisi lereng atau slope, morfometrinya, dan yang nanti diasosiasikan dengan kondisi geologi daerah itu,” jelasnya.

Bagi prajurit Angkatan Laut, berlayar berminggu-minggu dalam suatu ekspedisi boleh jadi merupakan hal biasa. Namun, lain halnya untuk para peneliti. Mereka harus menggali data di antara terjangan gelombang. Apalagi Ekspedisi Jala Citra II Banda berlangsung saat musim timur.

“Gelombang tinggi Laut Banda sempat menyulitkan kami, para peneliti, untuk melakukan sampling parameter biologi seperti fitoplankton,” ungkap Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Yoisye Lopulalan dalam tanggapan yang disampaikan kepada Pushidrosal.

Nurhidayat mengungkapkan, melaksanakan ekspedisi saat musim timur sedang berlangsung memang berat. Karena itu, saat ekspedisi tersebut berlangsung, para peneliti sangat mengandalkan multibeam echosounder pada KRI Rigel-933. “Penurunan CTD (conductivity temperature depth), pengambilan grab sampling, dan penurunan ROV (remotely operated vehicle) tidak dapat dilakukan (saat gelombang tinggi),” tambahnya.

Untuk ekspedisi berikutnya, Pushidrosal berencana menyelami bawah laut Nusa Tenggara Timur, persisnya di wilayah Flores. “Kami akan memberi perhatian pada laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Karena di laut dalam tersimpan misteri yang sangat banyak,” katanya. (*/c19/ttg/jpg)

SAHRUL YUNIZAR, Jakarta

SUMUTPOS.CO – Selain temuan gunung purba, dua Ekspedisi Jala Citra Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut yang melibatkan para peneliti lintas instansi memetakan beragam potensi sumber daya alam di bawah laut. Di antaranya, area tangkap ikan serta area dengan potensi kandungan minyak bumi.

ADA “Semeru” di bawah Laut Banda, Maluku. Setinggi 3.400 meter, hanya beda 276 meter dari gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebutn

Gunung raksasa itu bahkan memiliki lebar yang jauh lebih besar daripada Semeru. Berdasar penghitungan para peneliti, lebarnya mencapai belasan kilometer. “Gunung setinggi 3.400 meter itu satu dari enam gunung di bawah Laut Banda yang ditemukan dari Ekspedisi Jala Citra II Banda,” kata Komandan Pushidrosal (Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut) Laksamana Madya TNI Nurhidayat saat menyampaikan temuan ekspedisi di Jakarta.

Ekspedisi Jala Citra II merupakan satu dari dua ekspedisi panjang yang diadakan TNI Angkatan Laut dalam dua tahun belakangan. Satunya lagi Ekspedisi Jala Citra I Aurora.

Dua ekspedisi itu diadakan untuk menggali potensi sumber daya laut Indonesia. Para peneliti dari Pushidrosal berkolaborasi dengan para kolega dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Juga para periset dari fakultas perikanan dan ilmu kelautan Papua-Ternate, IPB, ITB, UGM, BPPT, serta BMKG. Dua ekspedisi tersebut pun menghasilkan beberapa temuan fitur bawah laut.

Menurut Nurhidayat, secara keseluruhan ada delapan temuan yang sudah diberi nama dan dipatenkan. Yakni, Laut Gapuro Sagoro, Gunung Laut Moro Sagoro, Bukit Yudo Sagoro, Bukit Spica, Bukit Rigel, Bukit Yiew Vero, Bukit Moro Gada, dan Gosong Aurora.

“Tidak hanya dipatenkan, delapan temuan tersebut juga sudah diakui dunia melalui Sidang Sub-Committee Undersea Feature Names atau SCUFN Ke-35 UNESCO,” katanya.

Saat melepas Jala Citra I Aurora pada Agustus 2021, Laksamana TNI Yudo Margono yang kala itu masih bertugas sebagai kepala staf Angkatan Laut (KSAL) menyatakan, ekspedisi tersebut bertujuan mencari tahu kekayaan bawah Laut Halmahera dan perairan Papua. Saat itu Yudo yang kini menjadi panglima TNI menyinggung soal peta peninggalan Belanda bertarikh 1949.

Belakangan diketahui bahwa ada gunung purba bawah laut di daerah tersebut. Para peneliti pun kemudian mencari tahu lebih jauh. Kurang lebih dua bulan, KRI Spica-934 berlayar di Laut Halmahera dan perairan Papua.

Sementara itu, Jala Citra II Banda dilepas Yudo bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada 16 Juni 2022. Total ada 88 peneliti yang turut ambil bagian dalam ekspedisi itu.

Kali ini, Angkatan Laut mengirim KRI Rigel-933. Serupa dengan KRI Spica-934, KRI Rigel-933 merupakan kapal riset milik Pushidrosal. Fokus mereka melanjutkan Ekspedisi Jala Citra I Aurora. Lantaran ekspedisi pertama mendapati gunung api bawah laut, pada ekspedisi kedua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) turut serta. Hasilnya, antara lain temuan gunung di bawah Laut Banda tadi.

Perwira tinggi bintang tiga Angkatan Laut itu menambahkan, potensi dan kerawanan bencana memang menjadi salah satu fokus mereka. Berdasar hasil ekspedisi tersebut, BNPB telah membuat mitigasi. Termasuk bila terjadi tsunami dari letusan gunung api bawah laut tersebut.

Beda temuan kedua ekspedisi, di Jala Citra I Aurora, gunung yang ditemukan diyakini muncul setelah terjadinya letusan gunung yang lebih besar. Adapun di Jala Citra II Banda, para peneliti mendapati gunung besar yang masih utuh. Artinya, gunung tersebut belum pernah meletus.

Nurhidayat menyebutkan, salah satu alat yang diandalkan dalam ekspedisi itu adalah multibeam echosounder. Alat tersebut pernah digunakan TNI-AL dalam beberapa misi kemanusiaan. Di antaranya, misi pencarian pesawat Lion Air yang jatuh dan tenggelam di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 2018.

Dua kali ekspedisi panjang, melibatkan puluhan peneliti dan belasan instansi, Ekspedisi Jala Citra I Aurora dan Jala Citra II Banda turut memetakan beragam potensi sumber daya alam di bawah Laut Halmahera, Papua, dan Banda. Misalnya, area tangkap ikan serta area dengan potensi kandungan minyak bumi.

Adam Budi Nugraha, peneliti yang turut serta dalam Ekspedisi Jala Citra II Banda, menyatakan bahwa penelitian tersebut sangat penting mengingat data-data sebelum Ekspedisi Jala Citra II Banda hanya bersumber dari satu ekspedisi: Ekspedisi Snellius pada 1929–1930 yang dilakukan Belanda. “Proposal riset kami bertujuan untuk memetakan kembali Gunung Api Nieuwerkerk dan Emperor of China,” kata Adam yang tergabung dalam tim yang beranggota periset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)-Universitas Padjadjaran (Unpad) yang total berisi delapan peneliti.

Dengan peralatan yang dimiliki Pushidrosal, para peneliti dari BRIN dan Unpad bisa memperoleh data dan peta batimetri yang lebih baru, canggih, dan modern. “Data batimetri ini akan digunakan untuk dikarakterisasi seperti kondisi lereng atau slope, morfometrinya, dan yang nanti diasosiasikan dengan kondisi geologi daerah itu,” jelasnya.

Bagi prajurit Angkatan Laut, berlayar berminggu-minggu dalam suatu ekspedisi boleh jadi merupakan hal biasa. Namun, lain halnya untuk para peneliti. Mereka harus menggali data di antara terjangan gelombang. Apalagi Ekspedisi Jala Citra II Banda berlangsung saat musim timur.

“Gelombang tinggi Laut Banda sempat menyulitkan kami, para peneliti, untuk melakukan sampling parameter biologi seperti fitoplankton,” ungkap Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Yoisye Lopulalan dalam tanggapan yang disampaikan kepada Pushidrosal.

Nurhidayat mengungkapkan, melaksanakan ekspedisi saat musim timur sedang berlangsung memang berat. Karena itu, saat ekspedisi tersebut berlangsung, para peneliti sangat mengandalkan multibeam echosounder pada KRI Rigel-933. “Penurunan CTD (conductivity temperature depth), pengambilan grab sampling, dan penurunan ROV (remotely operated vehicle) tidak dapat dilakukan (saat gelombang tinggi),” tambahnya.

Untuk ekspedisi berikutnya, Pushidrosal berencana menyelami bawah laut Nusa Tenggara Timur, persisnya di wilayah Flores. “Kami akan memberi perhatian pada laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Karena di laut dalam tersimpan misteri yang sangat banyak,” katanya. (*/c19/ttg/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/