25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

BPOM Tarik 5 Obat Sirop Perusak Ginjal, Kemenkes Kaji Status KLB

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus mengkaji penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terhadap penyakit gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) misterius pada anak di Indonesia. Kajian itu dilakukan bersama ahli kesehatan dan epidemiologi.

KEPALA Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pihaknya telah melibatkan epidemiolog untuk mengkaji penetapan status tersebut. “Para ahli sudah kita libatkan, bagian dari tim ini. Apakah nanti perlu dilakukan (untuk menetapkan KLB), masih berproses semua,” kata Nadia saat ditemui di RSCM, Kamis (20/10).

Nadia mengungkapkan, ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan dalam menetapkan kasus KLB. Salah satu pertimbangan yang dilakukan adalah melihat tren kenaikan dan angka kematian kasus. Menurutnya, status KLB ditetapkan jika kasus dan angka kematian mengalami tren peningkatan yang cepat seperti kasus Covid-19. “Semua masih dikaji ya,” ujarnya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, pemerintah harus segera menetapkan status KLB seiring merebaknya kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Hermawan menyebut, hal itu penting dilakukan agar kesadaran dan kewaspadaan bagi masyarakat. “Inikan belum ada status KLB. Sebenarnya kita ingin pemerintah segera menetapkan kasus KLB sehingga level awareness-nya tinggi,” kata Hermawan, Kamis (20/10).

Lebih lanjut, Hermawan berpandangan, penetapan status KLB itu juga harus secara paralel dilakukannya investigasi yang mendalam. Sebab, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan secara pasti penyebab dari naiknya jumlah penderita gagal ginjal akut dalam waktu relatif singkat. “Bisa dilakukan investigasi menyeluruh dengan kewaspadaan tinggi,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harus segera mengeluarkan daftar (list) obat yang mengandung senyawa berbahaya. “Semua obat itu harus dibuat list dan kewaspadaan harus ditingkatkan ini semata mata untuk diteliti atau dikaji,” ucap dia.

Namun demikian, Hermawan menyebut daftar obat itu tidak harus menyebut merk. Sebab, saat ini pemerintah masih belum bisa memastikan secara jelas penyebab gagal ginjal akut. “Menjaga etika juga,” ujarnya.

Hermawan menilai pemerintah harus belajar dari kasus yang terjadi di Gambia, Afrika Barat. Dia menyebut badan pengawas obat di Gambia tidak melakukan verifikasi ketat sehingga ada beberapa senyawa yang luput terdeteksi.

Lebih lanjut, Hermawan mengingatkan bahwa kandungan senyawa berbahaya itu juga harus ditelusuri pada semua obat-obatan, tidak hanya paracetamol. Sebab, senyawa berbahaya itu juga banyak ditemukan di obat lainnya. “Seperti halnya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE),” ujar dia.

Tarik Obat Sirup Perusak Ginjal

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan lima produk obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Menindaklanjuti hal itu, BPOM memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan dan pemusnahan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia.

Penarikan tersebut mencakup seluruh outlet antara lain pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan. “Terhadap hasil uji lima sirup obat dengan kandungan EG yang melebihi ambang batas aman, BPOM telah melakukan tindak lanjut dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk,” sebut BPOM dalam siaran resmi, Kamis (20/10).

Adapun sirup obat yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) kemungkinan berasal dari 4 bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Sejatinya, keempat bahan tambahan itu bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat.

Namun, BPOM sudah menetapkan ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari. Sampling dilakukan BPOM terhadap 39 bets dari 26 sirup obat. “Hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk,” sebut BPOM.

Adapun sampling dilakukan berdasarkan beberapa kriteria. Pertama, obat-obat tersebut diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit. Lalu, diproduksi produsen yang menggunakan 4 bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar. Kemudian, diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam pemenuhan aspek mutu.

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan “Berpotensi Mengandung Etilen Glikol” terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilon glikol. Hal itu untuk mengantisipasi apa yang terjadi di Gambia, Afrika Barat, di mana banyak anak meninggal akibat mengkonsumsi obat batuk sirup yang mengandung etilen glikol.

Meski masih dicari penyebabnya, namun bila dipastikan ada kaitannya dengan zat berbahaya Etelin Glikol, IDAI harus rekomendasikan BPOM untuk lakukan penelitian. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung etilen glikol dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujar Arist.

Karenanya, lanjut Arist, meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, namun etilen glikol juga banyak digunakan untuk kemasan pangan, salah satunya adalah produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira Badan POM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.

Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi supaya masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu. “Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka ada kemungkinan isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.

Arist juga menegaskan, Komnas PA sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. Dia mengatakan Komnas PA sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal.

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Arist mengungkapkan, ada sekitar 152 anak yang dinyatakan positif gagal ginjal. Sementara, IDAI Jawa Timur dan Malang melaporkan dari 13 anak gagal ginjal, 10 di antaranya yang berada di Surabaya meninggal dunia.

Di Malang dari 6 anak yang ditemukan gagal ginjal 2 meninggal dunia. Di Jogja, ada 5 anak yang berumur di bawah 5 tahun meninggal dunia. Di Rumah Sakit Adam Malik Sumatera, dari 11 anak gagal ginjal 6 di antaranya meninggal dunia. “Ini masih dicari penyebabnya. Kalau memang itu nanti ada dampak dari etilen glikol, saya kira ini harus menjadi perhatian IDAI untuk merekomendasikan kepada Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk mengadakan penelitian terhadap kemasan air galon sekali pakai yang mengandung etilen glikol,” ujarnya.

Komnas Perlindungan Anak melihat banyaknya produk plastik atau galon sekali pakai yang dikonsumsikan oleh anak-anak, baik bayi dan balita. misalnya airnya kan nah itu kan bermigrasi itu artinya kan berpindah dan bisa menjadi bahaya kesehatan itu saya kira sikap Komnas perlindungan anak. “Kami juga akan terus mengkampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk galon sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” katanya.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Nabil Haroen juga meminta BPOM harus bekerja cepat untuk meneliti ulang kandungan etilen glikol pada bahan kemasan pangan, seperti plastik kemasan air galon yang berbahan PET serta produk lainnya. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya keracunan etilen glikol pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, Afrika Barat. “Ini (bahan kimia etilen glikol) sangat berbahaya. Jadi, perlu ada tindakan serius dan cepat dari BPOM terkait zat kimia berbahaya ini. Jangan sampai kasus yang terjadi di Gambia terjadi di Indonesia,” katanya. (jpc/cnn/kps/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus mengkaji penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terhadap penyakit gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) misterius pada anak di Indonesia. Kajian itu dilakukan bersama ahli kesehatan dan epidemiologi.

KEPALA Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pihaknya telah melibatkan epidemiolog untuk mengkaji penetapan status tersebut. “Para ahli sudah kita libatkan, bagian dari tim ini. Apakah nanti perlu dilakukan (untuk menetapkan KLB), masih berproses semua,” kata Nadia saat ditemui di RSCM, Kamis (20/10).

Nadia mengungkapkan, ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan dalam menetapkan kasus KLB. Salah satu pertimbangan yang dilakukan adalah melihat tren kenaikan dan angka kematian kasus. Menurutnya, status KLB ditetapkan jika kasus dan angka kematian mengalami tren peningkatan yang cepat seperti kasus Covid-19. “Semua masih dikaji ya,” ujarnya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, pemerintah harus segera menetapkan status KLB seiring merebaknya kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Hermawan menyebut, hal itu penting dilakukan agar kesadaran dan kewaspadaan bagi masyarakat. “Inikan belum ada status KLB. Sebenarnya kita ingin pemerintah segera menetapkan kasus KLB sehingga level awareness-nya tinggi,” kata Hermawan, Kamis (20/10).

Lebih lanjut, Hermawan berpandangan, penetapan status KLB itu juga harus secara paralel dilakukannya investigasi yang mendalam. Sebab, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan secara pasti penyebab dari naiknya jumlah penderita gagal ginjal akut dalam waktu relatif singkat. “Bisa dilakukan investigasi menyeluruh dengan kewaspadaan tinggi,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harus segera mengeluarkan daftar (list) obat yang mengandung senyawa berbahaya. “Semua obat itu harus dibuat list dan kewaspadaan harus ditingkatkan ini semata mata untuk diteliti atau dikaji,” ucap dia.

Namun demikian, Hermawan menyebut daftar obat itu tidak harus menyebut merk. Sebab, saat ini pemerintah masih belum bisa memastikan secara jelas penyebab gagal ginjal akut. “Menjaga etika juga,” ujarnya.

Hermawan menilai pemerintah harus belajar dari kasus yang terjadi di Gambia, Afrika Barat. Dia menyebut badan pengawas obat di Gambia tidak melakukan verifikasi ketat sehingga ada beberapa senyawa yang luput terdeteksi.

Lebih lanjut, Hermawan mengingatkan bahwa kandungan senyawa berbahaya itu juga harus ditelusuri pada semua obat-obatan, tidak hanya paracetamol. Sebab, senyawa berbahaya itu juga banyak ditemukan di obat lainnya. “Seperti halnya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE),” ujar dia.

Tarik Obat Sirup Perusak Ginjal

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan lima produk obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Menindaklanjuti hal itu, BPOM memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan dan pemusnahan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia.

Penarikan tersebut mencakup seluruh outlet antara lain pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan. “Terhadap hasil uji lima sirup obat dengan kandungan EG yang melebihi ambang batas aman, BPOM telah melakukan tindak lanjut dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk,” sebut BPOM dalam siaran resmi, Kamis (20/10).

Adapun sirup obat yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) kemungkinan berasal dari 4 bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Sejatinya, keempat bahan tambahan itu bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat.

Namun, BPOM sudah menetapkan ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari. Sampling dilakukan BPOM terhadap 39 bets dari 26 sirup obat. “Hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk,” sebut BPOM.

Adapun sampling dilakukan berdasarkan beberapa kriteria. Pertama, obat-obat tersebut diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit. Lalu, diproduksi produsen yang menggunakan 4 bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar. Kemudian, diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam pemenuhan aspek mutu.

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan “Berpotensi Mengandung Etilen Glikol” terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilon glikol. Hal itu untuk mengantisipasi apa yang terjadi di Gambia, Afrika Barat, di mana banyak anak meninggal akibat mengkonsumsi obat batuk sirup yang mengandung etilen glikol.

Meski masih dicari penyebabnya, namun bila dipastikan ada kaitannya dengan zat berbahaya Etelin Glikol, IDAI harus rekomendasikan BPOM untuk lakukan penelitian. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung etilen glikol dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujar Arist.

Karenanya, lanjut Arist, meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, namun etilen glikol juga banyak digunakan untuk kemasan pangan, salah satunya adalah produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira Badan POM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.

Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi supaya masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu. “Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka ada kemungkinan isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.

Arist juga menegaskan, Komnas PA sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. Dia mengatakan Komnas PA sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal.

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Arist mengungkapkan, ada sekitar 152 anak yang dinyatakan positif gagal ginjal. Sementara, IDAI Jawa Timur dan Malang melaporkan dari 13 anak gagal ginjal, 10 di antaranya yang berada di Surabaya meninggal dunia.

Di Malang dari 6 anak yang ditemukan gagal ginjal 2 meninggal dunia. Di Jogja, ada 5 anak yang berumur di bawah 5 tahun meninggal dunia. Di Rumah Sakit Adam Malik Sumatera, dari 11 anak gagal ginjal 6 di antaranya meninggal dunia. “Ini masih dicari penyebabnya. Kalau memang itu nanti ada dampak dari etilen glikol, saya kira ini harus menjadi perhatian IDAI untuk merekomendasikan kepada Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk mengadakan penelitian terhadap kemasan air galon sekali pakai yang mengandung etilen glikol,” ujarnya.

Komnas Perlindungan Anak melihat banyaknya produk plastik atau galon sekali pakai yang dikonsumsikan oleh anak-anak, baik bayi dan balita. misalnya airnya kan nah itu kan bermigrasi itu artinya kan berpindah dan bisa menjadi bahaya kesehatan itu saya kira sikap Komnas perlindungan anak. “Kami juga akan terus mengkampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk galon sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” katanya.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Nabil Haroen juga meminta BPOM harus bekerja cepat untuk meneliti ulang kandungan etilen glikol pada bahan kemasan pangan, seperti plastik kemasan air galon yang berbahan PET serta produk lainnya. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya keracunan etilen glikol pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, Afrika Barat. “Ini (bahan kimia etilen glikol) sangat berbahaya. Jadi, perlu ada tindakan serius dan cepat dari BPOM terkait zat kimia berbahaya ini. Jangan sampai kasus yang terjadi di Gambia terjadi di Indonesia,” katanya. (jpc/cnn/kps/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/