26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Fatwa Haram, MUI Bantah Picu Sweeping Atribut Nonmuslim

FPI mensweeping sejumlah mall melarang penggunaan atribut Natal, terkait fatwa MUI.
FPI mensweeping sejumlah mall melarang penggunaan atribut Natal, terkait fatwa MUI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan tudingan bahwa fatwa haram penggunaan atribut nonmuslim bagi umat Islam memicu masalah di masyarakat. Khususnya menjadi pemicu aksi sweeping oleh sejumlah organisasi massa (ormas). MUI justru berharap fatwa ini jadi rujukan pembuatan produk hukum atau peraturan positif.

Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan, perlu segera menanggapi pandangan publik terhadap fatwa itu yang sudah tidak proporsional. “Fatwa ini untuk umat Islam. Fatwa ini tidak berpotensi menimbulkan polemik dan tidak perlu dikoreksi,’’ katanya di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (20/12).

Ma’ruf menjelaskan, potensi polemik justru muncul dari orang atau pihak yang memaksakan umat muslim untuk mengenakan atribut Kristen atau agama selain Islam lainnya. Misalnya pemilik hotel, restoran, mal, dan sejenisnya. Menurut kiai asal Tangerang itu, selama umat agama lain atau pemberi kerja bisa menjaga toleransi, fatwa MUI itu tidak akan menimbulkan masalah.

“Yang tidak bisa menjaga kebhinekaan itu MUI atau pihak yang memaksakan umat Islam mengenakan atribut nonmuslim,” tandasnya.

Meskipun begitu Ma’ruf sama sekali tidak mentoleransi adanya aksi sweeping atau main hakim sendiri. Dia mengatakan penertiban tetap harus dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Ma’ruf menjelaskan MUI pusat, provinsi, kabupaten, dan kota akan membuka posko pengaduan terkait fatwa itu. Umat Islam yang merasa dipaksa menggunakan atribut nonmuslim, berhak melapor ke MUI. Kemudian MUI akan meneruskan laporan itu ke pihak terkait. Seperti ke dinas ketenagakerjaan dan yang lainnya.

Ulama berusia 73 tahun itu menjelaskan selama ini pengaduan ke MUI terkait pemaksaan menggunakan atribut sangat banyak. Selama itu pula MUI hanya mengeluarkan imbauan-imbauan. Namun akhir tahun ini MUI mengeluarkan fatwa. ’’MUI tidak ingin dikatakan hanya summum bukmun umyun (tuli, bisu, buta, red),’’ tandasnya.

MUI berharap fatwa haram mengenakan atribut nonmuslim itu bisa dijadikan landasan atau rujukan hukum atau peraturan positif. Menurut dia sudah tidak terhitung fatwa MUI yang akhirnya menjadi landasan hukum formal.

Contohnya adalah fatwa keuangan syari’ah menjadi acuan perbankan syariah. Kemudian juga fatwa soal imuniasi, vaksin meningitis haji, bahkan praktek menggandakan uang ala Dimas Kanjeng. Kemudian aparat penegak hukum menindak Gafatar dan aliran-aliran menyimpang lain juga berlandaskan fatwa MUI. ’’Fatwa MUI itu memang bukan hukum positif. Tetapi bukan berarti tidak dijalankan,’’ pungkasnya. (wan/jpg)

FPI mensweeping sejumlah mall melarang penggunaan atribut Natal, terkait fatwa MUI.
FPI mensweeping sejumlah mall melarang penggunaan atribut Natal, terkait fatwa MUI.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan tudingan bahwa fatwa haram penggunaan atribut nonmuslim bagi umat Islam memicu masalah di masyarakat. Khususnya menjadi pemicu aksi sweeping oleh sejumlah organisasi massa (ormas). MUI justru berharap fatwa ini jadi rujukan pembuatan produk hukum atau peraturan positif.

Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan, perlu segera menanggapi pandangan publik terhadap fatwa itu yang sudah tidak proporsional. “Fatwa ini untuk umat Islam. Fatwa ini tidak berpotensi menimbulkan polemik dan tidak perlu dikoreksi,’’ katanya di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (20/12).

Ma’ruf menjelaskan, potensi polemik justru muncul dari orang atau pihak yang memaksakan umat muslim untuk mengenakan atribut Kristen atau agama selain Islam lainnya. Misalnya pemilik hotel, restoran, mal, dan sejenisnya. Menurut kiai asal Tangerang itu, selama umat agama lain atau pemberi kerja bisa menjaga toleransi, fatwa MUI itu tidak akan menimbulkan masalah.

“Yang tidak bisa menjaga kebhinekaan itu MUI atau pihak yang memaksakan umat Islam mengenakan atribut nonmuslim,” tandasnya.

Meskipun begitu Ma’ruf sama sekali tidak mentoleransi adanya aksi sweeping atau main hakim sendiri. Dia mengatakan penertiban tetap harus dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Ma’ruf menjelaskan MUI pusat, provinsi, kabupaten, dan kota akan membuka posko pengaduan terkait fatwa itu. Umat Islam yang merasa dipaksa menggunakan atribut nonmuslim, berhak melapor ke MUI. Kemudian MUI akan meneruskan laporan itu ke pihak terkait. Seperti ke dinas ketenagakerjaan dan yang lainnya.

Ulama berusia 73 tahun itu menjelaskan selama ini pengaduan ke MUI terkait pemaksaan menggunakan atribut sangat banyak. Selama itu pula MUI hanya mengeluarkan imbauan-imbauan. Namun akhir tahun ini MUI mengeluarkan fatwa. ’’MUI tidak ingin dikatakan hanya summum bukmun umyun (tuli, bisu, buta, red),’’ tandasnya.

MUI berharap fatwa haram mengenakan atribut nonmuslim itu bisa dijadikan landasan atau rujukan hukum atau peraturan positif. Menurut dia sudah tidak terhitung fatwa MUI yang akhirnya menjadi landasan hukum formal.

Contohnya adalah fatwa keuangan syari’ah menjadi acuan perbankan syariah. Kemudian juga fatwa soal imuniasi, vaksin meningitis haji, bahkan praktek menggandakan uang ala Dimas Kanjeng. Kemudian aparat penegak hukum menindak Gafatar dan aliran-aliran menyimpang lain juga berlandaskan fatwa MUI. ’’Fatwa MUI itu memang bukan hukum positif. Tetapi bukan berarti tidak dijalankan,’’ pungkasnya. (wan/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/