JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo menerima kunjungan delegasi Kamboja yang dipimpin oleh PM Samdech Hun Sen, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Selasa (21/4). Pertemuan ini terjadi disela-sela agenda Konferensi Asia Afrika (KAA).
Dalam pertemuan kecil itu PM Hun Sen menyampaikan ucapan terima kasih pada pemerintah Indonesia, yang telah melatih hampir 6.000 tentara angkatan udara Kamboja untuk pengawal perdana menteri.
Menanggapi hal itu, presiden pun menawarkan kerja sama pembelian senjata dan seragam militer untuk angkatan udara Kamboja. “Saya menawarkan agar Kamboja membeli seragam dan persenjataannya dari Indonesia. Akan ditindaklanjuti (oleh PM Hun Sen),” kata presiden.
Jokowi meyakinkan pemerintah Kamboja bahwa senjata dan seragam Indonesia layak untuk dibeli. Terutama karena Indonesia telah melakukan pelatihan intensif dengan ribuan prajurit Kamboja selama empat bulan di bawah pengawasan tim supervisi pelatih dari Pasukan Pengamanan Presiden (Pampampres TNI).
“Bagusnya latihan di sini, beli senjata dan seragamnya juga di sini,” sambungnya.
Sementara, peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) memasuki hari ketiga dengan janji menghadirkan sesuatu yang nyata. Hal tersebut dibuktikan dari berbagai inisiatif yang digadang-gadang sebagai usulan konkrit terhadap masa depan kawasan Asia Afrika. Salah satu hal yang tipikal muncul adalah wacana pembentukan lembaga antar benua pada dua sektor : bisnis dan kemaritiman.
Rencana soal wadah bisnis antar benua tersebut keluar dari hasil Asian African Business Summit (AABS) kedua pada 2015. Pada acara yang dibuka oleh Presiden Jokowi tersebut, sekitar 700 pengusaha dari 47 negara urun rembug untuk membentuk wadah bagi pengusaha Asia dan Afrika. Wadah tersebut diharapkan bisa menggenjot kinerja perdagangan antara negara di Asia dan Afrika.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN) Indonesia Suryo Bambang Sulistyo mengatakan, event yang diadakan kembali sejak 2005 ini memang ingin menjadi pembeda. Pada pertemuan pertama, deklarasi AABS diakui hanya bersifat normatif tanpa ada hasil riil. Karena itu, dia mengaku melakukan inisiatif pembentukan wadah.
“Tujuan utama kan meningkatkan volume perdagangan antara Asia dan Afrika. Dari sisi Indonesia saja, tingkat perdagangan Indonesia dengan semua negara di Afrika hanya USD 10,7 miliar. Padahal, Tiongkok sudah bisa mencapai USD 200 miliar,” jelasnya.