26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sembilan Srikandi Anti Korupsi Pilihan Presiden

SUMUTPOS.CO- Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan sembilan nama anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, uniknya sembilan nama tersebut ternyata semuanya kaum hawa yang memiliki keahlian di bidang hukum, ekonomi, psikologi, sampai sosiologi.
MEREKA adalah Destry Damayanti, M.Sc, ekonom, ahli keuangan dan moneter, Dr Enny Nurbaningsih, SH, Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. Dr. Harkrituti Haskrisnowo, SH, LLM, Pakar Hukum Pidana dan HAM, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemenkumham, Ir. Betti S Alisjabana, MBA, ahli IT dan manajemen, Dr. Yenti Garnasih, SH, MH, Pakar hukum pidana ekonomi dan pencucian uang, Supra Wimbarti, M.SC, Ph.D, Ahli psikologi SDM dan pendidikan, Natalia Subagyo, M.Sc ahli tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi, Dr. Diani Sadiawati, SH, LLM, Ahli hukum yang saat ini menjabat sebagai Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas. Terkahir, Meuthia Ganie-Rochman, Ph.D, ahli sosiologi korupsi dan modal sosial.
Pilihan Jokowi terhadap perempuan tersebut sulit dijelaskan bahkan oleh anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki.
Teten hanya mengatakan bahwa untuk menjadi anggota Pansel dibutuhkan sosok yang memiliki kemampuan mumpuni. Selebihnya, keputusan berada ditangan Jokowi sendiri.
Namun, Teten mengingatkan bahwa seringnya Jokowi mempercayakan suatu jabatan tertentu kepada kaum hawa, bukanlah kebiasaan baru. Sebut saja, ketika mengangkat seorang wanita menjadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) di Solo ketika menjabat sebagai Walikota Surakarta.
“Tetapi bukan hal yang baru bagi Jokowi (memilih perempuan). Jumlah menteri perempuan di Kabinet Kerja kan juga banyak. Waktu menjadi Walikota Surakarta juga mengangkat perempuan sebagai Kasatpol PP,” papar Teten saat dihubungi, Kamis (21/5).
Jokowi memang tanpa diduga kerap memilih perempuan menduduki jabatan yang selayaknya diduduki oleh pria.
Pada tahun 2011, Jokowi yang ketika itu menjabat sebagai Walikota Surakarta tanpa dinyana mengangkat Sri Kadarwati sebagai Kasatpol PP Kota Solo selama satu tahun menggantikan Hasta Gunawan.
Hasilnya ternyata memang baik, dengan pendekatan kekeluargaan yang dilakukan Sri, penertiban pengemis ataupun Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak memerlukan senjata.
Kemudian, pada tahun 2013, ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi kembali menunjuk seorang perempuan sebagai Kasatpol PP DKI. Sylviana Murni diangkat menjadi pelaksana tugas Kasatpol PP DKI menggantikan Effendi Anas.
Namun, ketika itu, Jokowi mengatakan pengangkatan Sylviana dilakukan karena jabatan yang bersangkutan sebelumnya juga membawahi bidang Satpol PP.
“Oh enggak. Itu kan Bu Sylvi di asisten pemerintahan merangkum dulu. Karena dia kan asisten pemerintahan. Satpol PP kan di bawah kendali asisten pemerintahan,” jelas Jokowi ketika itu.
Selain itu, pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961, mengungkapkan bahwa Sylviana akan menjabat sebagai Kasatpol PP sampai pemerintah provinsi menemukan calon definitif pengganti Effendi. Artinya, jabatan Sylviana saat ini hanya sementara.
Selanjutnya, diketahui juga bahwa Kabinet Kerja yang dibentuk oleh Jokowi selaku Presiden dan Jusuf Kalla (JK) selaku Wakil Presiden, menjadi kabinet yang terbanyak memberi alokasi kursi untuk perempuan sepanjang sejarah kabinet setelah reformasi.
Dari 34 Kementerian yang ada, 8 kementerian dipercayakan dipimpin oleh kaum hawa. Perempuan-perempuan tersebut antara lain, Susi Pudjiastuti sebagai M enteri Kelautan dan Perikanan, Retno Lestasi Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Rini M Soemarno sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kemudian, Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nila F Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial.

Jatah menteri untuk perempuan tersebut masih lebih banyak dari pada jumlah perempuan di dua kali kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya memberikan empat kursi untuk perempuan.

Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, menteri perempuan adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang hanya menjabat sampai 2010. Kemudian, Menteri Perdagangan yang kemudian pada 2011 dirotasi menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu.

Selanjutnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Alisjahbana, Menteri Kesehatan (almarhumah) Endang Rahayu Sedyaningsih yang meninggal pada 2012, dan kemudian digantikan oleh Nafsiah Mboi. Serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Djalil.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pemilihan anggota Panitia Seleksi Calon Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi yang semuanya perempuan bukan hal yang aneh. Sebabnya, merekalah yang memenuhi kriteria yang diajukan Presiden Jokowi.

“Presiden memilih berdasarkan kriteria yang beliau sampaikan. Ini masalah kompetensi, integritas, dan juga keberagaman keahlian,” ujar Pratikno di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Kamis (21/5).

Menurut Pratikno, Jokowi melacak rekam jejak nama-nama yang disodorkan dari berbagai pihak. “Beliau membaca profilnya, setelah prosesnya panjang, dua minggu terakhir akhirnya memutuskan nama-nama itu,” ujar Pratikno.

Jokowi, kata Pratikno, berharap anggota Pansel mampu memilih orang-orang yang siap dibawa ke DPR. “Itu latar belakangnya. Jadi, mau perempuan, laki-laki sama saja,” kata Pratikno.

Sembilan nama yang dipilih Jokowi berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari ahli hukum, teknologi informasi, keuangan, sosiolog, psikolog, manajemen organisasi, hingga ahli tata kelola pemerintahan. Uniknya, semua perempuan.

Beberapa nama yang sempat disebut-sebut masuk anggota pansel seperti Margarito Kamis dan Romli Atmasasmita tak ada dalam daftar.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, berpendapat bahwa kualitas Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan terlihat dari daftar nama calon yang mereka saring. Hifdzil mengatakan tidak melihat ada figur bermasalah pada sembilan anggota Pansel, yang semuanya perempuan.

“Kualitas kinerjanya akan terlihat dari hasil penyaringan nama-nama calon,” ujar Hifdzil pada Kamis, 21 Mei 2015.

Menurut Hifdzil, pembentukan Pansel saat ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Sebab, baru kali ini panitia seleksi calon pemimpin lembaga negara seluruhnya perempuan.

Hifdzil mengamati, semua anggota memang memiliki latar belakang akademik dan pengalaman tidak meragukan di bidangnya masing-masing.

Hifdzil menjelaskan, indikator utama untuk mengukur kualitas Pansel sebenarnya bisa dengan melihat keterkaitan setiap anggotanya dengan kelompok kepentingan. Keterkaitan terpenting ialah dengan partai politik, baru kemudian kelompok kepentingan ekonomi, golongan, dan lainnya.

“Saya belum menemukan keterkaitan masing-masing dari anggota Pansel dengan kepentingan politik ataupun kelompok ekonomi,” ucap Hifdzil.

Namun, dari segi kapasitas dan pengalaman, Hifdzil mengaku tidak memahami secara mendetail tentang profil semua anggota Pansel. Dia mencontohkan dua akademikus UGM yang terpilih sebagai anggota Pansel, yakni Enny Nurbaningsih dan Supra Wimbarti. Enny merupakan pakar hukum tata negara asal Fakultas Hukum UGM, sementara Supra ialah ahli psikologi dari UGM. “Bu Enny memang paham soal hukum tata negara. Kalau Bu Supra, saya kurang kenal,” katanya.

Karena itu, Hifdzil menilai ukuran kualitas Pansel akan terlihat jelas dari hasil penyaringan nama-nama calon pemimpin KPK di semua tahapannya. Menurut Hifdzil, apabila kinerja Pansel moncer, nama-nama yang tersaring merupakan figur bersih dan kemampuannya dibutuhkan KPK.

“Karena itu, semua anggota Pansel harus benar-benar memahami kebutuhan kerja-kerja di bidang tindak pidana korupsi,” ujar Hifdzil. (bbs/val)

SUMUTPOS.CO- Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan sembilan nama anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, uniknya sembilan nama tersebut ternyata semuanya kaum hawa yang memiliki keahlian di bidang hukum, ekonomi, psikologi, sampai sosiologi.
MEREKA adalah Destry Damayanti, M.Sc, ekonom, ahli keuangan dan moneter, Dr Enny Nurbaningsih, SH, Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. Dr. Harkrituti Haskrisnowo, SH, LLM, Pakar Hukum Pidana dan HAM, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemenkumham, Ir. Betti S Alisjabana, MBA, ahli IT dan manajemen, Dr. Yenti Garnasih, SH, MH, Pakar hukum pidana ekonomi dan pencucian uang, Supra Wimbarti, M.SC, Ph.D, Ahli psikologi SDM dan pendidikan, Natalia Subagyo, M.Sc ahli tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi, Dr. Diani Sadiawati, SH, LLM, Ahli hukum yang saat ini menjabat sebagai Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas. Terkahir, Meuthia Ganie-Rochman, Ph.D, ahli sosiologi korupsi dan modal sosial.
Pilihan Jokowi terhadap perempuan tersebut sulit dijelaskan bahkan oleh anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki.
Teten hanya mengatakan bahwa untuk menjadi anggota Pansel dibutuhkan sosok yang memiliki kemampuan mumpuni. Selebihnya, keputusan berada ditangan Jokowi sendiri.
Namun, Teten mengingatkan bahwa seringnya Jokowi mempercayakan suatu jabatan tertentu kepada kaum hawa, bukanlah kebiasaan baru. Sebut saja, ketika mengangkat seorang wanita menjadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) di Solo ketika menjabat sebagai Walikota Surakarta.
“Tetapi bukan hal yang baru bagi Jokowi (memilih perempuan). Jumlah menteri perempuan di Kabinet Kerja kan juga banyak. Waktu menjadi Walikota Surakarta juga mengangkat perempuan sebagai Kasatpol PP,” papar Teten saat dihubungi, Kamis (21/5).
Jokowi memang tanpa diduga kerap memilih perempuan menduduki jabatan yang selayaknya diduduki oleh pria.
Pada tahun 2011, Jokowi yang ketika itu menjabat sebagai Walikota Surakarta tanpa dinyana mengangkat Sri Kadarwati sebagai Kasatpol PP Kota Solo selama satu tahun menggantikan Hasta Gunawan.
Hasilnya ternyata memang baik, dengan pendekatan kekeluargaan yang dilakukan Sri, penertiban pengemis ataupun Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak memerlukan senjata.
Kemudian, pada tahun 2013, ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi kembali menunjuk seorang perempuan sebagai Kasatpol PP DKI. Sylviana Murni diangkat menjadi pelaksana tugas Kasatpol PP DKI menggantikan Effendi Anas.
Namun, ketika itu, Jokowi mengatakan pengangkatan Sylviana dilakukan karena jabatan yang bersangkutan sebelumnya juga membawahi bidang Satpol PP.
“Oh enggak. Itu kan Bu Sylvi di asisten pemerintahan merangkum dulu. Karena dia kan asisten pemerintahan. Satpol PP kan di bawah kendali asisten pemerintahan,” jelas Jokowi ketika itu.
Selain itu, pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961, mengungkapkan bahwa Sylviana akan menjabat sebagai Kasatpol PP sampai pemerintah provinsi menemukan calon definitif pengganti Effendi. Artinya, jabatan Sylviana saat ini hanya sementara.
Selanjutnya, diketahui juga bahwa Kabinet Kerja yang dibentuk oleh Jokowi selaku Presiden dan Jusuf Kalla (JK) selaku Wakil Presiden, menjadi kabinet yang terbanyak memberi alokasi kursi untuk perempuan sepanjang sejarah kabinet setelah reformasi.
Dari 34 Kementerian yang ada, 8 kementerian dipercayakan dipimpin oleh kaum hawa. Perempuan-perempuan tersebut antara lain, Susi Pudjiastuti sebagai M enteri Kelautan dan Perikanan, Retno Lestasi Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Rini M Soemarno sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kemudian, Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nila F Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial.

Jatah menteri untuk perempuan tersebut masih lebih banyak dari pada jumlah perempuan di dua kali kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya memberikan empat kursi untuk perempuan.

Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, menteri perempuan adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang hanya menjabat sampai 2010. Kemudian, Menteri Perdagangan yang kemudian pada 2011 dirotasi menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu.

Selanjutnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Alisjahbana, Menteri Kesehatan (almarhumah) Endang Rahayu Sedyaningsih yang meninggal pada 2012, dan kemudian digantikan oleh Nafsiah Mboi. Serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Djalil.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pemilihan anggota Panitia Seleksi Calon Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi yang semuanya perempuan bukan hal yang aneh. Sebabnya, merekalah yang memenuhi kriteria yang diajukan Presiden Jokowi.

“Presiden memilih berdasarkan kriteria yang beliau sampaikan. Ini masalah kompetensi, integritas, dan juga keberagaman keahlian,” ujar Pratikno di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Kamis (21/5).

Menurut Pratikno, Jokowi melacak rekam jejak nama-nama yang disodorkan dari berbagai pihak. “Beliau membaca profilnya, setelah prosesnya panjang, dua minggu terakhir akhirnya memutuskan nama-nama itu,” ujar Pratikno.

Jokowi, kata Pratikno, berharap anggota Pansel mampu memilih orang-orang yang siap dibawa ke DPR. “Itu latar belakangnya. Jadi, mau perempuan, laki-laki sama saja,” kata Pratikno.

Sembilan nama yang dipilih Jokowi berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari ahli hukum, teknologi informasi, keuangan, sosiolog, psikolog, manajemen organisasi, hingga ahli tata kelola pemerintahan. Uniknya, semua perempuan.

Beberapa nama yang sempat disebut-sebut masuk anggota pansel seperti Margarito Kamis dan Romli Atmasasmita tak ada dalam daftar.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, berpendapat bahwa kualitas Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan terlihat dari daftar nama calon yang mereka saring. Hifdzil mengatakan tidak melihat ada figur bermasalah pada sembilan anggota Pansel, yang semuanya perempuan.

“Kualitas kinerjanya akan terlihat dari hasil penyaringan nama-nama calon,” ujar Hifdzil pada Kamis, 21 Mei 2015.

Menurut Hifdzil, pembentukan Pansel saat ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Sebab, baru kali ini panitia seleksi calon pemimpin lembaga negara seluruhnya perempuan.

Hifdzil mengamati, semua anggota memang memiliki latar belakang akademik dan pengalaman tidak meragukan di bidangnya masing-masing.

Hifdzil menjelaskan, indikator utama untuk mengukur kualitas Pansel sebenarnya bisa dengan melihat keterkaitan setiap anggotanya dengan kelompok kepentingan. Keterkaitan terpenting ialah dengan partai politik, baru kemudian kelompok kepentingan ekonomi, golongan, dan lainnya.

“Saya belum menemukan keterkaitan masing-masing dari anggota Pansel dengan kepentingan politik ataupun kelompok ekonomi,” ucap Hifdzil.

Namun, dari segi kapasitas dan pengalaman, Hifdzil mengaku tidak memahami secara mendetail tentang profil semua anggota Pansel. Dia mencontohkan dua akademikus UGM yang terpilih sebagai anggota Pansel, yakni Enny Nurbaningsih dan Supra Wimbarti. Enny merupakan pakar hukum tata negara asal Fakultas Hukum UGM, sementara Supra ialah ahli psikologi dari UGM. “Bu Enny memang paham soal hukum tata negara. Kalau Bu Supra, saya kurang kenal,” katanya.

Karena itu, Hifdzil menilai ukuran kualitas Pansel akan terlihat jelas dari hasil penyaringan nama-nama calon pemimpin KPK di semua tahapannya. Menurut Hifdzil, apabila kinerja Pansel moncer, nama-nama yang tersaring merupakan figur bersih dan kemampuannya dibutuhkan KPK.

“Karena itu, semua anggota Pansel harus benar-benar memahami kebutuhan kerja-kerja di bidang tindak pidana korupsi,” ujar Hifdzil. (bbs/val)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/