25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Tarif Ojol Rp2.400 per Km

ist
AKSI: Ratusan pengemudi ojek online saat menggelar aksi demonstrasi menuntut kenaikan ongkos yang dirasa sangat rendah, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO – Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengatakan, aturan tentang skema batas atas dan batas bawah tarif ojek online (ojol) sedang proses finalisasi. Dia menjanjikan pembahasannya selesai dalam pekan ini.

“Belum. Ya kami lagi bicara. Dalam minggu ini akan diselesaikan,” ungkap Budi di sela-sela mendampingi Presiden Jokowi menjajal MRT Jakarta, Selasa (19/3).

Budi menyebutkan, penghitungan tarif ojol akan didasarkan pada sejumlah komponen, antara lain bahan bakar yang dikeluarkan pengemudi, dan biaya lainnya. “Dengan dasar itu, dikumpulkan. Nah dari itu, memang HPP (harga pokok penjualan, red) sekitar Rp1.600 lah, itu harga pokoknya. Jadi memang harus lebih tinggi dari itu, tapi memang ada perbedaan. Ojol ini kan maunya Rp3.000 (per kilometer),” bebernya.

Dalam posisi tersebut, lanjutnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selaku regulator menawarkan angka di tengah-tengah antara operator dengan pengemudi. “Kalau kami di antara operator, aplikasi, itu kira-kira Rp2.400. Jadi ini lagi dibicarakan. Kami milih yang tengah, karena Rp3.000 hampir 2 kali lipat. Kalau naik hampir 2 kali lipat, takutnya penumpangnya (keberatan),” jelas Budi.

Sebelumnya, perang tarif perusahaan penyedia aplikasi transportasi daring atau ojol saat ini sedang memanas. Meski dianggap hal yang lazim, banjirnya promo tarif ojol yang cendurung ‘jual rugi’ ini, dinilai akan memberi dampak buruk pada kualitas layanan.

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno mengatakan, fenomena perang tarif harus segera dihentikan, demi menjaga pelayanan terhadap konsumen dan pendapatan pengemudi. “Kalau tidak disetop, ini akan menjadi masalah baru. Karena ujung-ujungnya konsumen dan pengemudi juga yang dirugikan,” katanya, belum lama ini.

Dia juga mengatakan, penempatan tarif sangat murah yang saat ini dilakukan perusahaan ojol asal Malaysia, Grab, memang terlihat bisa meningkatkan jumlah permintaan. Dampaknya adalah perolehan upah harian pengemudi seakan-akan tinggi. Padahal sebenarnya semua itu subsidi.

Dengan adanya subsidi tadi, Agus mengatakan, para mitra Grab pun diyakini akan berlomba-lomba meraih banyak order, dengan mengesampingkan faktor keselamatan dan kenyamanan penumpang.

Berangkat dari hal tersebut, Agus menyarankan, manajemen Grab untuk menggunakan dana besarnya fokus meningkatkan layanan kepada konsumen. Ini dilakukan dengan melakukan pelatihan skill berkendara, edukasi kepribadian dan ramah tamah kepada konsumen, kelayakan kostum, dan sebagainya. “Percuma tarif murah, tapi layanan buruk. Dam-pak yang terjadi akibat layanan yang rendah berpotensi dibayar lebih mahal oleh konsumen,” katanya.

Seperti diketahui, tarif Grab dirasakan konsumen saat ini memang terkesan lebih murah dibandingkan kompetitornya, GoJek. Hal tersebut terjadi karena Grab melakukan subsidi atas selisih atau kekurangan biaya yang dibayarkan oleh konsumen.

Praktik tersebut diketahui sudah dilakukan Grab sejak awal, dalam rangka memenangkan kompetisi ride-hailing di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Satu dampak negatif yang terjadi adalah kekalahan Uber, yang pada akhirnya diakuisisi oleh Grab. (fat/flo/jpnn/saz)

ist
AKSI: Ratusan pengemudi ojek online saat menggelar aksi demonstrasi menuntut kenaikan ongkos yang dirasa sangat rendah, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO – Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengatakan, aturan tentang skema batas atas dan batas bawah tarif ojek online (ojol) sedang proses finalisasi. Dia menjanjikan pembahasannya selesai dalam pekan ini.

“Belum. Ya kami lagi bicara. Dalam minggu ini akan diselesaikan,” ungkap Budi di sela-sela mendampingi Presiden Jokowi menjajal MRT Jakarta, Selasa (19/3).

Budi menyebutkan, penghitungan tarif ojol akan didasarkan pada sejumlah komponen, antara lain bahan bakar yang dikeluarkan pengemudi, dan biaya lainnya. “Dengan dasar itu, dikumpulkan. Nah dari itu, memang HPP (harga pokok penjualan, red) sekitar Rp1.600 lah, itu harga pokoknya. Jadi memang harus lebih tinggi dari itu, tapi memang ada perbedaan. Ojol ini kan maunya Rp3.000 (per kilometer),” bebernya.

Dalam posisi tersebut, lanjutnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selaku regulator menawarkan angka di tengah-tengah antara operator dengan pengemudi. “Kalau kami di antara operator, aplikasi, itu kira-kira Rp2.400. Jadi ini lagi dibicarakan. Kami milih yang tengah, karena Rp3.000 hampir 2 kali lipat. Kalau naik hampir 2 kali lipat, takutnya penumpangnya (keberatan),” jelas Budi.

Sebelumnya, perang tarif perusahaan penyedia aplikasi transportasi daring atau ojol saat ini sedang memanas. Meski dianggap hal yang lazim, banjirnya promo tarif ojol yang cendurung ‘jual rugi’ ini, dinilai akan memberi dampak buruk pada kualitas layanan.

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno mengatakan, fenomena perang tarif harus segera dihentikan, demi menjaga pelayanan terhadap konsumen dan pendapatan pengemudi. “Kalau tidak disetop, ini akan menjadi masalah baru. Karena ujung-ujungnya konsumen dan pengemudi juga yang dirugikan,” katanya, belum lama ini.

Dia juga mengatakan, penempatan tarif sangat murah yang saat ini dilakukan perusahaan ojol asal Malaysia, Grab, memang terlihat bisa meningkatkan jumlah permintaan. Dampaknya adalah perolehan upah harian pengemudi seakan-akan tinggi. Padahal sebenarnya semua itu subsidi.

Dengan adanya subsidi tadi, Agus mengatakan, para mitra Grab pun diyakini akan berlomba-lomba meraih banyak order, dengan mengesampingkan faktor keselamatan dan kenyamanan penumpang.

Berangkat dari hal tersebut, Agus menyarankan, manajemen Grab untuk menggunakan dana besarnya fokus meningkatkan layanan kepada konsumen. Ini dilakukan dengan melakukan pelatihan skill berkendara, edukasi kepribadian dan ramah tamah kepada konsumen, kelayakan kostum, dan sebagainya. “Percuma tarif murah, tapi layanan buruk. Dam-pak yang terjadi akibat layanan yang rendah berpotensi dibayar lebih mahal oleh konsumen,” katanya.

Seperti diketahui, tarif Grab dirasakan konsumen saat ini memang terkesan lebih murah dibandingkan kompetitornya, GoJek. Hal tersebut terjadi karena Grab melakukan subsidi atas selisih atau kekurangan biaya yang dibayarkan oleh konsumen.

Praktik tersebut diketahui sudah dilakukan Grab sejak awal, dalam rangka memenangkan kompetisi ride-hailing di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Satu dampak negatif yang terjadi adalah kekalahan Uber, yang pada akhirnya diakuisisi oleh Grab. (fat/flo/jpnn/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/