JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sorotan terhadap wacana Revisi UU TNI disuarakan bersamaan dengan peringatan 25 tahun Reformasi 1998, kemarin (21/5). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai revisi tersebut jelas bertolak belakang dengan salah satu agenda Reformasi 1998, yakni menghapus dwifungsi ABRI atau TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamidn
mengatakan, capaian reformasi militer yang sudah dilakukan sejak Reformasi 1998 terancam mengalami kemunduran jika revisi UU TNI diteruskan, atau bahkan diwujudkan oleh pemerintah. “Reformasi jelas mensyaratkan reformasi ABRI atau reformasi militer,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, kemarin (21/5).
Suara penolakan terhadap revisi UU TNI juga disuarakan anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang lain. Diantaranya Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, ICW, YLBHI, Walhi, KontraS dan Setara Institute. Salah satu poin penolakan dari mereka terkait wacana menempatkan prajurit aktif ke dalam jabatan publik yang tidak terkait dengan fungsi pertahanan.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menambahkan, ada beberapa agenda reformasi TNI yang masih mangkrak atau mandek sampai saat ini. Salah satunya reformasi sistem peradilan militer. Menurutnya, pemerintah mestinya melanjutkan capaian positif dengan melanjutkan agenda reformasi TNI terkait sistem peradilan militer itu.
Selain reformasi sistem peradilan militer, Gufron juga menyebut ada beberapa masalah lain yang terjadi di tubuh TNI. Diantaranya perang internal militer, dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kegiatan politik praktis, hingga kekerasan aparat TNI yang terjadi di banyak daerah. “Isu rencana revisi UU TNI justru akan semakin menguatkan kemunduran agenda reformasi TNI yang dimandatkan pada 1998,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, revisi UU TNI mengemuka beberapa waktu belakangan. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut bahwa wacana revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI itu merupakan amanat program legislasi nasional (prolegnas) yang belum sempat dilaksanakan. Yudo menegaskan bahwa wacana itu masih membutuhkan pembahasan komprehensif. (tyo/jpg)