30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Ke Depan, Tak Semua Kepala Daerah Dipilih Langsung, MPR Kaji Sistem Pilkada Asimetris

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan wacana perubahan sistem pilkada menjadi asimetris. Gagasan itu dilontarkan saat melakukan pertemuan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kemarin (21/).

Pilkada asimetris nantinya membuka ruang sistem yang berbeda. Ada daerah yang menggelar pemilihan langsung oleh masyarakat. Namun ada yang dipilih melalui DPRD. Perbedaan itu ditentukan situasi dan pertimbangan tertentu antara lain faktor keamanann

Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, perubahan sistem pilkada menjadi salah satu isu yang sedang dikaji. MPR menilai, sistem pilkada langsung yang berjalan selama ini sudah cenderung mengarah liberal.

Situasi itu, lanjut dia, setidaknya memunculkan dua dampak negatif. Pertama, politik biaya tinggi untuk mendapat dukungan masyarakat. “Yang sebagian besar itu disediakan oleh para pemodal,” ujarnya usai pertemuan.

Besarnya modal yang dikeluarkan, kata Djarot, membuat kepala daerah terpilih tidak bisa bekerja bebas. Bahkan ada potensi korupsi untuk mengambalikan modal yang dikeluarkan. Bahkan, 50 persen kepala daerah hasil Pilkada langsung konon terjerat kasus korupsi.

Diakui Djarot, pemilihan melalui DPRD juga tidak menutup kemungkinan jual beli suara, namun dia meyakini lebih mudah dikontrol. Sebab ruang lingkupnya jauh lebih terbatas. Selain biaya, efek negatif kedua adalah polarisasi masyarakat sebagai akibat dari perang narasi di publik.

Djarot memandang, baik pemilihan langsung maupun melalui DPRD sama-sama memenuhi aspek demokratis dan konstitusional. “Tidak ada yang mengatakan harus dipilih secara langsung, tapi secara demokratis. Maka ini akan mendapatkan kajian yang menarik,” imbuhnya.

Djarot menilai, ke depan perlu dikaji daerah-daerah mana saja yang siap melakukan pilkada secara langsung dan tidak langsung. Menurutnya, akhir tahun ini hasil pengkajian Badan Pengkajian MPR RI akan diserahkan ke KPU RI. Politikus PDIP itu pun memastikan, kajian itu juga tidak akan diberlakukan di 2024. Apalagi, opsi untuk merevisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sudah ditutup. “Berarti kita menyiapkan kajian untuk periode ke depan, supaya kita tidak terjerambak terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti ini,” pungkas Djarot.

Pertemuan KPU dengan MPR itu berlangsung tertutup. KPU sendiri tidak memberikan tanggapan kepada media terkait wacana tersebut.

Sebelumnya, isu Pilkada asimetris kembali digulirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian pada pertengahan 2020 lalu. Tito menjelaskan beberapa alasan terkait usul ini.

Mulanya, Tito menjelaskan soal dampak negatif dan positif pilkada langsung. “Pemilihan langsung ini ada aspek positif, ada aspek negatifnya. Aspek positifnya yang saya sampaikan tadi, kita ingin ada pemimpin-pemimpin baru. Ada calon perorangan. Ada legitimasi yang kuat dari kepala daerah karena dipilih rakyatnya. Itu sisi positifnya,” kata Tito.

“Tapi sisi negatifnya juga ada. Kita tidak nafikan itu. Yang pertama adalah manipulasi demokrasi dengan sistem pemilihan langsung. Karena jika demokrasi pemilihan langsung ini diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida, artinya hanya hanya sedikit yang high class, low-middle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar low class,” sambung Tito.

Menurut mantan Kapolri ini, masyarakat menengah ke bawah kebanyakan belum memahami arti penting demokrasi. Akibatnya, mereka pun mudah dimanipulasi. “Low class kita adalah mereka yang poorly educated, secara pendidikan tidak memadai dan secara kesejahteraan tidak memadai. Nah, mereka belum memahami arti demokrasi. Akibatnya, di daerah-daerah tadi yang para pemilihnya dipenuhi oleh low class, kualitas pemimpin yang dipilih belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena memang masyarakatnya mudah dimanipulasi,” jelas Tito.

Tito pun sempat bercerita soal pengalamannya ketika menjabat Kapolda Papua. Tanpa bermaksud merendahkan, dia melihat masyarakat di sana belum cukup memahami arti demokrasi. Berangkat dari beberapa alasan ini, Tito pun kembali mengusulkan soal pilkada asimetris. Pilkada asimetris ialah pelaksanaan pilkada yang didasarkan pada kedewasaan demokrasi tiap daerah. Bagi daerah yang dianggap mengerti demokrasi, pilkada langsung bisa diterapkan. Namun, jika di daerah tersebut penduduknya belum memiliki kedewasaan demokrasi yang mumpuni, pilkada digelar secara tidak langsung. (far/bay/jpg/bbs/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan wacana perubahan sistem pilkada menjadi asimetris. Gagasan itu dilontarkan saat melakukan pertemuan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kemarin (21/).

Pilkada asimetris nantinya membuka ruang sistem yang berbeda. Ada daerah yang menggelar pemilihan langsung oleh masyarakat. Namun ada yang dipilih melalui DPRD. Perbedaan itu ditentukan situasi dan pertimbangan tertentu antara lain faktor keamanann

Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, perubahan sistem pilkada menjadi salah satu isu yang sedang dikaji. MPR menilai, sistem pilkada langsung yang berjalan selama ini sudah cenderung mengarah liberal.

Situasi itu, lanjut dia, setidaknya memunculkan dua dampak negatif. Pertama, politik biaya tinggi untuk mendapat dukungan masyarakat. “Yang sebagian besar itu disediakan oleh para pemodal,” ujarnya usai pertemuan.

Besarnya modal yang dikeluarkan, kata Djarot, membuat kepala daerah terpilih tidak bisa bekerja bebas. Bahkan ada potensi korupsi untuk mengambalikan modal yang dikeluarkan. Bahkan, 50 persen kepala daerah hasil Pilkada langsung konon terjerat kasus korupsi.

Diakui Djarot, pemilihan melalui DPRD juga tidak menutup kemungkinan jual beli suara, namun dia meyakini lebih mudah dikontrol. Sebab ruang lingkupnya jauh lebih terbatas. Selain biaya, efek negatif kedua adalah polarisasi masyarakat sebagai akibat dari perang narasi di publik.

Djarot memandang, baik pemilihan langsung maupun melalui DPRD sama-sama memenuhi aspek demokratis dan konstitusional. “Tidak ada yang mengatakan harus dipilih secara langsung, tapi secara demokratis. Maka ini akan mendapatkan kajian yang menarik,” imbuhnya.

Djarot menilai, ke depan perlu dikaji daerah-daerah mana saja yang siap melakukan pilkada secara langsung dan tidak langsung. Menurutnya, akhir tahun ini hasil pengkajian Badan Pengkajian MPR RI akan diserahkan ke KPU RI. Politikus PDIP itu pun memastikan, kajian itu juga tidak akan diberlakukan di 2024. Apalagi, opsi untuk merevisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sudah ditutup. “Berarti kita menyiapkan kajian untuk periode ke depan, supaya kita tidak terjerambak terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti ini,” pungkas Djarot.

Pertemuan KPU dengan MPR itu berlangsung tertutup. KPU sendiri tidak memberikan tanggapan kepada media terkait wacana tersebut.

Sebelumnya, isu Pilkada asimetris kembali digulirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian pada pertengahan 2020 lalu. Tito menjelaskan beberapa alasan terkait usul ini.

Mulanya, Tito menjelaskan soal dampak negatif dan positif pilkada langsung. “Pemilihan langsung ini ada aspek positif, ada aspek negatifnya. Aspek positifnya yang saya sampaikan tadi, kita ingin ada pemimpin-pemimpin baru. Ada calon perorangan. Ada legitimasi yang kuat dari kepala daerah karena dipilih rakyatnya. Itu sisi positifnya,” kata Tito.

“Tapi sisi negatifnya juga ada. Kita tidak nafikan itu. Yang pertama adalah manipulasi demokrasi dengan sistem pemilihan langsung. Karena jika demokrasi pemilihan langsung ini diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida, artinya hanya hanya sedikit yang high class, low-middle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar low class,” sambung Tito.

Menurut mantan Kapolri ini, masyarakat menengah ke bawah kebanyakan belum memahami arti penting demokrasi. Akibatnya, mereka pun mudah dimanipulasi. “Low class kita adalah mereka yang poorly educated, secara pendidikan tidak memadai dan secara kesejahteraan tidak memadai. Nah, mereka belum memahami arti demokrasi. Akibatnya, di daerah-daerah tadi yang para pemilihnya dipenuhi oleh low class, kualitas pemimpin yang dipilih belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena memang masyarakatnya mudah dimanipulasi,” jelas Tito.

Tito pun sempat bercerita soal pengalamannya ketika menjabat Kapolda Papua. Tanpa bermaksud merendahkan, dia melihat masyarakat di sana belum cukup memahami arti demokrasi. Berangkat dari beberapa alasan ini, Tito pun kembali mengusulkan soal pilkada asimetris. Pilkada asimetris ialah pelaksanaan pilkada yang didasarkan pada kedewasaan demokrasi tiap daerah. Bagi daerah yang dianggap mengerti demokrasi, pilkada langsung bisa diterapkan. Namun, jika di daerah tersebut penduduknya belum memiliki kedewasaan demokrasi yang mumpuni, pilkada digelar secara tidak langsung. (far/bay/jpg/bbs/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/