31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

RI Tawar Inalum Rp 6,1 Triliun

TRIADI WIOWO/SUMUT POS Pabrik Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara.
TRIADI WIOWO/SUMUT POS
Pabrik Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara.

JAKARTA- Kurang dari dua pekan Nippon Asahan Aluminium (NAA) harus melepas 58,88 persen sahamnya di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Kabar terakhir, Pemerintah Indonesia sudah menaikkan tawaran untuk membeli saham NAA di pabrik peleburan aluminium ini menjadi USD 558 juta atau sekitar Rp 6,1 triliun.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, tawaran itu sadah sesuai perhitungan terbaru yang dibuat BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Angka Rp 6,1 triliun ini lebih tinggi daripada penawaran sebelumnya USD 424 juta atau sekitar Rp 4,6 triliun. Namun masih lebih rendah dibanding permintaan NAA sebesar USD 650 juta atau sekitar Rp 7,1 triliun. “Sekarang USD 558 yang kami ajukan,” ujarnya kemarin (21/10).

Awalnya, bergulir wacana untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional menyusul masih buntunya negosiasi dengan NAA. Namun, Hidayat menilai proses hukum ke arbitrase internasional hanya akan membuang waktu dan menghabiskan biaya besar. Sebab, Indonesia harus menyewa pengacara asing. “Kemungkinan tidak jadi arbitrase,” ungkapnya.

Kebuntuan negosiasi timbul karena adanya perbedaan perhitungan antara pemerintah dengan NAA Jepang. Dalam perhitungan BPKP, nilai buku Inalum sebesar USD 424 juta. Sedangkan NAA Jepang menghitung nilai buku Inalum USD 650 juta. Jika dirupiahkan, selisih antara kedua perhitungan tersebut cukup besar, mencapai Rp 2,5 triliun.

Sesuai master agreement yang ditandatangani pemerintah dengan Jepang pada 7 Juli 1975 di Tokyo, Inalum sudah harus dikembalikan dan dikelola Indonesia mulai 31 Oktober 2013. Saat ini, pemerintah Indonesia hanya menguasai 41,12 persen saham Inalum, sisanya 58,88 persen dikuasai NAA. “Mudah-mudahan per 31 Oktober Inalum kembali ke pangkuan Indonesia,” ungkapnya.

Sayangnya, meski negosiasi dengan NAA Jepang belum usai, sejumlah pemerintah daerah berebut ingin menguasai Inalum. Di antaranya Pemprov Sumatera Utara (Sumut) dan 10 kabupaten atau kota se-kawasan Danau Toba dan Asahan. “Ada empat kelompok yang datang. Pemkab, DPD (dewan perwakilan daerah), gubernur, dan konsorsium perusahaan daerah,” kata Hidayat.

Mereka bahkan sudah membuat skenario bila saham mayoritas Inalum sudah digenggam, beberapa pemda akan membentuk konsorsium bernama PT Pembangunan Prasarana Sumatera Utara (PPSU). Mengenai hal itu. Hidayat mengaku tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan ke pemda. “Saya tidak punya kapasitas untuk menentukan,” tukasnya.

Inalum merupakan satu-satunya perusahaan peleburan aluminium di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas terlengkap. Seperti carbon plant, reduction plan, dan casting plan terintegrasi. Kapasitas produksi Inalum 250 ribu ton per tahun, 60 persen diekspor ke Jepang dan 40 persen untuk pasar domestik. Padahal, untuk pasar domestik saja dibutuhkan 450-600 ribu ton per tahun. “Prospeknya memang bagus, makanya harus kita perjuangkan,” jelasnya. (wir/oki)

TRIADI WIOWO/SUMUT POS Pabrik Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara.
TRIADI WIOWO/SUMUT POS
Pabrik Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara.

JAKARTA- Kurang dari dua pekan Nippon Asahan Aluminium (NAA) harus melepas 58,88 persen sahamnya di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Kabar terakhir, Pemerintah Indonesia sudah menaikkan tawaran untuk membeli saham NAA di pabrik peleburan aluminium ini menjadi USD 558 juta atau sekitar Rp 6,1 triliun.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, tawaran itu sadah sesuai perhitungan terbaru yang dibuat BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Angka Rp 6,1 triliun ini lebih tinggi daripada penawaran sebelumnya USD 424 juta atau sekitar Rp 4,6 triliun. Namun masih lebih rendah dibanding permintaan NAA sebesar USD 650 juta atau sekitar Rp 7,1 triliun. “Sekarang USD 558 yang kami ajukan,” ujarnya kemarin (21/10).

Awalnya, bergulir wacana untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional menyusul masih buntunya negosiasi dengan NAA. Namun, Hidayat menilai proses hukum ke arbitrase internasional hanya akan membuang waktu dan menghabiskan biaya besar. Sebab, Indonesia harus menyewa pengacara asing. “Kemungkinan tidak jadi arbitrase,” ungkapnya.

Kebuntuan negosiasi timbul karena adanya perbedaan perhitungan antara pemerintah dengan NAA Jepang. Dalam perhitungan BPKP, nilai buku Inalum sebesar USD 424 juta. Sedangkan NAA Jepang menghitung nilai buku Inalum USD 650 juta. Jika dirupiahkan, selisih antara kedua perhitungan tersebut cukup besar, mencapai Rp 2,5 triliun.

Sesuai master agreement yang ditandatangani pemerintah dengan Jepang pada 7 Juli 1975 di Tokyo, Inalum sudah harus dikembalikan dan dikelola Indonesia mulai 31 Oktober 2013. Saat ini, pemerintah Indonesia hanya menguasai 41,12 persen saham Inalum, sisanya 58,88 persen dikuasai NAA. “Mudah-mudahan per 31 Oktober Inalum kembali ke pangkuan Indonesia,” ungkapnya.

Sayangnya, meski negosiasi dengan NAA Jepang belum usai, sejumlah pemerintah daerah berebut ingin menguasai Inalum. Di antaranya Pemprov Sumatera Utara (Sumut) dan 10 kabupaten atau kota se-kawasan Danau Toba dan Asahan. “Ada empat kelompok yang datang. Pemkab, DPD (dewan perwakilan daerah), gubernur, dan konsorsium perusahaan daerah,” kata Hidayat.

Mereka bahkan sudah membuat skenario bila saham mayoritas Inalum sudah digenggam, beberapa pemda akan membentuk konsorsium bernama PT Pembangunan Prasarana Sumatera Utara (PPSU). Mengenai hal itu. Hidayat mengaku tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan ke pemda. “Saya tidak punya kapasitas untuk menentukan,” tukasnya.

Inalum merupakan satu-satunya perusahaan peleburan aluminium di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas terlengkap. Seperti carbon plant, reduction plan, dan casting plan terintegrasi. Kapasitas produksi Inalum 250 ribu ton per tahun, 60 persen diekspor ke Jepang dan 40 persen untuk pasar domestik. Padahal, untuk pasar domestik saja dibutuhkan 450-600 ribu ton per tahun. “Prospeknya memang bagus, makanya harus kita perjuangkan,” jelasnya. (wir/oki)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/