31 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Mata Dunia ke Aceh

Foto: JOEL SAGET (atas) dan CHAIDEER MAHYUDDIN (bawah)/AFP Atas: Foto diambil 16 Januari 2005 menunjukkan masjid yang rusak sebagian di daerah Lampuuk, Banda Aceh pascatsunami Aceh 26 Desember 2004.  Bawah: Foto diambil 21 Desember 2014 menunjukkan masjid yang sudah direnovasi dikeliling rumah dan masyarakat yang dibangun ulang.
Foto: JOEL SAGET (atas) dan CHAIDEER MAHYUDDIN (bawah)/AFP
Atas: Foto diambil 16 Januari 2005 menunjukkan masjid yang rusak sebagian di daerah Lampuuk, Banda Aceh pascatsunami Aceh 26 Desember 2004.
Bawah: Foto diambil 21 Desember 2014 menunjukkan masjid yang sudah direnovasi dikeliling rumah dan masyarakat yang dibangun ulang.

BANDA ACEH, SUMUTPOS.CO – Jelang peringataan ke-10 Tsunami Aceh, mata dunia kini beralih ke kawasan di ujung Sumatera itu, Aceh. Berbagai agenda dan pemikiran pun muncul terkait musibah yang menghentak dunia pada 26 Desember 2004 lalu tersebut.

Profesor Yasuo Tanaka dari Kobe University tak ketinggalan. Hadir dalam diskusi di Banda Aceh, dia menekankan kemampuan bangkit dari musibah yang luar biasa tersebut adalah sesuatu yang penting. “Kami ingin berbagi pengalaman kami di masa lalu, yakni gempa Kobe kepada generasi selanjutnya. Ini yang paling penting,” kata Prof Tanaka saat memberikan sambutannya pada Diskusi Publik Kajian Pemulihan Pasca 10 Tahun Tsunami Aceh, Sabtu (20/12).

Pihaknya ingin berdiskusi soal bagaimana menciptakan Aceh yang lebih baik, apa yang telah terjadi dan kendala selama 10 tahun tahun terakhir pascagempa dan tsunami 2004 serta bersama-sama mencari solusinya.

“Warga dan pemerintah harus bekerja sama. Warga harus memberi masukan karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” kata Prof Tanaka.

Aceh, Tokyodan Kobe kata dia, memiliki satu persamaan yaitu berada pada wilayah yang rawan akan bencana gempa dan tsunami. “Berkaca pada pengalaman gempa Kobe, 20 tahun lalu, kita semua dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup untuk menghadapi bencana ke depan. Pemahaman dan sharing pengetahuan untuk membuat masyarakat lebih baik di masa depan merupakan hal yang terpenting,” kata Prof Tanaka.

Sementara Rektor Unsyiah Prof Dr Samsul Rizal, dalam kesempatan itu menyampaikan jika

manusia hanya bisa memprediksi dan tidak bisa memastikan kapan suatu bencana itu akan terjadi. Sehingga diperlukan kewaspadaan dan kesiapan semua pihak dalam menghadapi bencana, sehingga dampaknya bisa diminimalisir.

Samsul Rizal juga ikut menjelaskan tentang kebangkitan Kota Kobe, Jepang, pasca dilanda gempa 7,2 SR pada 1995 silam. “Kota Kobe luluh lantak kala itu, namun beberapa tahun kemudian Kobe berhasil bangkit. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Aceh pada 2004 silam. 50 persen wilayah pesisir Aceh hancur dan program rehab-rekon menjadi landasan awal pembangunan Aceh pascabencana gempa/tsunami 2004. Program tanggap daruratnya juga berjalan cukup baik,” kata Rektor Unsyiah.

Meskipun begitu, ia tak menampik jika pembangunan Aceh pasca 10 tahun masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya adalah sistem drainase Kota Banda Aceh yang belum berfungsi maksimal.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir dipastikan akan menghadiri peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Di sana, presiden dijadwal akan berada selama dua hari.

“Insyaallah pada 25 dan 26 Desember, jika tidak ada perubahan, presiden ada agenda ke Aceh,” ungkap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, saat dihubungi, tadi malam (22/12). Meski demikian, dia belum bisa memastikan siapa saja menteri yang akan ikut mendampingi.

“Termasuk, saya juga belum dapat arahan untuk kunjungan presiden ke Aceh tersebut,” tuturnya.

10 tahun peringatan tsunami Aceh tidak cukup kuat untuk menjadi cambuk pemerintah dalam melakukan mitigasi tsunami di Indonesia. Banyak kebutuhan infrastruktur untuk kesiapan bencana tsunami yang masih belum terpenuhi hingga kini.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho secara dramatis mendetailkannya. Pertama, terkait sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Ina TEWS). Saat ini, Indonesia baru memiliki 42 unit sirine tsunami. Padahal, kebutuhannya mencapai 1.000 unit untuk dipasang di seluruh wilayah pesisir Indonesia yang mencapai 45 km.

“Kemampuan menyampaikan warning dari BMKG sudah bisa dilakukan 5 menit setelah gempa, namun masih perlu dikembangkan agar menjangkau seluruh Indonesia,” ungkapnya di Jakarta, kemarin (21/12).

Kedua, pemenuhan kebutuhan shelter tsunami yang jug amasih minim. Dari kebutuhan sekitar 2.500 unit, hingga kini masih terpenuhi sebanyak 50 unit. Padahal, bangunan shelter ini adalah lokasi utama pengungsian apabila terjadi bencana. Shelter dapat digunakan untuk evakuasi pengungsi dan kegiatan lainnya.

Hal mendesak yang harus dilakukan lainnya adalah kegiatan sosialisasi yang menyangkut latihan evakuasi apabila terjadi tsunami. Sebab, hingga kini masyarakat Indonesia dinilai masih belum siap menghadapi tsunami. “Ini semua memang proses untuk menjadi siap. Perlu waktu jangka panjang dan lintas generasi untuk hal itu,” ungkapnya.

Sementara, anggota Fraksi PKB DPR RI dari daerah pemilihan Aceh Irmawan menyatakan, momentum peringatan 10 tahun Aceh harus menjadi pemicu untuk lebih memajukan Aceh. Apa yang diraih oleh Aceh selama 10 tahun terakhir, merupakan salah satu kemajuan yang berarti. “Aceh 10 tahun lalu luluh lantak, tapi dengan cepat Aceh bangkit, mudah-mudahan momen 10 tahun ini menjadi semangat baru rakyat Aceh,” ujarnya saat dihubungi. (mag-53/smg/mia/bay/jpnn/rbb)

Foto: JOEL SAGET (atas) dan CHAIDEER MAHYUDDIN (bawah)/AFP Atas: Foto diambil 16 Januari 2005 menunjukkan masjid yang rusak sebagian di daerah Lampuuk, Banda Aceh pascatsunami Aceh 26 Desember 2004.  Bawah: Foto diambil 21 Desember 2014 menunjukkan masjid yang sudah direnovasi dikeliling rumah dan masyarakat yang dibangun ulang.
Foto: JOEL SAGET (atas) dan CHAIDEER MAHYUDDIN (bawah)/AFP
Atas: Foto diambil 16 Januari 2005 menunjukkan masjid yang rusak sebagian di daerah Lampuuk, Banda Aceh pascatsunami Aceh 26 Desember 2004.
Bawah: Foto diambil 21 Desember 2014 menunjukkan masjid yang sudah direnovasi dikeliling rumah dan masyarakat yang dibangun ulang.

BANDA ACEH, SUMUTPOS.CO – Jelang peringataan ke-10 Tsunami Aceh, mata dunia kini beralih ke kawasan di ujung Sumatera itu, Aceh. Berbagai agenda dan pemikiran pun muncul terkait musibah yang menghentak dunia pada 26 Desember 2004 lalu tersebut.

Profesor Yasuo Tanaka dari Kobe University tak ketinggalan. Hadir dalam diskusi di Banda Aceh, dia menekankan kemampuan bangkit dari musibah yang luar biasa tersebut adalah sesuatu yang penting. “Kami ingin berbagi pengalaman kami di masa lalu, yakni gempa Kobe kepada generasi selanjutnya. Ini yang paling penting,” kata Prof Tanaka saat memberikan sambutannya pada Diskusi Publik Kajian Pemulihan Pasca 10 Tahun Tsunami Aceh, Sabtu (20/12).

Pihaknya ingin berdiskusi soal bagaimana menciptakan Aceh yang lebih baik, apa yang telah terjadi dan kendala selama 10 tahun tahun terakhir pascagempa dan tsunami 2004 serta bersama-sama mencari solusinya.

“Warga dan pemerintah harus bekerja sama. Warga harus memberi masukan karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” kata Prof Tanaka.

Aceh, Tokyodan Kobe kata dia, memiliki satu persamaan yaitu berada pada wilayah yang rawan akan bencana gempa dan tsunami. “Berkaca pada pengalaman gempa Kobe, 20 tahun lalu, kita semua dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup untuk menghadapi bencana ke depan. Pemahaman dan sharing pengetahuan untuk membuat masyarakat lebih baik di masa depan merupakan hal yang terpenting,” kata Prof Tanaka.

Sementara Rektor Unsyiah Prof Dr Samsul Rizal, dalam kesempatan itu menyampaikan jika

manusia hanya bisa memprediksi dan tidak bisa memastikan kapan suatu bencana itu akan terjadi. Sehingga diperlukan kewaspadaan dan kesiapan semua pihak dalam menghadapi bencana, sehingga dampaknya bisa diminimalisir.

Samsul Rizal juga ikut menjelaskan tentang kebangkitan Kota Kobe, Jepang, pasca dilanda gempa 7,2 SR pada 1995 silam. “Kota Kobe luluh lantak kala itu, namun beberapa tahun kemudian Kobe berhasil bangkit. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Aceh pada 2004 silam. 50 persen wilayah pesisir Aceh hancur dan program rehab-rekon menjadi landasan awal pembangunan Aceh pascabencana gempa/tsunami 2004. Program tanggap daruratnya juga berjalan cukup baik,” kata Rektor Unsyiah.

Meskipun begitu, ia tak menampik jika pembangunan Aceh pasca 10 tahun masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya adalah sistem drainase Kota Banda Aceh yang belum berfungsi maksimal.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir dipastikan akan menghadiri peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Di sana, presiden dijadwal akan berada selama dua hari.

“Insyaallah pada 25 dan 26 Desember, jika tidak ada perubahan, presiden ada agenda ke Aceh,” ungkap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, saat dihubungi, tadi malam (22/12). Meski demikian, dia belum bisa memastikan siapa saja menteri yang akan ikut mendampingi.

“Termasuk, saya juga belum dapat arahan untuk kunjungan presiden ke Aceh tersebut,” tuturnya.

10 tahun peringatan tsunami Aceh tidak cukup kuat untuk menjadi cambuk pemerintah dalam melakukan mitigasi tsunami di Indonesia. Banyak kebutuhan infrastruktur untuk kesiapan bencana tsunami yang masih belum terpenuhi hingga kini.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho secara dramatis mendetailkannya. Pertama, terkait sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Ina TEWS). Saat ini, Indonesia baru memiliki 42 unit sirine tsunami. Padahal, kebutuhannya mencapai 1.000 unit untuk dipasang di seluruh wilayah pesisir Indonesia yang mencapai 45 km.

“Kemampuan menyampaikan warning dari BMKG sudah bisa dilakukan 5 menit setelah gempa, namun masih perlu dikembangkan agar menjangkau seluruh Indonesia,” ungkapnya di Jakarta, kemarin (21/12).

Kedua, pemenuhan kebutuhan shelter tsunami yang jug amasih minim. Dari kebutuhan sekitar 2.500 unit, hingga kini masih terpenuhi sebanyak 50 unit. Padahal, bangunan shelter ini adalah lokasi utama pengungsian apabila terjadi bencana. Shelter dapat digunakan untuk evakuasi pengungsi dan kegiatan lainnya.

Hal mendesak yang harus dilakukan lainnya adalah kegiatan sosialisasi yang menyangkut latihan evakuasi apabila terjadi tsunami. Sebab, hingga kini masyarakat Indonesia dinilai masih belum siap menghadapi tsunami. “Ini semua memang proses untuk menjadi siap. Perlu waktu jangka panjang dan lintas generasi untuk hal itu,” ungkapnya.

Sementara, anggota Fraksi PKB DPR RI dari daerah pemilihan Aceh Irmawan menyatakan, momentum peringatan 10 tahun Aceh harus menjadi pemicu untuk lebih memajukan Aceh. Apa yang diraih oleh Aceh selama 10 tahun terakhir, merupakan salah satu kemajuan yang berarti. “Aceh 10 tahun lalu luluh lantak, tapi dengan cepat Aceh bangkit, mudah-mudahan momen 10 tahun ini menjadi semangat baru rakyat Aceh,” ujarnya saat dihubungi. (mag-53/smg/mia/bay/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/