JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 akan bergulir di 270 provinsi, kabupaten, dan kota, pada September 2020 mendatang. Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang diusulkan masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota untuk Pilkada serentak itu sebesar Rp11,9 triliun. Namun setelah rapat panjang, usulan anggaran tersebut tidak disetujui KPU.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, mereka hanya menganggarkan Pilkada 2020 sebesar Rp9.936.093.923.393. “Setelah pembahasan, kemudian ditetapkan Rp 9,9 triliun,” katanya.
Arief merinci, dari jumlah tersebut, Rp1.378.971.076.550 dialokasikan untuk pilkada di sembilan provinsi. Kemudian di 224 kabupaten anggarannya Rp7.439.855.692.668, dan untuk di 37 kota anggarannya sebesar Rp1.117.267.154.175.
Lebih lanjut Arief mengatakan, total anggaran Pilkada serentak tersebutý belum semuanya masuk ke KPU. “Yang sudah ditransfer adalah Rp444 miliar. Jadi belum semuaý,” ungkapnya.
Persiapan Pilkada serentak 2020 lainnya adalah penyusunan peraturan, sosialisasi, bimbingan teknis, pembentukan badan ad hoc dan penyerahan Data Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). KPU juga telah mendata 14 jenis logistik dalam katalog elektronik di Pilkada serentak September mendatang.
“Juga telah disusun rencana proses produksi dan distribusi logistik yang disesuaikan dengan tahapan lain seperti penetapan pasangan calon serta penetapan DPT (daftar pemilih tetap),” jelasnya.
Pemda Pangkas Anggaran
Arief Budiman juga mengatakan, ada sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang memangkas anggaran tanpa melibatkan penyelenggara Pilkada 2020. “Memang ada beberapa (pemangkasan) yang diputuskan tanpa melibatkan KPU (daerah), tetapi ada juga yang meminta atau mengajak KPU (daerah) untuk membahas,” kata Arief.
Menurut Arief, dalam memangkas atau merasionalisasi anggaran pilkada ini, seharusnya pemerintah daerah membicarakannya dengan KPU. Soal poin pembiayaan apa yang dipangkas dan berapa besarannya juga harus dipastikan bersama penyelenggara dan pengawas pemilu. “Iya, harus dibicarakan bersama. Di item yang mana yang bisa dikurangi, berapa besar yang masih bisa dirasionalisasikan,” ucap Arief.
“Kesepakatan anggaran (pilkada) sudah ditandatangani, lalu tiba-tiba minta rasionalisasi. Kan mengubah anggaran itu juga butuh proses, karena yang sudah ditandatangani itu dilaporkan sudah dianggarkan, sudah ada kode rekeningnya,” kata dia.
Arief lantas menyampaikan, KPU pusat telah menerima beberapa laporan pemangkasan anggaran pilkada dari KPU daerah. Namun, KPU daerah tidak bisa menjelaskan pemangkasan anggaran menyasar kepada poin pembiayaan apa saja. “Mengurangi itu harus diuraikan. Mana yang dikurangi, kenapa dikurangi di bagian itu. Begitu maksud saya,” kata Arief.
Meski demikian, dia menilai, pemangkasan anggaran pilkada bukan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan. Arief hanya menekankan, pemangkasan anggaran harus jelas perincian dan prosesnya. Menurut dia, hingga saat ini belum semua daerah penyelenggara Pilkada 2020 melaporkan pemangkasan anggaran yang terjadi. Arief menyebut, baru dua daerah yang melaporkan pemangkasan anggaran ke KPU.
Sebelumnya, Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi mengungkapkan, adanya pemangkasan anggaran pelaksanaan pilkada 2020 di sejumlah daerah. Sebab, sejumlah pemda tidak memiliki anggaran yang cukup. “Sebagaimana yang kita sampaikan dalam rapat dengan Komisi II kemarin, bahwa ada beberapa pemda yang secara sepihak melakukan rasionalisasi anggaran pilkada di bawah angka yang sudah disepakati,” ujar Pramono.
“Mereka (pemda) beralasan bahwa kemampuan keuangan sangat terbatas,” kata Pramono. Kesepakatan tentang anggaran pilkada ini sudah tertuang dalam naskah persetujuan hibah daerah (NPHD). Pramono menuturkan, pemangkasan ini berdampak kepada anggaran penyelenggaraan pemilu untuk KPU dan anggaran pengawasan untuk Bawaslu. Pramono tidak merinci daerah mana saja yang terdampak pemangkasan anggaran pilkada.
Dia hanya mencontohkan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, ada pemangkasan anggaan sekitar Rp3 miliar. Kemudian, di Ogan Komering Ulu Timur mengalami pemangkasan anggaran pilkada hingga Rp10 miliar. ‘’Untuk kejadian di Ogan Komering Ulu Timur inisiatif pemotongannya dari DPRD. Alasannya karena keterbatasan APBD,” ujar Pramono.
Kondisi ini, kata dia, tentu mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada 2020 di daerah yang mengalami pemangkasan anggaran. Lebih lanjut, Pramono menjelaskan dampak yang terjadi akibat pemotongan. “Salah satunya, pemda main pukul rata jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS),” tuturnya.
Sistem pukul rata yang dimaksud adalah membagi jumlah penduduk dengan angka maksimal jumlah pemilih di TPS berdasarkan UU Pilkada, yakni 800 orang. “Pokoknya jumlah TPS harus sekian, yakni (ditentukan) lewat membagi jumlah penduduk dengan angka 800. Tapi kan secara faktual, ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan TPS,” ungkapnya.
Misalnya, kata Pramono, ada aturan yang tidak boleh menggabungkan desa/kelurahan tertentu dalam satu TPS. Selain itu, jarak rumah penduduk ke TPS tidak boleh terlalu jauh. Karenanya, dalam realisasi di pilkada selama ini jumlah pemilih per TPS sangat variatif. “Ada yang sampai 600 orang, tapi tidak jarang juga yang di bawah 300 orang. Sangat tergantung kondisi lapangan,” tutur Pramono.
Sementara itu, dalam konteks daerah yang mengalami pemangkasan anggaran tadi, pemda memberikan dana pilkada sesuai jumlah TPS menurut perhitungan mereka. Adapun Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Hari pemungutan suara Pilkada 2020 jatuh pada 23 September.(jpc/kpc)