30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Absolute Ulos

Tribute to Sisingamangaraja XII

Pada 17 juni yang lalu, Tanah Batak memperingati 105 tahun wafatnya Sisingamangaraja XII. Dalam memperingatinya, desainer muda Sumatera Utara, Torang Sitorus dan dan Forum Sisingamangaraja XII, mengadakan acara selama 3 hari yang berkaitan dengan ulos seperti penenunan ulos, pameran ulos tua, dan berbagai aksesoris Batak.

MEDAN- Tribute to Sisingamangaraja yang diselenggarakan di Hotel Santika Medan ini, merupakan wujud dari rasa cinta akan kebudayaan Batak
yang saat ini sedang mendapatkan perhatian dari dalam dan luar negeri, terutama soal Tortor dan Gordang Sambilan. “Kita ketahui, saat ini ulos belum setenar batik atau tenun dari NTB. Tapi setidaknya saat ini tenun ulos sudah mendapat perhatian dunia internasional, yang saat ini masuk sebagai Nominasi Unesco Award untuk kategori kriya,” jelas Torang dalam konfrensi pers, Jumat (22/6).

Ketenaran ulos yang tidak sebanding dengan batik, menurut Torang karena ulos bukanlah produk konveksi, melainkan produk tenun. “Saat pembuatan ulos, motif dibuat secara langsung saat menenun. Berbeda dengan batik yang motifnya digambar terlebih dahulu,” lanjutnya. Sehingga tidak heran, bila membuat ulos ini dapat menghabiskan waktu selama 3 hingga 4 minggu.

Acara yang berlangsung mulai 22 hingga 24 Juni juga akan menghadirkan eksibisi 200 ulos dan kebaya kuno dari berbagai etnis Batak di Sumut. Dan, masyarakat dapat menyaksikan acara ini secara gratis tanpa dipungut biaya sedikitpun. Dalam acara ini juga akan dipamerkan demo menenun, yang didatangkan dari tempat tenun kain ulos Batak di pelosok Sumatera Utara. “Demo tenun ini akan memberikan gambaran proses pembuatan ulos dan filosofinya,” tambah Torang.

Sebagai informasi, kini ulos mulai akrab dikenakan dalam kegiatan secara umum, bahkan sehari-hari. “Kita bangga bisa memakainya. Bagi pecinta kain pasti menyukai ulos, apalagi motif yang digunakan memiliki makna tersendiri,” ujarnya.

Dalam pameran ini, salah satu cicit kandung Sisingamangaraja XII, Tonggo Tua Sinambela, menyambut baik acara tersebut. “Masa Sisingamangaraja XII, ulos memiliki filosofi sendiri. Mulai dari kelahiran, hingga kematian, memiliki motif ulos sendiri,” ujarnya.

Tentang Tortor dan Gordang Sambilan

Di sisi lain, seorang putra Batak, RE Nainggolan, menyatakan hasil budaya seperti Tortor dan Gordang Sambilan wajib diperhatikan. Karena itu, ketika muncul kabar Malaysia akan mengklaim dua kesenian tersebut dia langsung buka suara. “Tapi, jika benar Malaysia sampai mengklaim, kami tentu merasa sangat prihatin dan akan berjuang mempertahankan peninggalan budaya nenek moyang kami yang berasal dari Tanah Mandailing tersebut,” katanya.
Menurut RE, Indonesia cukup dewasa memandang suatu hasil kebudayaan bangsa lain. “Masyarakat kebudayaan internasional perlu saling menghargai, seperti masyarakat Indonesia yang kerap menikmati pertunjukan Barangsoi tanpa pernah mengklaimnya sebagai budaya asli Indonesia,” tambah RE.
Sebelumnya, aksi protes dengan sikap Malaysia terus terjadi. Misalnya pada Kamis lalu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Medan melakukan aksi protes di depan Konjen Malaysia di Medan. Beberapa hari sebelumnya, selain seniman yang beraksi di Taman Budaya di Jalan Perintis Kemerdekaan, kaum ibu pun beraksi di Konjen Medan. (ram/ari/gus)

Tribute to Sisingamangaraja XII

Pada 17 juni yang lalu, Tanah Batak memperingati 105 tahun wafatnya Sisingamangaraja XII. Dalam memperingatinya, desainer muda Sumatera Utara, Torang Sitorus dan dan Forum Sisingamangaraja XII, mengadakan acara selama 3 hari yang berkaitan dengan ulos seperti penenunan ulos, pameran ulos tua, dan berbagai aksesoris Batak.

MEDAN- Tribute to Sisingamangaraja yang diselenggarakan di Hotel Santika Medan ini, merupakan wujud dari rasa cinta akan kebudayaan Batak
yang saat ini sedang mendapatkan perhatian dari dalam dan luar negeri, terutama soal Tortor dan Gordang Sambilan. “Kita ketahui, saat ini ulos belum setenar batik atau tenun dari NTB. Tapi setidaknya saat ini tenun ulos sudah mendapat perhatian dunia internasional, yang saat ini masuk sebagai Nominasi Unesco Award untuk kategori kriya,” jelas Torang dalam konfrensi pers, Jumat (22/6).

Ketenaran ulos yang tidak sebanding dengan batik, menurut Torang karena ulos bukanlah produk konveksi, melainkan produk tenun. “Saat pembuatan ulos, motif dibuat secara langsung saat menenun. Berbeda dengan batik yang motifnya digambar terlebih dahulu,” lanjutnya. Sehingga tidak heran, bila membuat ulos ini dapat menghabiskan waktu selama 3 hingga 4 minggu.

Acara yang berlangsung mulai 22 hingga 24 Juni juga akan menghadirkan eksibisi 200 ulos dan kebaya kuno dari berbagai etnis Batak di Sumut. Dan, masyarakat dapat menyaksikan acara ini secara gratis tanpa dipungut biaya sedikitpun. Dalam acara ini juga akan dipamerkan demo menenun, yang didatangkan dari tempat tenun kain ulos Batak di pelosok Sumatera Utara. “Demo tenun ini akan memberikan gambaran proses pembuatan ulos dan filosofinya,” tambah Torang.

Sebagai informasi, kini ulos mulai akrab dikenakan dalam kegiatan secara umum, bahkan sehari-hari. “Kita bangga bisa memakainya. Bagi pecinta kain pasti menyukai ulos, apalagi motif yang digunakan memiliki makna tersendiri,” ujarnya.

Dalam pameran ini, salah satu cicit kandung Sisingamangaraja XII, Tonggo Tua Sinambela, menyambut baik acara tersebut. “Masa Sisingamangaraja XII, ulos memiliki filosofi sendiri. Mulai dari kelahiran, hingga kematian, memiliki motif ulos sendiri,” ujarnya.

Tentang Tortor dan Gordang Sambilan

Di sisi lain, seorang putra Batak, RE Nainggolan, menyatakan hasil budaya seperti Tortor dan Gordang Sambilan wajib diperhatikan. Karena itu, ketika muncul kabar Malaysia akan mengklaim dua kesenian tersebut dia langsung buka suara. “Tapi, jika benar Malaysia sampai mengklaim, kami tentu merasa sangat prihatin dan akan berjuang mempertahankan peninggalan budaya nenek moyang kami yang berasal dari Tanah Mandailing tersebut,” katanya.
Menurut RE, Indonesia cukup dewasa memandang suatu hasil kebudayaan bangsa lain. “Masyarakat kebudayaan internasional perlu saling menghargai, seperti masyarakat Indonesia yang kerap menikmati pertunjukan Barangsoi tanpa pernah mengklaimnya sebagai budaya asli Indonesia,” tambah RE.
Sebelumnya, aksi protes dengan sikap Malaysia terus terjadi. Misalnya pada Kamis lalu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Medan melakukan aksi protes di depan Konjen Malaysia di Medan. Beberapa hari sebelumnya, selain seniman yang beraksi di Taman Budaya di Jalan Perintis Kemerdekaan, kaum ibu pun beraksi di Konjen Medan. (ram/ari/gus)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/