25.6 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Dahlan Iskan: Koran Bisa Bertahan, Asal…

Foto: BOY SLAMET/JAWA POS
Dahlan Iskan saat berdialog dengan para redaktur dan jajaran manajer Jawa Pos di Graha Pena Surabaya, Minggu (12/11).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Sejak lama, koran diramalkan akan mati karena gempuran media online. Tapi kenyataannya, koran masih tetap hidup sampai sekarang. Justru media online yang kini sedang dibunuh oleh media sosial. Sedangkan koran masih tetap hidup, karena mau mempertahankan kualitas berita.

Hal tersebut disampaikan Dahlan Iskan saat memberikan kuliah umum bertajuk ”Akankah Media Cetak Bertahan?” di aula Soetandyo, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, kemarin (15/11). Dalam ceramahnya, Dahlan mereview media cetak yang sudah mati dan bertahan di sejumlah negara.

Menurut Dahlan, kabar bahwa koran akan mati bukan berita baru. Kabar itu sudah muncul sejak 1800-an. Koran adalah media massa yang paling tua. Saat muncul radio, koran diramalkan akan mati karena tergantikan oleh radio. Saat itu, radio dianggap lebih cepat. Dan memang beberapa koran mati. Tapi beberapa koran juga hidup. Kesimpulannya, radio tidak mematikan semua koran.

Begitu pun saat muncul televisi. Koran dan radio diramalkan akan mati dengan hadirnya televisi. Tapi setelah sekian puluh tahun kemudian, koran dan radio tetap hidup. Memang ada yang mati, tapi tidak semuanya. Kemudian muncul internet dengan live streaming. Kehadiran internet, diramalkan akan membuat koran, radio dan televisi mati. ”Tapi ternyata tidak ada yang mati. Ini kenyataan,” ujarnya.

Penetrasi internet sangat luar biasa. Banyak yang putus asa mengelola surat kabar dan memutuskan berpindah ke online. Tapi ternyata bisnis media online tidak banyak menguntungkan. Penghasilan dari media online, ternyata tidak cukup untuk membiayai operasional.

Tarif iklan di media online tidak seperti yang banyak dibayangkan. Dulu pembayaran iklan dilakukan untuk sekali pasang, kemudian berkembang menjadi per klik. Berkembang lagi, pemasang iklan tidak mau membayar kalau iklannya tidak benar-benar diikuti. Dan perkembangan selanjutnya, pembayaran iklan di media online, disesuaikan dengan penjualan dari pemasangan iklan.

Dahlan sudah pernah menanyakan ke sejumlah CEO media online yang masih eksis. Ternyata penghasilan dari iklan, tidak lebih dari 10 persen dari penghasilan koran. Penghasilan koran jauh lebih besar dari online. Itu membuat kongres koran sedunia berkesimpulan koran tidak akan mati. Bukan itu saja. Umur media online tidak seperti yang diperkirakan. ”Jangankan media online membunuh koran. Justru online yang kini sedang dibunuh oleh media sosial,” jelasnya.

Karena itulah, lanjut mantan Menteri BUMN, ketika arus informasi melalui media sosial yang begitu deras, masyarakat memerlukan clearing house. Pada saat masyarakat tidak percaya pada berita apa pun yang disajikan media sosial, maka koran menjadi pilihan. Sebab berita yang muncul di koran, melalui proses yang terpercaya. ”Ketika lalu lintas informasi begini kacaunya, maka harus ada yang menjadi clearing house. Dan yang punya potensi adalah media cetak,” terang Dahlan.

Foto: BOY SLAMET/JAWA POS
Dahlan Iskan saat berdialog dengan para redaktur dan jajaran manajer Jawa Pos di Graha Pena Surabaya, Minggu (12/11).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Sejak lama, koran diramalkan akan mati karena gempuran media online. Tapi kenyataannya, koran masih tetap hidup sampai sekarang. Justru media online yang kini sedang dibunuh oleh media sosial. Sedangkan koran masih tetap hidup, karena mau mempertahankan kualitas berita.

Hal tersebut disampaikan Dahlan Iskan saat memberikan kuliah umum bertajuk ”Akankah Media Cetak Bertahan?” di aula Soetandyo, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, kemarin (15/11). Dalam ceramahnya, Dahlan mereview media cetak yang sudah mati dan bertahan di sejumlah negara.

Menurut Dahlan, kabar bahwa koran akan mati bukan berita baru. Kabar itu sudah muncul sejak 1800-an. Koran adalah media massa yang paling tua. Saat muncul radio, koran diramalkan akan mati karena tergantikan oleh radio. Saat itu, radio dianggap lebih cepat. Dan memang beberapa koran mati. Tapi beberapa koran juga hidup. Kesimpulannya, radio tidak mematikan semua koran.

Begitu pun saat muncul televisi. Koran dan radio diramalkan akan mati dengan hadirnya televisi. Tapi setelah sekian puluh tahun kemudian, koran dan radio tetap hidup. Memang ada yang mati, tapi tidak semuanya. Kemudian muncul internet dengan live streaming. Kehadiran internet, diramalkan akan membuat koran, radio dan televisi mati. ”Tapi ternyata tidak ada yang mati. Ini kenyataan,” ujarnya.

Penetrasi internet sangat luar biasa. Banyak yang putus asa mengelola surat kabar dan memutuskan berpindah ke online. Tapi ternyata bisnis media online tidak banyak menguntungkan. Penghasilan dari media online, ternyata tidak cukup untuk membiayai operasional.

Tarif iklan di media online tidak seperti yang banyak dibayangkan. Dulu pembayaran iklan dilakukan untuk sekali pasang, kemudian berkembang menjadi per klik. Berkembang lagi, pemasang iklan tidak mau membayar kalau iklannya tidak benar-benar diikuti. Dan perkembangan selanjutnya, pembayaran iklan di media online, disesuaikan dengan penjualan dari pemasangan iklan.

Dahlan sudah pernah menanyakan ke sejumlah CEO media online yang masih eksis. Ternyata penghasilan dari iklan, tidak lebih dari 10 persen dari penghasilan koran. Penghasilan koran jauh lebih besar dari online. Itu membuat kongres koran sedunia berkesimpulan koran tidak akan mati. Bukan itu saja. Umur media online tidak seperti yang diperkirakan. ”Jangankan media online membunuh koran. Justru online yang kini sedang dibunuh oleh media sosial,” jelasnya.

Karena itulah, lanjut mantan Menteri BUMN, ketika arus informasi melalui media sosial yang begitu deras, masyarakat memerlukan clearing house. Pada saat masyarakat tidak percaya pada berita apa pun yang disajikan media sosial, maka koran menjadi pilihan. Sebab berita yang muncul di koran, melalui proses yang terpercaya. ”Ketika lalu lintas informasi begini kacaunya, maka harus ada yang menjadi clearing house. Dan yang punya potensi adalah media cetak,” terang Dahlan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/