26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Indonesia “Labrak” Saudi

Calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap.
Calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Indonesia merasa geregetan dengan keberadaan calon jamaah haji (CJH) nonkuota yang sering telantar di Makkah. Umumnya jamaah “sandal jepit” itu berhasil terbang ke Saudi menggunakan calling visa yang diterbitkan oleh Saudi. Penerbitan visa panggilan itu tanpa koordinasi dengan pemerintah Indonesia.

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) Mochammad Jasin menuturkan, calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap. “Jamaah nonkuota dengan calling visa resmi tidak terlalu membuat persoalan. Tetapi yang tidak resmi itu sering merepotkan panitia haji,” katanya langsung dari Makkah kemarin.

Jasin berada di Makkah dalam rangka pemantauan penyelenggaraan haji. Pengawasan itu diantaranya pelayanan jamaah saat kedatangan di Jeddah, layanan akomodasi di Makkah, Madinah, dan Jeddah, serta layanan katering di Armina, dan layanan lainnya.

Jasin menjelaskan, penerbitan calling visa gelap melibatkan oknum kedutaan Arab Saudi yang tidak bertanggung jawab. Mereka biasanya sudah memiliki koneksi dengan jaringan travel haji nakal di seluruh Indonesia. Jadi ketika calling visa itu sudah ada, dengan gampang segera didistribusikan ke CJH yang tidak sabar mengantre.

“Modus ini saya tegaskan dilakukan oleh oknum. Bukan kedutaan Saudi secara institusi,” tuturnya. Penerbitan calling visa ini memang sangat menggiurkan bagi para oknum nakal. Sebab setiap jamaah nonkuota yang berhaji dengan modal calling visa, harus membayar hingga Rp 80 juta. Uang itu jelas dibagi antara oknum kedutaan, makelar penjual calling visa, serta biro travel amatiran di Saudi untuk penjemputan jamaah setibanya di Jeddah.

Untuk melihat besarnya potensi perputaran uang pada bisnis penerbitan calling visa ini, bisa mengaca pada musim haji 2013 lalu. Tahun lalu, Kemenag mendata jumlah jamaah haji nonkuota sebanyak 1.000 orang. Jika waktu itu tarif berhaji nonkuota sebesar Rp 80 juta per orang, berarti potensi perputaran uang di bisnis ini mencapai Rp 80 miliar. (wan)

Calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap.
Calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Indonesia merasa geregetan dengan keberadaan calon jamaah haji (CJH) nonkuota yang sering telantar di Makkah. Umumnya jamaah “sandal jepit” itu berhasil terbang ke Saudi menggunakan calling visa yang diterbitkan oleh Saudi. Penerbitan visa panggilan itu tanpa koordinasi dengan pemerintah Indonesia.

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) Mochammad Jasin menuturkan, calling visa ada yang resmi tetapi ada yang peredarannya gelap. “Jamaah nonkuota dengan calling visa resmi tidak terlalu membuat persoalan. Tetapi yang tidak resmi itu sering merepotkan panitia haji,” katanya langsung dari Makkah kemarin.

Jasin berada di Makkah dalam rangka pemantauan penyelenggaraan haji. Pengawasan itu diantaranya pelayanan jamaah saat kedatangan di Jeddah, layanan akomodasi di Makkah, Madinah, dan Jeddah, serta layanan katering di Armina, dan layanan lainnya.

Jasin menjelaskan, penerbitan calling visa gelap melibatkan oknum kedutaan Arab Saudi yang tidak bertanggung jawab. Mereka biasanya sudah memiliki koneksi dengan jaringan travel haji nakal di seluruh Indonesia. Jadi ketika calling visa itu sudah ada, dengan gampang segera didistribusikan ke CJH yang tidak sabar mengantre.

“Modus ini saya tegaskan dilakukan oleh oknum. Bukan kedutaan Saudi secara institusi,” tuturnya. Penerbitan calling visa ini memang sangat menggiurkan bagi para oknum nakal. Sebab setiap jamaah nonkuota yang berhaji dengan modal calling visa, harus membayar hingga Rp 80 juta. Uang itu jelas dibagi antara oknum kedutaan, makelar penjual calling visa, serta biro travel amatiran di Saudi untuk penjemputan jamaah setibanya di Jeddah.

Untuk melihat besarnya potensi perputaran uang pada bisnis penerbitan calling visa ini, bisa mengaca pada musim haji 2013 lalu. Tahun lalu, Kemenag mendata jumlah jamaah haji nonkuota sebanyak 1.000 orang. Jika waktu itu tarif berhaji nonkuota sebesar Rp 80 juta per orang, berarti potensi perputaran uang di bisnis ini mencapai Rp 80 miliar. (wan)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/