29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Buruh Sumut Kembali Tolak RUU Omnibus

TOLAK OMNIBUS LAW: Ratusan massa aksi yang tergabung dalam APBD Sumut kembali menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law di depan Kantor Gubsu, Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
TOLAK OMNIBUS LAW: Ratusan massa aksi yang tergabung dalam APBD Sumut kembali menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law di depan Kantor Gubsu, Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS

SUMUTPOS.CO – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terus disuarakan kaum buruh Sumatera Utara.

“Jadi bisa dipastikan UU itu dibuat sembunyi-sembunyi agar buruh di Indonesia bisa kecelek (tiba-tiba disahkan). Tiba-tiba hak-hak kita yang diatur negara sebelumnya bisa dihilangkan atau dikurangi. UU itu juga dibuat untuk memanjakan investor kapitalis dan rakus di Indonesia kawan-kawan,” teriak Koordinator Aksi Aliansi Pekerja Buruh Daerah (APBD) Sumut, Natal Sidabutar dari atas mobil komando kala berunjukrasa di depan Kantor Gubsu Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).

Hemat massa aksi, Omnibus Law adalah UU yang dibuat secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dibuktikan sampai sekarang RUU tersebut tidak ada diterima kaum buruh se Indonesia. Sampai sekarang juga, kata mereka pihak kepolisian juga tidak mendapat draf RUU tersebut.

Masih dalam orasinya, Natal menyampaikan sejatinya investasi masuk ke Indonesia bisa melahirkan kesejahteraan pekerja buruh. Bukan malah menyengsarakan kaum buruh. “Kalau investasinya membuat kita tetap miskin, untuk apa investasi tersebut ada. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa investasi itu harus sesuai pancasila keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, bukan memperkaya investor dan elit kawan-kawan,” sambung dia.

Sekitar 15 menit berorasi, perwakilan massa aksi diterima pihak Pemprovsu. Dari pertemuan terungkap, Pemprovsu secara normatif hanya menyampaikan akan meneruskan segala tuntutan dan aspirasi massa APBD Sumut melalui gubernur kepada pemerintah pusat.

Aksi serupa sebelumnya mereka gelar di depan Gedung DPRD Sumut, Jl. Imam Bonjol Medan. Bahkan ratusan kaum buruh sempat memblokade jalan sehingga menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Kondisi serupa juga terjadi kala mereka berorasi di depan Kantor Gubsu.

Saking kerasnya penolakan terhadap regulasi tersebut, mereka menyingkat RUU itu dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja (CiLaKa). Mereka menilai, Omnibus Law Bidang Ketenagakerjaan atau RUU Cipta Lapangan Kerja yang sedang dirampungkan akan bertolak belakang dengan tujuan hukum Ketenagakerjaan itu sendiri. “Salah satunya untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan Kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya, serta dapat dipastikan akan (mengurangi/memotong) hak-hak pekerja/buruh yang selama ini telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan,” kata massa aksi.

Dijelaskannya, selama ini hak pesangon, jam kerja, outsourcing, tenaga kerja asing dan sanksi yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003 beserta aturan turunannya menjadi faktor penghambat masuknya investor sehingga perlu dilakukan Perubahan dan atau penghapusan.

“Logikanya jika suatu aturan dianggap sebagai penghambat maka aturan tersebut akan direduksi (dikurangi) atau dihapus. Dengan demikian Omnibus Law yang sedang digodok dapat dipastikan akan mereduksi atau menghapus hak-hak pekerja/buruh, termasuk pengawasan dan sanksi pidana,” kata Sidabutar lagi.

Di sisi lain, ditengah pelayanan BPJS Kesehatan yang masih carut marut, pemerintah justru menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan dalih merugi. Namun anehnya, pemerintah justru menaikkan insentif bagi anggota direksi BPJS Kesehatan hingga mencapai besaran Rp32,88 miliar per tahun atau Rp342,56 juta per bulan/orang dan kenaikan insentif bagi Dewan Pengawas yang mencapai Rp17,73 miliar per tahun atau Rp211,14 juta/bulan/orang.

Berangkat dari kondisi tersebut, maka APBD-SU menyatakan sikap dan menuntut sebagai berikut: 1. Menolak Omnibus Law Bidang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA); 2. Bubarkan BPJS KESEHATAN karena telah gagal menjalankan amanah UU; 3. Segera tuntaskan kasus-kasus Ketenagakerjaan yang telah disampaikan/diadukan SP/SB ke Dinas Ketenagakerjaan Sumut dan/ atau ke Pengawas Ketenagakerjaan yang ada di Sumut; 4. Copot kepala dinas tenaga kerja Provinsi Sumut; 5. Ratifikasi Konvensi ILO No. 177 tahun 1996 Tentang Kerja Rumahan; 6. Agar Gubsu membentuk SATGAS Ketenagakerjaan yang terdiri dari unsur: Pemprovsu, DPRDSU, Disnaker Sumut, serikat pekerja/ serikat buruh, Poldasu dan Kanwil BPJS Ketenagakerjaan dan kejaksaan. (prn/btr)

TOLAK OMNIBUS LAW: Ratusan massa aksi yang tergabung dalam APBD Sumut kembali menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law di depan Kantor Gubsu, Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
TOLAK OMNIBUS LAW: Ratusan massa aksi yang tergabung dalam APBD Sumut kembali menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law di depan Kantor Gubsu, Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS

SUMUTPOS.CO – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terus disuarakan kaum buruh Sumatera Utara.

“Jadi bisa dipastikan UU itu dibuat sembunyi-sembunyi agar buruh di Indonesia bisa kecelek (tiba-tiba disahkan). Tiba-tiba hak-hak kita yang diatur negara sebelumnya bisa dihilangkan atau dikurangi. UU itu juga dibuat untuk memanjakan investor kapitalis dan rakus di Indonesia kawan-kawan,” teriak Koordinator Aksi Aliansi Pekerja Buruh Daerah (APBD) Sumut, Natal Sidabutar dari atas mobil komando kala berunjukrasa di depan Kantor Gubsu Jl. Pangeran Diponegoro Medan, Kamis (23/1).

Hemat massa aksi, Omnibus Law adalah UU yang dibuat secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dibuktikan sampai sekarang RUU tersebut tidak ada diterima kaum buruh se Indonesia. Sampai sekarang juga, kata mereka pihak kepolisian juga tidak mendapat draf RUU tersebut.

Masih dalam orasinya, Natal menyampaikan sejatinya investasi masuk ke Indonesia bisa melahirkan kesejahteraan pekerja buruh. Bukan malah menyengsarakan kaum buruh. “Kalau investasinya membuat kita tetap miskin, untuk apa investasi tersebut ada. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa investasi itu harus sesuai pancasila keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, bukan memperkaya investor dan elit kawan-kawan,” sambung dia.

Sekitar 15 menit berorasi, perwakilan massa aksi diterima pihak Pemprovsu. Dari pertemuan terungkap, Pemprovsu secara normatif hanya menyampaikan akan meneruskan segala tuntutan dan aspirasi massa APBD Sumut melalui gubernur kepada pemerintah pusat.

Aksi serupa sebelumnya mereka gelar di depan Gedung DPRD Sumut, Jl. Imam Bonjol Medan. Bahkan ratusan kaum buruh sempat memblokade jalan sehingga menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Kondisi serupa juga terjadi kala mereka berorasi di depan Kantor Gubsu.

Saking kerasnya penolakan terhadap regulasi tersebut, mereka menyingkat RUU itu dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja (CiLaKa). Mereka menilai, Omnibus Law Bidang Ketenagakerjaan atau RUU Cipta Lapangan Kerja yang sedang dirampungkan akan bertolak belakang dengan tujuan hukum Ketenagakerjaan itu sendiri. “Salah satunya untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan Kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya, serta dapat dipastikan akan (mengurangi/memotong) hak-hak pekerja/buruh yang selama ini telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan,” kata massa aksi.

Dijelaskannya, selama ini hak pesangon, jam kerja, outsourcing, tenaga kerja asing dan sanksi yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003 beserta aturan turunannya menjadi faktor penghambat masuknya investor sehingga perlu dilakukan Perubahan dan atau penghapusan.

“Logikanya jika suatu aturan dianggap sebagai penghambat maka aturan tersebut akan direduksi (dikurangi) atau dihapus. Dengan demikian Omnibus Law yang sedang digodok dapat dipastikan akan mereduksi atau menghapus hak-hak pekerja/buruh, termasuk pengawasan dan sanksi pidana,” kata Sidabutar lagi.

Di sisi lain, ditengah pelayanan BPJS Kesehatan yang masih carut marut, pemerintah justru menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan dalih merugi. Namun anehnya, pemerintah justru menaikkan insentif bagi anggota direksi BPJS Kesehatan hingga mencapai besaran Rp32,88 miliar per tahun atau Rp342,56 juta per bulan/orang dan kenaikan insentif bagi Dewan Pengawas yang mencapai Rp17,73 miliar per tahun atau Rp211,14 juta/bulan/orang.

Berangkat dari kondisi tersebut, maka APBD-SU menyatakan sikap dan menuntut sebagai berikut: 1. Menolak Omnibus Law Bidang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA); 2. Bubarkan BPJS KESEHATAN karena telah gagal menjalankan amanah UU; 3. Segera tuntaskan kasus-kasus Ketenagakerjaan yang telah disampaikan/diadukan SP/SB ke Dinas Ketenagakerjaan Sumut dan/ atau ke Pengawas Ketenagakerjaan yang ada di Sumut; 4. Copot kepala dinas tenaga kerja Provinsi Sumut; 5. Ratifikasi Konvensi ILO No. 177 tahun 1996 Tentang Kerja Rumahan; 6. Agar Gubsu membentuk SATGAS Ketenagakerjaan yang terdiri dari unsur: Pemprovsu, DPRDSU, Disnaker Sumut, serikat pekerja/ serikat buruh, Poldasu dan Kanwil BPJS Ketenagakerjaan dan kejaksaan. (prn/btr)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/