Saat melakukan tes kesehatan, masyarakat pada umumnya mendapat keputusan ia sakit atau tidak sakit. Tapi khusus bagi bakal capres/cawapres yang menjalani tes kesehatan pada Kamis (22/5) dan Jumat (23/5), yang dilihat tak hanya sakit atau tak sakit, melainkan lebih dari itu.
JAKARTA- Sejarah mencatat IDI dan KPU belum pernah merekomendasikan bakal capres/cawapres gagal tes kesehatan. Hasil tes kesehatan bakal capres/cawapres yang diumumkan hari ini pun memicu kontroversi lantaran mantan Presiden Gus Dur yang mengalami masalah penglihatan sekalipun pernah diloloskan. Jika terbukti gagal tes kesehatan, apakah KPU berani mengambil risiko politik meminta parpol pengusung mengganti calonnya dalam tiga hari?
Kepala RSPAD Gatot Soebroto Brigjen dr Douglas S Umboh mengatakan seluruh anggota tim dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan tes kesehatan bakal capres/cawapres periode 2014-2019 diwajibkan mengangkat sumpah lebih dulu pada Kamis (22/5). Pengangkatan sumpah itu dimaksudkan agar para dokter bisa bekerja profesional dengan menjaga netralitas dan independensi.
‘’Apalagi mengingat pemeriksaan kesehatan merupakan salah satu proses memenuhi syarat capres dan cawapres. UU Nomor 42 Tahun 2008 menentukan syarat capres dan cawapres harus sehat jasmani dan rohani,’’ katanya.
Tercatat, ada dua pasang capres/cawapres yang mengikuti pemeriksaan kesehatan. Mereka adalah Jokowi-JK dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dari keempat calon itu, Jokowi tercatat paling muda dengan usia 52 tahun, sedangkan JK tertua dengan usia 72 tahun. Sedangkan Prabowo berumur 62 tahun dan Hatta 60 tahun. Dua nama terakhir sudah menjalani tes kesehatan pada Jumat (23/5).
Menurut Douglas, RSPAD ditunjuk sebagai rumah sakit yang dipercaya untuk melakukan pemeriksaan kepada calon orang nomor satu dan nomor dua di Indonesia itu.
Douglas menuturkan, keterlibatan ini merupakan bagian menjalankan tugas berbangsa dan bernegara dalam rangka membantu kondisi pemilu untuk memenuhi persyaratan kesehatan. Karena capres/cawapres harus mampu sehat secara jasmani dan rohani apabila nantinya terpilih menjalani tugas sebagai presiden.
“Kami sudah siap melaksanakan pemeriksaan. Sebelum pemeriksaan, ada acara tim khusus pemeriksa membaca laporan sumpah dokter,” kata Douglas di RSPAD, kemarin.
Ia melanjutkan, pembacaan sumpah itu untuk mengingatkan bahwa tugas dokter mulia. Diharapkan, sumpah yang diucapkan dokter bisa melaksanakan tugas dengan transparan, jujur, adil sesuai persyaratan yang sudah disusun oleh tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Douglas mengatakan dokter anggota tim pemeriksa kesehatan bakal capres/cawapres yang terbukti tidak netral akan dikenai sanksi berupa pemecatan. “Konsekuensi terberatnya adalah dihukum,” katanya. Douglas juga menjamin netralitas tim dokter pemeriksa kesehatan.
“Tadi kami sudah melakukan sumpah kedokteran yang memastikan kami akan bekerja secara transparan dan profesional,” katanya. “Selain itu tim dokter yang melakukan tes kesehatan sudah melalui berbagai persyaratan khusus, antara lain tak terlibat organisasi politik tertentu dan bukan merupakan dokter pribadi capres dan cawapres,” tambah dia.
Sekjen IDI dr Daeng Muhammad Faqih MH menekankan pemeriksaan kesehatan ini menilai disabilitas para calon, bukan sakit atau tidaknya. Jika hanya sakit flu, batuk, atau penyakit lain yang tidak mengganggu seseorang untuk menjalankan tugasnya sebagai presiden maka tidak menjadi masalah.
“Yang dinilai intinya disabilitas, kemampuan atau ketidakmampuan seseorang dengan jabatan yang akan ia duduki. Kriterianya antara lain gangguan mental yang juga dinilai,” ucap dr Daeng saat ditemui di Lotte Shopping Avenue, Kuningan, Jakarta, kemarin.
Menurut dr Daeng, tidak boleh seorang presiden sebagai orang nomor satu yang harus mengambil keputusan dan memberi kebijakan memiliki disabilitas atau ketidakmampuan dalam masalah mental. Kemudian dari kemampuan fisik yang terkait dengan pekerjaan misalnya pendengaran dan penglihatan.
“Itu dinilai apakah ada gangguan yang masuk kategori disabilitas misalnya jarak pandang sama sekali nol meter, janganlah jadi presiden,” imbuh dr Daeng.
Tetapi jika ada kelainan yang tidak menganggu seperti mata minus, maka tidak masalah karena tidak mengganggu tugas para capres dan cawapres ke depannya. Semua organ seperti jantung, ginjal, dan paru-paru pun dinilai.
Sama ketika memeriksa kriteria lain, saat memeriksa kondisi organ, ditegaskan dr Daeng, bukan sakit tidaknya tetapi mampu atau tidak mampunya yang bersangkutan dalam menyelenggarakan tugas lima tahun ke depan ditilik dari kondisi organ tubuhnya.
Contohnya saja untuk penyakit jantung ada gradasi di mana tim pemeriksa yang independen sudah memutuskan jika penyakit jantung sudah mencapai grade empat maka masuk kategori disabilitas.
“Jadi titik kuncinya dia disabilitas atau tidak, bukan sakit, ada gangguan atau tidak. Pendengaran bisa ada gangguan tapi bisa jadi dia masih mendengar dalam jarak tertentu. Kalau ada sakit jantung tapi tak parah ya, tak termasuk disabilitas,” ucap dr Daeng.
Pakar Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk, menyatakan tes kesehatan capres/cawapres mencakup segi kesehatan fisik dan psikis atau kejiwaan. Keduanya bisa saling berhubungan satu dengan yang lain.
Sebenarnya secara kasat mata dari observasi sehari-sehari, menurut dia, dua pasangan capres/cawapres, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, terlihat sehat. Buktinya, mereka bisa melakukan aktivitas secara benar.
‘’Tes kesehatan ini memang bisa memicu kontroversi, apabila berkaca pada kasus Gus Dur sebagai bakal capres yang dianggap tak akan lolos tes kesehatan,’’ katanya.
Hanya saja, sesuai UU, maka tes kesehatan diperlukan untuk mengecek lebih lanjut apakah asumsi itu benar. Tes akan dilakukan secara menyuluruh untuk memastikan tidak ditemukan kelainan-kelainan, baik dari segi fisik ataupun mental.
“Kalau tidak salah dari informasi yang beredar memakai tes MMPI atau Minnesota Multiphasic Personality Inventory, plus wawancara juga. Ini untuk memastikan tidak ada gangguan kejiwaan berat,” jelas Hamdi.
Dengan tes itu, lanjutnya, nanti ketahuan apakah ada gangguan yang serius yang bisa menjadi penghambat untuk tugas-tugas kepresidenan-wapres ke depan.
“Misalnya ditemui ada indikasi-indikasi kelainan kejiwaan seperti kecenderungan paranoid yang berlebihan, impulsif, agresifitas yang berlebihan dan kecederungan-kecenderungan psikotik lainnya,” jelasnya.
Dia melanjutkan hasil akhir rekomendasi tim kesehatan tentunya akan dirapat-plenokan terlebih dulu, dan mungkin saja terjadi debat di dalam tim untuk mengambil kesimpulan apakah capres/cawapres lolos tes kesehatan tersebut.
Komisioner KPU, Ferry Kurnia, menyatakan, KPU memberikan waktu selama tiga hari bagi partai politik setelah pengumuman hasil tes pada 24 Mei untuk mengganti calon yang diusung jika tak lolos tes kesehatan.
“Jika tak lolos akan diberikan waktu tiga hari untuk mengganti. Batas waktunya tiga hari (setelah pengumuman),” katanya di depan Gedung RSPAD, Jakarta, Kamis (22/5).
Ferry mengatakan KPU tak mau berandai-andi soal tes kesehatan calon RI satu dan dua. Lelaki berkumis tipis itu juga menyatakan KPU akan selalu objektif melihat hasil pemeriksaan dari tim dokter.
“Jika tak lolos, kami tak mau berandai-andai. Namun apa pun hasil pemeriksaan akan diumumkan. KPU bukan dalam kapasitas mengotak-atik hasil dari tim kedokteran,” ucapnya.
Mekanisme pemeriksaan, menurut Ferry, tidak menspesialkan salah satu aspek kesehatan baik jasmani maupun rohani. “Semua diutamakan, jasmani dan rohani, tidak dipilah-pilih,” tukasnya. .
Komisioner KPU lainnya, Hadar Nafis Gumay mengemukakan, pemeriksaan kesehatan kepada bakal capres/cawapres meliputi pemeriksaan kesehatan jiwa dan pengecekan jasmani. Pemeriksaan akan dimulai dari wawancara sejarah kesehatan masing-masing calon. Selanjutnya, pemeriksaan kesehatan jiwa melalui wawancara dan tes, kemudian nanti juga akan ada pengecekan jasmani.
“Terakhir dokter akan menyimpulkan bakal pasangan calon mana yang mampu menjalankan tugasnya sebagai presiden dan wakil presiden,” kata Hadar di kantor KPU, kemarin.
Saat ditanya jika ada bakal pasangan calon yang tidak lulus kesehatan, Hadar menjelaskan mekanisme penggantiannya. “Jika memang terjadi penggantian pasti jadwal akan menyesuaikan, karena kita harus menunggu calon penggantinya kalau pun ada. Ya, mudah-mudahan semua lancar, jadwal juga sudah ditetapkan oleh KPU sebelumnya, termasuk jika terjadi penggantian bakal pasangan calon,” ujarnya.
Penggantian bakal pasangan calon, lanjur Hadar, dimungkinkan akibat tidak terpenuhinya dokumen persyaratan calon dan syarat calon tersebut. “Jadi bukan saja soal tidak terpenuhinya syarat kesehatan, tetapi seluruh persyaratan lainnya, termasuk juga jika terindikasi pelanggaran hukum. Jika ini belum memasuki masa kampanye, maka masih dimungkinkan untuk diganti,” jelas Hadar.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengaku menghargai profesionalisme IDI yang menjadi rekomendasi dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan bakal capres/cawapres di RSPAD Gatot Subroto.
“Kami menghargai profesionalisme IDI. Mereka bisa dijamin integritasnya. Tapi kami tetap melakukan pengawasan,” ungkap Ketua Bawaslu, Muhammad kepada wartawan dalam acara ‘media gathering’ di Lembang, Jawa Barat, Jumat (23/5).
Kemarin, pasangan Prabowo-Hatta sudah menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto. Sehari sebelumnya, pasangan Jokowi-JK juga menjalani tes serupa.
Namun, masih ada persoalan tes kesehatan yang dianggap menjadi ganjalan. Yakni tidak adanya tes tentang seksualitas atau uji kejantanan terhadap para capres dan pasangannya saat menjalani tes kesehatan.
Para pendukung Jokowi yang tergabung dalam Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) sangat berharap tes seksualitas para bakal capres/cawapres. “Ini memastikan identitas apakah sang calon itu sebenarnya laki-laki atau perempuan. Soalnya, di Indonesia hanya diakui jenis kelamin laki-laki atau perempuan,” kata Sekjen Bara JP, Utje Gustaaf Patty, di Jakarta, Jumat (23/5).
Utje yakin Jokowi dan JK pasti berani melakukan tes kejantanan atau tes seksualitas itu. Sebab, selama ini tidak ada hal-hal miring tentang perilaku Jokowi maupun JK. “Pasti berani dong. Mereka kan lurus-lurus saja,” kata Utje. (bbs/val)