Aturan main bagi lembaga survei yang marak saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan Pemilu perlu dirumuskan dalam Undang-undang. Langkah ini diharapkan dapat menjaga etika ilmiah survei politik sekaligus menghindari komodifikasi dan manipulasi data.
Peneliti PRIDE Indonesia Agus Herta Sumarto menyebutkan, bisnis survei saat pilkada sangat menggiurkan. Pasalnya, berdasarkan data penelitian PRIDE Indonesia, bisnis survei pemilukada ini bisa meraup keuntungan sebesar Rp715,5 miliar. Analisis potensi ekonomi survei, satu kali pemilukada rata-rata 3-4 pasang calon.
Biaya satu kali survei sekitar Rp150 hingga Rp250 juta per calon untuk kabupaten/kotamadya. Dan dalam satu tahun minimal tiga kali survei. Jadi potensi ekonomi yang didapatkan dalam bisnis survei opini publik adalah Rp150 juta dikali 3 pasang calon dikali 3 kali survei dikalikan 530 kabupaten/kotmadya dan provinsi. Hasilnya, prospek bisnis ini akan menghasilkan uang sebesar Rp715,5 miliar.
“Ini peluang bisnis yang luar biasa. Sehingga banyak pihak yang kemudian berlomba-lomba melakukan survei, bahkan mendirikan lembaga survei,” ujarnya dalam diskusi ‘Survei Pemilukada DKI, Survei Ilmiah atau Dagang’ di Wisma Kodel, Jakarta, Selasa (17/7).
Dia mempertanyakan hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga survei dalam pemilukada DKI putaran pertama yang menghasilkan hasil survei yang jauh berbeda satu sama lain.
Padahal, lembaga survei ini menggunakan pertanyaan, responden, populasi dan metode yang sama serta waktu survei yang tidak jauh berbeda. “Jika hasilnya tidak sama, maka hasil survei patut dipertanyakan. Jangan-jangan unsur keilmiahannya telah hilang,” terangnya.
Dia mencontohkan hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Cyrus Network, Puskaptis dan Median. Keempat lembaga survei ini menggunakan metode survei dan pertanyaan yang sama dengan waktu pelaksanaannya yang tidak jauh berbeda, namun hasilnya sangat berbeda sekali.
Seperti hasil survei Puskaptis yang dilakukan pada 2-7 April, prediksi perolehan suara pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada peringkat 1 meraih 47,22 persen dan pasangan Jokowi-Basuki peringkat kedua dengan suara 15,16 persen.
Kemudian Cyrus Network melakukan survei sehari setelahnya yaitu 8-16 April. Hasilnya terlihat berbeda dari prediksi perolehan suara, yaitu Foke-Nara 42,40 persen dan Jokowi-Widodo 31,80 persen.
“Puskaptis dan Cyrus Network, melakukan survei hanya beda satu hari, namun selebihnya sama pelaksanaannya. Tapi hasil surveinya bedanya sangat besar, apa mungin opini masyarakat berubah dalam waktu 24 jam? Begitu juga dengan MEDIAN dan LSI. Ini yang saya bilang lembaga survei itu keilmiahannya sudah hilang,” jelasnya.
Menurutnya, trik untuk melihat lembaga survei yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, dapat berdasarkan tiga hal. Yaitu, melihat track record lembaga survei itu, apakah hasil surveinya sering salah atau benar. Kemudian independensi lembaga survei yaitu siapa yang membiayai survei tersebut dan memiliki lembaga konsultan atau tidak.
“Inilah yang bisa jadi trik untuk melihat lembaga survei yang dipakai ilmiah atau tidak. Jadi kalau ada lembaga survei yang salah dicatat saja, biar terlihat track recordnya,” pungkasnya.
Terpisah, desakan serupa mengemuka dalam diskusi ”Lembaga Survei, Ilmiah atau Dagang?” di Jakarta, akhir pekan lalu. Acara yang dipandu intelektual muda Muhammadiyah, Abd Rohim Ghazali, itu menghadirkan pembicara calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Didik J Rachbini, dan peneliti PRIDE Indonesia, Agus Herta Sumarto.
Didik mengungkapkan, dari banyak lembaga survei, hanya beberapa yang cukup independen dan mempertahankan etika ilmiah. Sebenarnya boleh saja lembaga survei menjadi konsultan politik untuk pemenangan kandidat tertentu. Namun, itu harus dilakukan secara transparan atau hasil surveinya hanya ditampilkan untuk internal pemesan. Berbahaya jika lembaga survei mengaku independen, tetapi melabrak kode etik, bahkan menjadi alat kampanye untuk memengaruhi publik.
Tanpa aturan main, manipulasi data oleh sebagian lembaga survei bakal membuat politik karut-marut. Didik pun mendesak semua pemangku kepentingan untuk merumuskan aturan main bersama, termasuk ketentuan sanksi bagi pelanggar aturan itu.
Agus menilai, sebagian lembaga survei kini lebih menonjolkan unsur komersial daripada etika ilmiah. Itu terjadi karena jumlah pilkada di Indonesia banyak dan sering sehingga memberikan peluang bisnis miliaran rupiah. Dalam situasi ini, lembaga survei kadang merekayasa metode demi memberikan data sesuai pesanan.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof Chaniago mengatakan, lembaga survei harus membedakan diri ketika bertindak sebagai lembaga independen atau tim pemenangan kandidat tertentu.
Untuk itu, saat mengumumkan hasil survei, terutama yang mendekati pemungutan suara, lembaga survei setidaknya harus menjelaskan sumber dana pelaksanaan survei.
”Masalah di lembaga survei Indonesia, sering kali mereka tidak membuat batas yang jelas ketika juga bertindak sebagai konsultan pemenangan. Untuk itu, mereka perlu menjelaskan sumber dana pelaksanaan survei, bahkan jika perlu sampai metodologi dan proses pengumpulan data. Jika survei itu dibiayai kelompok tertentu, mereka tidak boleh menyebutnya independen,” kata Andrinof yang juga Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia.
Sementara, M Qodari dari Indobarometer mengaku seringkali ada klien yang memintanya untuk ditempatkan di posisi tertentu dalam survei.
”Saya menolaknya. Survei ini masalah kredibilitas. Lembaga survei akan dirugikan jika hasil surveinya sering berbeda dengan fakta di lapangan,” ucapnya. (wok/jpnn)
SEJARAH LEMBAGA SURVEI DI IDNONESIA
Survei opini publik di Indonesia mulai marak sejak era reformasi. Pada era Orba, survei-survei hanya berkisar soal merancang pembangunan dan tidak terkait sama sekali dengan politik, khususnya soal Pemilu.
1967
Lembaga survei opini publik PT Suburi dibentuk. Bergerak di survei-survei pembangunan dari proyek pemerintahan.
1972
Pemerintah mencabut izin PT Suburi karena dalam salah satu surveinya pada tahun itu menanyakan soal sifat kepemimpinan sejumlah tokoh.
1990
Tabloid ‘Monitor’ membuat survei popularitas tokoh, namun karena menyinggung isu SARA, tabloid itu ditutup.
1999
Pada pemilu 1999, muncul beberapa lembaga yang melakukan survei, diantaranya RCP (Resource Productivity Center), IFES (International Foundations for Election System), KPP (Komite Pemberdayaan Pemilih), Lab. Fisip UI, dan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi & Sosial).
2003
Lembagai Survei Indonesia (LSI) didirikan pada 17 September oleh Denny JA, Saiful Mujani, dan M. Qodari.
2004
Denny JA dan Qodari mundur dari LSI. Denny mendirikan Lingkaran Survei Indonesia, sedangkan Qodari mendirikan IndoBarometer.
2007
Asosiasi Riset Opini Publik se-Indonesia dibentuk. Saat musyawarah nasional lembaga survei se-Indonesia yang diikuti 34 lembaga survei. Denny JA terpilih sebagai ketua.
2009
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia dibentuk dengan ketuanya Andrinof Chaniago, pimpinan Cirus Surveyors Group. Munas pertama organisasi ini digelar di Jakarta pada 24-25 Januari 2009 yang diikuti oleh 47 orang perwakilan dari 21 lembaga survei opini publik.
Olahan Berbagai Sumber