25 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Berakhirnya Politik Wani Piro

JAKARTA – Banyak hal yang bisa dipetik dari pilgub DKI Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk menyebutkan sejumlah  hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi partai politik dan para elitnya, terutama para kandidat yang akan maju di pemilihan kepala daerah.

Pertama, kejadian di pilgub DKI yang menurut hasil hitung cepat (quick count) dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok, merupakan koreksi rakyat terhadap praktik politik kotor yang selama ini mendominasi. “Intrik-intrik, kekerasan, isu SARA, black campaign semuanya tak laku,” ujar Hamdi Muluk dalam diskusi interaktif di Jakarta, akhir pekan lalu.

Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok sempat digempur isu SARA, baik melalui statatemen para anggota timsesnya seperti Roma Irama, spanduk, maupun selebaran. Namun terbukti serangan isu SARA tidak menggoyahkan pilihan warga DKI Jakarta. Pelajaran kedua, kata Hamdi Muluk, rakyat lebih menyukai sosok yang apa adanya dan tak berlagak sok pejabat.

“Berpolitik itu harus berawal dari otentisitas, tidak pura-pura, tidak dibuat-buat, tidak dibungkus pencitraan,” kata pria kelahiran Sumbar itu.
Dan, faktor ketiga, dalam memenangkan pertarungan di pilkada, kandidat tak harus mengandalkan uang. Kemenangan Jokowi-Ahok, lanjut Hamdi, membuktikan uang dan kekuasaan bukan penentu kemenangan. Pilgub DKI merupakan tanda berakhirnya politik wani piro (berani bayar berapa?).

“Wani piro sudah tidak terbukti. Berpolitik tidak harus dimulai dengan wani piro. Agenda kerja yang justru sangat menentukan, khususnya untuk pilgub,” papar Hamdi. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), yang di putaran kedua mendapat dukungan koalisi oleh sejumlah partai besar, tetap saja tak mampu menggerogoti suara Jokowi-Ahok yang meraih suara terbesar di putaran pertama.

Bau politik uang dari kubu Foke-Nara juga tak berpengaruh. Seorang warga DKI kepada koran ini mengatakan dirinya menerima surat undangan memilih yang  diselipi uang Rp100 ribu. “Katanya sudah dijatah. Disuruh milik Foke. Tapi saya tetap memilih Jokowi,” ujar perempuan tukang cuci itu sehari sebelum pencoblosan.

Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Indra J Piliang, juga setuju dengan pernyataan Hamdi Muluk. Menurut Indra, politisi bergaya apa adanya yang justru disukai oleh rakyat. Masyarakat mulai muak dengan elit yang bergaya sok pejabat.
“Foke itu terlambat menyatakan diri sebagai orang biasa. Warga DKI melihatnya sebagai figur pejabat. Jokowi itu misalnya biasa bicara sembari garuk-garuk kepala. Itu yang menarik karena manusiawi, tak dibuat-buat,” kata Indra.
Sementara itu, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI diakui tak terlepas dari kerja tokoh Sumut yakni Benny Pasaribu. Sebagai Ketua Tim Pengarah Pemenangan Jokowi-Ahok di wilayah Jakarta Timur, Benny mengaku menyumbangkan analisis dan metode untuk bagaimana bergerak di tengah-tengah masyarakat.

Keterlibatan Benny ini diakui Koordinator Tim Sukses Jokowi-Ahok untuk Jakarta Timur, Haryo Tienmar, dalam perbincangan via telepon kepada wartawan, kemarin. (sam/ade)

JAKARTA – Banyak hal yang bisa dipetik dari pilgub DKI Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk menyebutkan sejumlah  hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi partai politik dan para elitnya, terutama para kandidat yang akan maju di pemilihan kepala daerah.

Pertama, kejadian di pilgub DKI yang menurut hasil hitung cepat (quick count) dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok, merupakan koreksi rakyat terhadap praktik politik kotor yang selama ini mendominasi. “Intrik-intrik, kekerasan, isu SARA, black campaign semuanya tak laku,” ujar Hamdi Muluk dalam diskusi interaktif di Jakarta, akhir pekan lalu.

Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok sempat digempur isu SARA, baik melalui statatemen para anggota timsesnya seperti Roma Irama, spanduk, maupun selebaran. Namun terbukti serangan isu SARA tidak menggoyahkan pilihan warga DKI Jakarta. Pelajaran kedua, kata Hamdi Muluk, rakyat lebih menyukai sosok yang apa adanya dan tak berlagak sok pejabat.

“Berpolitik itu harus berawal dari otentisitas, tidak pura-pura, tidak dibuat-buat, tidak dibungkus pencitraan,” kata pria kelahiran Sumbar itu.
Dan, faktor ketiga, dalam memenangkan pertarungan di pilkada, kandidat tak harus mengandalkan uang. Kemenangan Jokowi-Ahok, lanjut Hamdi, membuktikan uang dan kekuasaan bukan penentu kemenangan. Pilgub DKI merupakan tanda berakhirnya politik wani piro (berani bayar berapa?).

“Wani piro sudah tidak terbukti. Berpolitik tidak harus dimulai dengan wani piro. Agenda kerja yang justru sangat menentukan, khususnya untuk pilgub,” papar Hamdi. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), yang di putaran kedua mendapat dukungan koalisi oleh sejumlah partai besar, tetap saja tak mampu menggerogoti suara Jokowi-Ahok yang meraih suara terbesar di putaran pertama.

Bau politik uang dari kubu Foke-Nara juga tak berpengaruh. Seorang warga DKI kepada koran ini mengatakan dirinya menerima surat undangan memilih yang  diselipi uang Rp100 ribu. “Katanya sudah dijatah. Disuruh milik Foke. Tapi saya tetap memilih Jokowi,” ujar perempuan tukang cuci itu sehari sebelum pencoblosan.

Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Indra J Piliang, juga setuju dengan pernyataan Hamdi Muluk. Menurut Indra, politisi bergaya apa adanya yang justru disukai oleh rakyat. Masyarakat mulai muak dengan elit yang bergaya sok pejabat.
“Foke itu terlambat menyatakan diri sebagai orang biasa. Warga DKI melihatnya sebagai figur pejabat. Jokowi itu misalnya biasa bicara sembari garuk-garuk kepala. Itu yang menarik karena manusiawi, tak dibuat-buat,” kata Indra.
Sementara itu, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI diakui tak terlepas dari kerja tokoh Sumut yakni Benny Pasaribu. Sebagai Ketua Tim Pengarah Pemenangan Jokowi-Ahok di wilayah Jakarta Timur, Benny mengaku menyumbangkan analisis dan metode untuk bagaimana bergerak di tengah-tengah masyarakat.

Keterlibatan Benny ini diakui Koordinator Tim Sukses Jokowi-Ahok untuk Jakarta Timur, Haryo Tienmar, dalam perbincangan via telepon kepada wartawan, kemarin. (sam/ade)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/