MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pernyataan keras mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan ketika akan ditahan KPK pada Selasa (19/9), menyisakan misteri tanda tanya besar.
Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) berhasil memperoleh keterangan dari sumber terpercaya terkait pembelian LNG dari Amerika Serikat yang sedang diusut KPK. Temuan tersebut pun mengungkap dugaan peran mantan pejabat dan pejabat teras Pertamina hingga Kementerian BUMN.
“Karen menegaskan kontrak LNG itu langkah korporasi atas dasar persetujuan antara surat Menteri BUMN kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawas dan Pengendali Pembangunan (UKP4) tanggal 19 Maret 2012 dan Sales Purchase Agreement (SPA) 1 dan SPA 2 tahun 2013 telah diamandemen dengan SPA tahun 2015 yang ditanda tangani oleh Dirut Pertamina saat itu Dwi Sucipto,” kata Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman dalam rilisnya, Minggu (24/9).
Dikatakan, semua nilai kontrak pembelian LNG tersebut transparan dan tercantum di website SEC (Security Exchange Commision), semua pihak setiap saat dapat melihatnya.
Di antara keterangan penting itu antara lain terendus hilangnya potensi keuntungan Pertamina dari rencana penjualan LNG ke Tarfigura pada Oktober 2018 karena tak mampu membaca pasar dari situasi geopolitik. Kala itu, penawaran Trafigura terbatas, hanya tiga hari. Namun sayang, Pertamina gagal memenuhi tahapan transaksi itu. Kesempatan untung itupun lenyap dan akhirnya berujung kasus hukum.
“Bisa jadi penyebab kegagalan meraih keuntungan pada 2018 itu ada persoalan kompetensi dan kapasitas di Dewan Direksi yang tidak memiliki pengalaman cukup dalam berbisnis dengan trader kelas dunia. Hal itulah yang diherankan Karen dalam salah satu pernyataan dia,” ungkapnya lagi.
Artinya, lanjut Yusri, Kementerian BUMN telah ikut tanggung renteng telah gagal menetapkan anggota direksi yang memiliki kompetensi dan jam terbang tinggi dalam memitigasi potensi kerugian bisnis LNG menjadi laba.
“Lagi pula, Komite LNG yang dibentuk dari keputusan rapat Direksi saat Plt Dirut Pertamina dijabat Nicke Widyawati sejak 20 April 2018 perlu juga dipertanyakan kemampuan memitigasi potensi kerugiaan dari kontrak LNG saat itu,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, dari ucapan Karen pada media di KPK saat itu, muncul kesan ada pembiaran dari Direksi Pertamina saat itu terhadap kontral LNG Corpus Cristi Liquefaction (CCL) Amerika.
“Namun kami agak mempercayai keterangan Karen dan sumber Pertamina lain yang menghandel bisnis LNG, bahwa posisi keuntungan yang dinikmati Pertamina saat ini sudah mencapai sekitar Rp 1,24 triliun dan prognosa 2025 sekitar Rp 1,6 triliun,” beber Yusri.
Meski demikian, kata Yusri, soal mana yang benar antara klaim Ketua KPK, Firly Bahuri tentang kerugian Rp 2,1 triliun dengan keterangan Karen dan Pertamina akhirnya memeroleh keuntungan cukup besar, biar nanti dalam proses pengadilan akan terungkap secara terang benderang siapa yang benar.
“Akan tetapi soal kompetensi dan kapasitas anggota direksi harusnya jadi pembelajaran penting bagi kementerian BUMN dalam menempatkan anggota direksi di BUMN strategis. Hindarilah orang luar menduduki posisi strategis, hindari dari intervensi politik, harus profesional,” beber Yusri.
Sementara itu, mengenai pembelian LNG dari Amerika Serikat oleh Pertamina tersebut, CERI juga menemukan keterangan lain.
“Kami memperoleh keterangan dari sumber terpercaya, LNG yang telah dibeli dari Amerika Serikat itu ternyata awalnya untuk kebutuhan pembangkit PLN dan kilang-kilang pengolahan yang cilakanya tidak kunjung selesai atau gagal dibangun. Bahkan sampai kargo LNG itu sudah akan diterima Pertamina,” beber Yusri.
Secara detail, Yusri juga membeberkan proses penjualan LNG Pertamina yang mulai dari proses tender awal Oktober 2018. Menurutnya KPK harus menyelediki secara menyeluruh, termasuk nuansa di rapat-rapat Board of Director (BOD) saat itu. (rel/dek)