SUMUTPOS.CO – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang secara terbuka mengatakan dirinya boleh berkampanye dan memihak dalam pemilihan presiden, terus memantik polemik. Dari sisi penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menekankan, presiden harus cuti jika melakukan aktivitas kampanye.
Ketua KPU RI Hasyim Asyari mengatakan, dari sisi norma, presiden memang diperbolehkan melakukan kampanye. Sehingga, apa yang disampaikan Presiden Jokowi sesuai dengan norma di UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. “UU-nya memang menyatakan begitu,” kata Hasyim di Hotel Merlynn Park Hotel, kemarin (25/1).
Yang jelas, lanjut Hasyim, UU mewajibkan pejabat negara yang kampanye termasuk presiden untuk cuti. Untuk menteri, izin cuti bisa disampaikan kepada presiden. Sementara bagi presiden, cuti disampaikan ke institusi istana. “Surat izin yang diterbitkan presiden itu KPU selalu mendapatkan tembusan,” imbuhnya.
Lantas, bagaimana untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan? Hasyim menerangkan, secara kewenangan pengawasan menjadi tugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu bisa melakukan kajian terhadap kegiatan atau kebijakan yang disalahgunakan. “Soal nanti bagaimana lapangan, faktanya menggunakan fasilitas negara atau tidak, itu kan ada lembaga yang mengawasi,” terangnya.
Sementara itu, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis merasa, pernyataan Presiden Jokowi sangat merisaukan. “Karena pernyataan itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara,” terangnya saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, kemarin.
Menurut UUD 1945, sebagai presiden dan kepala negara, Jokowi harus berada di atas semua kelompok, di atas semua golongan, di atas semua suku, agama, dan partai politik. Ketika seseorang dipilih sebagai presiden, maka kesetiaannya menjadi kesetiaan terhadap negara, terhadap rakyat, tanpa membeda-bedakan mereka.
Todung mengatakan, Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis dari negara hukum adalah semua tindakan dan ucapan presiden harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal itu dengan tegas disebutkan pada Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945.
Presiden tidak boleh melakukan diskriminasi dalam menjelankan tugasnya. Jadi, kata Todung, aneh jika Jokowi mengatakan, presiden boleh kampanye dan memihak, sebagaimana menteri juga boleh memihak, yang dilarang adalah kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. “Selama ini tidak pernah ada pernyataan presiden seperti yang diucapkan oleh Jokowi dalam setiap Pilpres,” bebernya.
Terkait UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang dijadikan alasan oleh Jokowi untuk memihak dan berkampanye, Todung menjelaskan, yang dimaksud dalam UU Pemilu itu adalah ketika presiden maju sebagai incumbent atau running for the second term.
Namun, dalam konteks sekarang ini, Presiden Jokowi jelas tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik dan tidak ada periode ketiga. Maka, Jokowi seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik. “Kalau dia (Jokowi) dalam konteks sekarang ini ikut kampanye, ikut memihak, potensi conflict of interest, potensi benturan kepentingan akan sangat telanjang dan kasat mata,” paparnya.
Jika itu yang terjadi, maka Pemilu akan berjalan tidak adil dan tidak fair. Hal itu jelas tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menjamin equality dan tidak ada diskriminasi. Padahal, ketika dilantik menjadi presiden, dia bersumpah akan melaksanakan konstitusi dan hukum.
Todung menegaskan, kalau presiden tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal itu ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Jika disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka itu bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan. “Saya tidak mengatakan harus melakukan pemakzulan, tapi ini yang saya baca dalam Pasal 9 UUD 45,” tandasnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran Ahmad Muzani menilai, berlebihan kekhawatiran sejumlah pihak. Padahal, yang disampaikan Jokowi hanya norma dari UU Pemilu. “Lah wong presiden belum berkampanye hanya mengatakan boleh berkampanye,” ujarnya di Media Center TKN kemarin.
Kampanye bagi presiden, lanjut dia, bukan hal baru. Bahkan, di 2019 presiden terlibat langsung memenangkan dirinya sendiri. Prabowo kala itu, menerima konsekuensi itu sebagai penghormatan pada aturan.
Bagi TKN sendiri, pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan kampanye atau tidak kepada presiden. “Jika beliau akan berkampanye kami akan dengan sangat bergembira dan senang sekali,” ungkapnya.
Sementara itu, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar telah beberapa kali mewanti-wanti agar aparat negara bertindak netral dalam Pemilu. Begitu pula Presiden. Menurutnya, presiden sudah seharusnya bersikap netral. “Presiden kalau memihak harus cuti dari (jabatan) Presiden,” kata Gus Muhaimin saat menghadiri acara di Pasuruan, Rabu (24/1) malam.
Saat berkunjung ke Tulungagung kemarin, Gus Muhaimin kembali menegaskan bahwa keberpihakan Presiden pada salah satu paslon dengan menggunakan instrumen negara sangat membahayakan. “Jangan berkampanye menggunakan fasilitas negara, memalukan,” tegasnya.
Terpisah, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Jokowi terkait presiden boleh memihak telah banyak disalahartikan. “Apa yang disampaikan Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses,” katanya, kemarin. Pernyataan Jokowi disebutnya merupakan penjelasan dari jawaban sebelumnya.
Ari mengatakan, penjelasan yang dimaksud Jokowi adalah aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. Dia menyatakan, pernyataan itu berdasar pada pasal 281 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal itu memang disebut saat kampanye, boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menterim dan juga kepala daerah maupun wakilnya. “Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU,” tuturnya.
Dia kembali menjelaskan, dalam berkampanye, ada syaratnya. Yakni tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya. Terkecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. “Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara,” ungkap Ari. Dengan diijinkannya presiden untuk berkampanye, menurutnya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau paslon.
Ari juga membandingkan, presiden sebelum Jokowi juga melakukan praktik yang sama. Misalnya Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri dan ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. “Mereka memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya,” ungkapnya.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan senada. Yakni aturan telah memperbolehkan kampanye dilakukan oleh presiden. “Tapi saya sudah, sejak awal sudah memposisikan diri untuk bersikap netral, tidak memihak,” katanya.
Hingga kini, Ma’ruf memilih bungkam soal pilihannya. Menurutnya ini urusan personal jadi tidak perlu mempublikasikan. “Ini bukan perbedaan dengan presiden. Memang presiden sudah menyatakan seperti itu dan saya memang tetap netral,” ungkapnya.
Ma’ruf juga mendukung jika ada pelanggaran maka dilaporkan ke Bawaslu. Misalnya terkait bantuan sosial yang terdapat gambar salah satu paslon. “Nanti Bawaslu yang memberikan apakah pelanggaran atau tidak,” katanya.
Para Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) merespon keras penyataan Jokowi. Pakar hukum Bivitri Susanti menyentil inkonsistensi presiden. Sebelumnya, Jokowi menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya mengikutinya.
Bivitri menduga, perubahan sikap itu membuktikan betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilu. “Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden,” ujarnya.
Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu bila aktif berkampanye. Karena pejabat, terlebih Presiden akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu. Baik dari aspek kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi, hingga memengaruhi netralitas birokrasi. “Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif,” imbuhnya.
Bivitri berpendapat, perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Meski UU Pemilu memberi ruang, namun UU harus diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu LUBER JURDIL, dengan penekanan pada aspek keadilan. “Tentu saja, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik,” tegasnya.
Lebih lanjut lagi, pernyataan Jokowi yang memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan, dinilainya sebagai tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Sehingga CALS minta Jokowi mencabut pernyataan tersebut. (far/lum/tyo/lyn/jpg)