Media Arab Sebut Moratorium Pencitraan Pemilu
JAKARTA-Kekompakan berbagai elemen dalam menyelesaikan polemik Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dipertanyakan. Sebab, paska terbongkarnya kebohongan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa yang menyebut duta besar (Dubes) Saudi Arabia telah meminta maaf, beberapa elemen justru tidak lagi kompak menghadapi masalah ini.
Mulai retaknya kekompakan untuk menyelesaikan kasus TKI itu tentu sangat disayangkan. Sebab, media Arab Saudi mulai melakukan serangan balik terhadap pemerintah Indonesia.
Media Saudi Gazette seperti yang terlihat dalam onlinenya www.saudigazette.com.sa mengatakan moratorium sarat kepentingan politik.
Media tersebut menuliskan judul Indonesian labor ban politically motivated yang diterjemahkan larangan pengiriman tenaga kerja bermotif politik. Media tersebut menulis pihaknya meragukan keseriusan pemerintah Indonesia, sebab langkah pemerintah untuk membuat moratorium dinilai hanya untuk mencari muka menjelang pemilihan umum.
Chairman of the National Recruitment Committee Saudi Arabian Sa’ad Al-Baddah justru menantang balik pemerintah Indonesia. Dia mengatakan, Indonesia justru bakal rugi kalau melarang pengiriman tenaga kerja. Dikatakan, Indonesia akan kehilangan 6 miliar SR (Saudi Arabiyan Riyal) setara Rp13,7 miliar per tahun kalau melaksanakan moratorium.
Mulai retaknya kekompakan itu teridikasi dari mengendurnya dukungan terhadap dua langkah yang disiapkan pemerintah. Yakni, memoratorium dan rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) oleh Presiden SBY. Blunder Marty Natalegawa tersebut membuat beberapa elemen seperti kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Mereka khawatir, jika apa yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya untuk melindungi tenaga kerjanya hanya isapan jempol belaka. Sebelumnya, kecurigaan itu muncul lantaran jarang ada pendampingan bagi tenaga kerja bermasalah. Harapan sempat muncul saat pemerintah terlihat serius membuat moratorium dan satgas.
Analis kebijakan Publik Migrant Care Wahyu Susilo membenarkan jika sikap Marty Natalegawa bisa menghilangkan kepercayaan publik. Parahnya, hal itu juga berdampak pada kebijakan pemerintah lain. Dia akhirnya meragukan keseriusan presiden untuk membentuk Satgas. “Setiap menghadapi masalah dengan TKI, selalu membentuk Satgas,” ujarnya.
Menurutnya, presiden harus mengembalikan kepercayaan publik dengan mulai bersikap tegas. Seperti mengatakan Dubes Arab Saudi dalam 24 jam sudah harus angkat kaki dari Indonesia. “Apa yang dilakukan SBY tidak ada bedanya dengan orang lain yaitu mengecam. Kalau berani mengusir dubes, presiden baru diacungi jempol,” imbuhnya.
Langkah tersebut menurutnya penting. Sebab, selama ini pemerintah dinilai belum mampu menunjukkan political action yang mengarah tajam pada pokok permasalahan. Wahyu menilai, apa yang dilakukan SBY saat ini dinilai klise dan mengulang langkah yang tidak terbukti efektif mengatasi masalah.
Sekjen Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusdi Basalamah mengatakan pembentukan Satgas adalah lagu lama. Selama ini, terbukti tdak bisa menyelesaikan masalah dengan kongkrit. Dia malah menagih rekomendasi Satgas yang diketuai Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang sudah berjalan lima bulan lalu.
Satgas yang disinggung Rusdi adalah Satgas Pembenahan TKI yang dibetuk lima bulan lalu. Dugaan pembohogan Marty dan tidak jelasnya kinerja Satgas membuatnya pesimis dengan langkah pemerintah. “Titik beratnya jangan pada MoU saja, pembenahan menyeluruh di dalam negeri harus dilakukan,” urainya.
Moratorium atau Satgas harus direncakan dengan matang karena menurut data Apjati, Saudi Arabia masih menjadi favorit para TKI. Tercatat, setiap bulannya Indonesia bisa mengirimkan hingga 18 ribu tenaga kerja baru ke Arab. “Sampai hari ini, Saudi masih urutan satu pilihan calon TKI ke luar negeri,” tandasnya.
Terpisah, Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) juga demikian. Mereka melihat program yang bakal dilaksanakan pemerintah kurang tepat. Apalagi, beberapa hari lalu SP kedatangan TKI bernama Rosita yang berhasil lolos dari hukum pancung. Selama satu tahun, Rosita tidak mendapat pendampingan sama sekai dari pemerintah.
Staf penanganan kasus buruh migran SP Vicky Sylvanie mengatakan pendampingan itu seharusnya jadi misi utama pemerintah. Sebab, saat ini masih banyak TKI bermasalah yang belum mendapat pendampingan secara maksimal. Termasuk kasus Rosita yang kini ditanganinya, Kemenlu malah sempat tidak tahu jika yang bersangkutan sudah di Indonesia. “Saat ini Rosita masih terancam pancung karena status hukumnya mengambang,” ucapnya.
Ketua Badan Eksekutif Nasional SP Risma Umar menambahkan, moratorium dikhawatirkan bisa menambah jumlah pengangguran jika tidak digarap dengan serius. Disamping itu, arus migrasi buruh Indonesia ke luar negeri secara ilegal potensinya makin tinggi. “Kebijakan moratorium di saat maraknya PHK dan sulitnya lapangan kerja kurang tepat,” jelasnya.
Dia berharap Presiden SBY lebih mengedepankan sistem perlindungan buruh migran Indonesia dengan perspektif HAM dalam menyelesaikan kasus yang ada. Karena moratorium yang dipaksakan dan tidak diatur jelas bisa memasung hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan. “Hak asasi buruh untuk bermigrasi juga dicederai,” ungkapnya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar di Jakarta kemarin (25/6) menjelaskan, instruksi presiden moratorium dan pembentukan satgas jalan terus. Tudingan jika telah terjadi pembohongan publik terhadap hasil diplomasi RI dengan Arab Saudi, dia sebut tidak akan mengganggu instruksi SBY itu.
“Insya Allah Senin depan Satgas sudah terbentuk dan memulai rapat-rapat penting,” ucap dia pada sebuah diskusi di stasiun radio swasta. Satgas tersebut, bakal dipimpin oleh pejabat eselon I Kemenakertrans. Dengan pembentukan Satgas ini, Muhaimin mengatakan merupakan sebuah bentuk keseriusan perlindungan TKI di luar negeri. “Kami tetap serius untuk menjadi lebih baik,” kata dia.
Diantara tindakan awal yang bakal dilakukan Satgas ini adalah, metakan 303 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Muhaimin menjelaskan, sebagian besar dari WNI tersebut bukan TKI. Tapi, tetap menjadi sasaran satgas untuk dibebaskan dari jeratan eksekusi hukuman mati. Menurut Muhaimin, perkembangan proses hukum dari seluruh WNI tadi beragam. “Ada yang sudah sampai proses kasasi, dan ada juga yang sedang meminta permohonan maaf keluarga korban,” ucap Muhaimin.
Muhaimin menjelaskan, kasus Ruyati ini harus menjadi pecut untuk memperbaiki sistem penempatan TKI. Saat kebijakan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi yang mulai dijalankan 1 Agustus depan, Muhaimin berjanji bakal mengadakan perbaikan internal. “Kami juga bakal fokus menggarap penandatangan MoU dengan Arab Saudi,” papar menteri asal PKB itu.
Muhaimin juga berpesan kepada pemerintah mulai tingkat desa hingga kabupaten atau kota basis-basis TKI. Dia berharap, supaya benar-benar memantau kesiapan calon TKI. “Jika benar-benar belum siap, jangan berangkat dulu,” katanya.
Sementara terkait ancaman boikot pembahasan anggaran Kemenaknertrans oleh Komisi IX, menurut Muhaimin tidak ada. “Saya sudah cek, itu hanya letupan-letupan sesaat,” tandasnya. Muhaimin menjelaskan, pihaknya tetap bakal melakukan rapat-rapat dengan Komisi IX. Baik itu rapat tentang anggaran Kemenakertrans tahun depan, atau rapat perlindungan TKI.
Dalam forum tersebut, beberapa kalangan juga masih menilai Muhaimin angkuh. Sebagai kepala institusi pemerintahan yang berkaitan dengan penempatan TKI, Muhaimin masih belum mengucapkan permohonan maaf terkait kasus pemancungan Ruyati. Dia masih bertutur tentang upaya kedepan yang bakal diambil Kemenakertrans untuk memperbaiki sistem penempatan TKI di negara-negara tujuan.
Padahal, tuntutan pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga Ruyati adalah rekomendasi sidang paripurna DPR. Saat ditanya kenapa pihaknya tidak kunjung meminta maaf, Muhaimin hanya tersenyum. Dia terus bungkam sampai meninggalkan forum diskusi itu.
Menurut Wahyu, sikap Muhaimin itu menunjukkan keangkuhan pemerintah. “Belum ada kesadaraan jika kasus Ruyati ini adalah bentuk kelalaian pemerintah,” kata dia. Wahyu menegaskan, pemerintah RI dan Arab Saudi terlihat sama-sama angkuh tidak mau mengucapkan permohonan maaf kepada keluarga Ruyati. (dim/wan/jpnn)