25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rutin Rotasi Buku Taman Bacaan agar tak Bosan

Nila Tanzil yang Gigih Menyemai Budaya Membaca di Indonesia Timur

Selama tiga tahun terakhir, Nila Tanzil sudah mendirikan 24 Taman Bacaan Pelangi di berbagai pelosok Indonesia Timur. Berdampak pada peningkatan kemampuan mengarang dan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak-anak setempat.   

SEKARING RATRI A, Jakarta

 KANTOR: Nila Tanzil saat ditemui  kantornya,  Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
DI KANTOR: Nila Tanzil saat ditemui di kantornya, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

PERLAHAN anak-anak di Kampung Nara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu membuka beberapa kantong plastik yang disodorkan Nila Tanzil dan seorang rekannya dari Belanda. Mata mereka takjub memandang barang yang ada di dalamnya: krayon. Memegang alat gambar itu pun, mereka sangat hati-hati.

“Ternyata, mereka belum pernah melihat krayon sebelumnya. Jadi, kayak ngelihat harta karun gitu. Terharu banget lihat ekspresi mereka,” ungkap Nila kepada Jawa Pos tentang kejadian yang disaksikannya dua tahun silam tersebut.

Momen-momen menggetarkan seperti itulah yang membuat semangat lajang 36 tahun tersebut terus membuncah untuk tetap melanjutkan apa yang dimulainya sejak 2009: menyemai budaya membaca buku dengan membuka taman-taman bacaan yang dinamainya Taman Bacaan Pelangi (TBP) di pelosok Indonesia Timur.

Hingga saat ini, total sudah 24 TBP yang didirikan head of stakeholder mobilization PT Nike Indonesia tersebut di Flores, Atambua, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi. Baik yang didirikannya sendiri maupun dengan bantuan sejumlah rekan.

TBP pertama yang didirikannya berada di Kampung Roe, Manggarai Barat. Ketika itu, 2009, Nila memang bekerja sebagai communication consultant pada sebuah lembaga konservasi lingkungan hidup dan pariwisata, The Nature Conservancy, yang berpusat di Manggarai Barat, Flores, NTT.
Sebagai perempuan kota, awalnya Nila yang juga dikenal sebagai blogger itu cukup tersiksa dengan kondisi lingkungan tempat bekerjanya yang serbaminim fasilitas. Tapi, dasar suka bepergian, perlahan dia justru betah.

Sebab, dia bisa memuaskan hobi traveling-nya dengan menjelajah pulau-pulau terpencil di sekitar Labuan Bajo, termasuk kawasan Taman Nasional Komodo.

Hasil penjelajahannya itulah yang lantas membuka matanya akan kondisi memprihatinkan anak-anak di kawasan terpencil tersebut. “Sarana hiburan mereka sangat terbatas. Kasihan banget. Pulang sekolah, mereka main di hutan sekalian cari kayu bakar untuk keperluan memasak orang tua mereka,” katanya.

Nila langsung terpikir untuk membuka taman bacaan di daerah-daerah tersebut sebagai alternatif hiburan mencerdaskan bagi anak-anak. Dia ingin mereka bisa bersenang-senang dengan buku seperti juga yang dialaminya sejak kecil.

Terbawa sifatnya yang selalu spontan, saat itu juga dia langsung mewujudkan niat tersebut. Tapi, karena serba berasal dari kantong sendiri, Nila tidak bisa membikin gedung untuk lokasi taman bacaan tersebut. Seorang diri, Nila pun memberanikan diri bertanya kepada para penduduk setempat untuk menyediakan lokasi taman bacaan.

“Aku survei, cari rumah penduduk yang punya halaman luas. Lalu, aku ketuk-ketuk pintu aja, terus aku tanya sama mereka apa boleh buka taman bacaan di sini,” kenangnya.

Modal nekat serta niat tulus Nila membuahkan hasil. Warga mendukung sekali ide taman bacaan di daerah mereka. Mereka bahkan bersedia menjadi pengelola TBP secara sukarela.

Beres soal lokasi, Nila pun berjibaku mengisi taman bacaan. Sekali lagi perempuan dengan rambut jigrak itu harus merogoh kocek sendiri. Dia pulang ke Jakarta untuk membeli ratusan buku bacaan anak-anak usia sekolah dasar (SD).

Dia sengaja memilih buku bacaan yang kaya ilustrasi seperti buku cerita rakyat dan ensiklopedia anak. Dia paham bahwa anak-anak usia SD lebih suka melihat buku bergambar ketimbang buku yang hanya berisi tulisan.

Nila juga membeli lemari buku untuk menyimpan koleksi buku bacaan tersebut. “Minimal ada 400 buku bacaan di setiap Taman Bacaan Pelangi,” ujar Nila.

Kalau ditotal, modal awal mendirikan tiap TBP mencapai Rp 10 juta. Semua buku untuk keperluan TBP tersebut dibawanya sendiri dengan naik pesawat. Akhirnya, tepat pada 5 Desember 2009, TBP pertama berdiri di Kampung Roe.

“Aku nggak nyangka melihat antusiasme anak-anak waktu kali pertama TBP didirikan. Mereka langsung menyerbu lemari bukunya. Rasanya seneng banget,” urainya.

Melihat antusiasme yang tinggi tersebut, Nila pun tidak ingin TBP hanya ada di satu lokasi. Apalagi, masih banyak anak di daerah terpencil di kawasan Indonesia Timur yang bernasib serupa.

Anak kedua di antara tiga bersaudara itu pun segera terpikir untuk membuat TBP di kawasan-kawasan lain. Lagi-lagi karena modal hanya berasal dari kantong pribadi, Nila pun hanya bisa mendirikan tiga TBP lagi. Yakni, TBP di Kampung Melo, Kampung Komodo, dan Desa Nampar Macing. Ketiganya berada di NTT.

Seperti lokasi pertama, warga di tiga daerah tersebut juga menyambut baik adanya TBP. Karena TBP kerap menjadi bahan pembicaraan dari kampung ke kampung, makin banyak pula daerah yang menginginkan TBP.

Nila pun mulai kewalahan. Akhirnya, dia meminta bantuan teman-temannya untuk membangun TBP di kampung-kampung lain. Nila menghubungi mereka melalui surat elektronik. Dia menjelaskan proyek TBP.

“Aku bilang sama mereka, aku punya ide bikin taman bacaan nih. Aku jelaskan semuanya. Responsnya bagus. Mereka langsung forward e-mail aku ke network-nya. Jadi, makin banyak yang mau nyumbang, baik berupa buku maupun dana. Tapi, ya ada juga yang responsnya lama banget,” jelasnya sambil tersenyum.

Meski bantuan sudah mengalir, Nila tetap mengelola sendiri semua bantuan tersebut. Dia juga yang membawa buku-buku sumbangan itu ke sejumlah TBP miliknya. “Tapi, kadang aku juga nitip sama teman baikku yang kebetulan berkunjung ke Labuan Bajo,” ujarnya.

Di tahap itu tantangan secara fisik harus dihadapi Nila. Sebanyak 24 TBP yang didirikannya tersebut rata-rata berlokasi di kawasan pegunungan atau laut yang sulit dijangkau. Ada TBP yang baru bisa diakses setelah bermobil selama lima jam, dilanjutkan dengan ngojek dua jam dan bonus jalan kaki dua jam.
Padahal, dia harus rutin mengunjungi 24 TBP itu meski sejak tahun ini sudah bekerja di Jakarta. Tujuannya, selain menengok perkembangan, juga merotasi buku dari satu TBP ke TBP lain agar anak-anak yang menjadi sasaran tidak bosan.

Belum lagi tantangan lain. Ada TBP yang sama sekali tak bisa dinikmati anak-anak setempat. Gara-garanya, si pemilik lahan memilih mengunci lemari tempat menyimpan buku.

“Pengelolanya nelayan setempat. Waktu aku ke sana, lemarinya dikunci dan kuncinya dibawa dia yang sedang melaut. Aku bongkar paksa lemarinya. Eh, buku-bukunya masih bagus-bagus dan licin,” kenang Nila.

“Ternyata dia nggak pernah buka lemari bukunya karena takut rusak buku-bukunya. Setelah itu, langsung aku pindahkan TBP ke rumah warga lainnya,” lanjut dia.

Namun, berbagai kesulitan itu selalu terbayar lunas tiap kali Nila menemui momen-momen menggetarkan seperti saat menyaksikan anak-anak di Kampung Nara takjub dengan krayon itu. Atau ketika menikmati berisiknya anak-anak Indonesia Timur saat membaca.

“Mereka bacanya nggak dalam hati seperti yang kita lakukan, tapi mereka suarakan gitu. Jadi seru dengernya. Sampai-sampai ada bapak yang bagian bawah rumah panggungnya ketempatan TBP mengaku tak bisa tidur tiap siang,” kata Nila terkekeh.

Kepuasan lain juga dia rasakan ketika mendapati peningkatan penguasaan bahasa Inggris anak-anak pengunjung TBP di Labuan Bajo, NTT. “Itu juga yang terjadi di TBP-TBP lainnya. Banyak guru sekolah yang bilang ke aku bahwa sekarang anak-anak jadi pintar mengarang. Kosakata mereka juga bertambah banyak. Seneng aku dengernya,” paparnya.

Karena itu, Nila tak ingin berhenti membuka TBP. Dia sudah memiliki rencana untuk merambah daerah-daerah terpencil di Papua dan Maluku. Tidak hanya itu, dia juga berniat menjadikan TBP sebagai yayasan.

Nila pun rajin mem-posting kegiatan dan artikel tentang TBP di situs www.tamanpelangi.com dan akun Twitter @pelangibook. “Aku berharap TBP bisa makin banyak agar bisa menyediakan akses terhadap buku bacaan anak-anak yang berkualitas. Sebab, aku yakin, TBP bisa membantu menumbuhkan minat baca anak-anak yang tinggal di desa-desa terpencil,” ujarnya. (*/c11/ttg/jpnn)

Nila Tanzil yang Gigih Menyemai Budaya Membaca di Indonesia Timur

Selama tiga tahun terakhir, Nila Tanzil sudah mendirikan 24 Taman Bacaan Pelangi di berbagai pelosok Indonesia Timur. Berdampak pada peningkatan kemampuan mengarang dan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak-anak setempat.   

SEKARING RATRI A, Jakarta

 KANTOR: Nila Tanzil saat ditemui  kantornya,  Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
DI KANTOR: Nila Tanzil saat ditemui di kantornya, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

PERLAHAN anak-anak di Kampung Nara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu membuka beberapa kantong plastik yang disodorkan Nila Tanzil dan seorang rekannya dari Belanda. Mata mereka takjub memandang barang yang ada di dalamnya: krayon. Memegang alat gambar itu pun, mereka sangat hati-hati.

“Ternyata, mereka belum pernah melihat krayon sebelumnya. Jadi, kayak ngelihat harta karun gitu. Terharu banget lihat ekspresi mereka,” ungkap Nila kepada Jawa Pos tentang kejadian yang disaksikannya dua tahun silam tersebut.

Momen-momen menggetarkan seperti itulah yang membuat semangat lajang 36 tahun tersebut terus membuncah untuk tetap melanjutkan apa yang dimulainya sejak 2009: menyemai budaya membaca buku dengan membuka taman-taman bacaan yang dinamainya Taman Bacaan Pelangi (TBP) di pelosok Indonesia Timur.

Hingga saat ini, total sudah 24 TBP yang didirikan head of stakeholder mobilization PT Nike Indonesia tersebut di Flores, Atambua, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi. Baik yang didirikannya sendiri maupun dengan bantuan sejumlah rekan.

TBP pertama yang didirikannya berada di Kampung Roe, Manggarai Barat. Ketika itu, 2009, Nila memang bekerja sebagai communication consultant pada sebuah lembaga konservasi lingkungan hidup dan pariwisata, The Nature Conservancy, yang berpusat di Manggarai Barat, Flores, NTT.
Sebagai perempuan kota, awalnya Nila yang juga dikenal sebagai blogger itu cukup tersiksa dengan kondisi lingkungan tempat bekerjanya yang serbaminim fasilitas. Tapi, dasar suka bepergian, perlahan dia justru betah.

Sebab, dia bisa memuaskan hobi traveling-nya dengan menjelajah pulau-pulau terpencil di sekitar Labuan Bajo, termasuk kawasan Taman Nasional Komodo.

Hasil penjelajahannya itulah yang lantas membuka matanya akan kondisi memprihatinkan anak-anak di kawasan terpencil tersebut. “Sarana hiburan mereka sangat terbatas. Kasihan banget. Pulang sekolah, mereka main di hutan sekalian cari kayu bakar untuk keperluan memasak orang tua mereka,” katanya.

Nila langsung terpikir untuk membuka taman bacaan di daerah-daerah tersebut sebagai alternatif hiburan mencerdaskan bagi anak-anak. Dia ingin mereka bisa bersenang-senang dengan buku seperti juga yang dialaminya sejak kecil.

Terbawa sifatnya yang selalu spontan, saat itu juga dia langsung mewujudkan niat tersebut. Tapi, karena serba berasal dari kantong sendiri, Nila tidak bisa membikin gedung untuk lokasi taman bacaan tersebut. Seorang diri, Nila pun memberanikan diri bertanya kepada para penduduk setempat untuk menyediakan lokasi taman bacaan.

“Aku survei, cari rumah penduduk yang punya halaman luas. Lalu, aku ketuk-ketuk pintu aja, terus aku tanya sama mereka apa boleh buka taman bacaan di sini,” kenangnya.

Modal nekat serta niat tulus Nila membuahkan hasil. Warga mendukung sekali ide taman bacaan di daerah mereka. Mereka bahkan bersedia menjadi pengelola TBP secara sukarela.

Beres soal lokasi, Nila pun berjibaku mengisi taman bacaan. Sekali lagi perempuan dengan rambut jigrak itu harus merogoh kocek sendiri. Dia pulang ke Jakarta untuk membeli ratusan buku bacaan anak-anak usia sekolah dasar (SD).

Dia sengaja memilih buku bacaan yang kaya ilustrasi seperti buku cerita rakyat dan ensiklopedia anak. Dia paham bahwa anak-anak usia SD lebih suka melihat buku bergambar ketimbang buku yang hanya berisi tulisan.

Nila juga membeli lemari buku untuk menyimpan koleksi buku bacaan tersebut. “Minimal ada 400 buku bacaan di setiap Taman Bacaan Pelangi,” ujar Nila.

Kalau ditotal, modal awal mendirikan tiap TBP mencapai Rp 10 juta. Semua buku untuk keperluan TBP tersebut dibawanya sendiri dengan naik pesawat. Akhirnya, tepat pada 5 Desember 2009, TBP pertama berdiri di Kampung Roe.

“Aku nggak nyangka melihat antusiasme anak-anak waktu kali pertama TBP didirikan. Mereka langsung menyerbu lemari bukunya. Rasanya seneng banget,” urainya.

Melihat antusiasme yang tinggi tersebut, Nila pun tidak ingin TBP hanya ada di satu lokasi. Apalagi, masih banyak anak di daerah terpencil di kawasan Indonesia Timur yang bernasib serupa.

Anak kedua di antara tiga bersaudara itu pun segera terpikir untuk membuat TBP di kawasan-kawasan lain. Lagi-lagi karena modal hanya berasal dari kantong pribadi, Nila pun hanya bisa mendirikan tiga TBP lagi. Yakni, TBP di Kampung Melo, Kampung Komodo, dan Desa Nampar Macing. Ketiganya berada di NTT.

Seperti lokasi pertama, warga di tiga daerah tersebut juga menyambut baik adanya TBP. Karena TBP kerap menjadi bahan pembicaraan dari kampung ke kampung, makin banyak pula daerah yang menginginkan TBP.

Nila pun mulai kewalahan. Akhirnya, dia meminta bantuan teman-temannya untuk membangun TBP di kampung-kampung lain. Nila menghubungi mereka melalui surat elektronik. Dia menjelaskan proyek TBP.

“Aku bilang sama mereka, aku punya ide bikin taman bacaan nih. Aku jelaskan semuanya. Responsnya bagus. Mereka langsung forward e-mail aku ke network-nya. Jadi, makin banyak yang mau nyumbang, baik berupa buku maupun dana. Tapi, ya ada juga yang responsnya lama banget,” jelasnya sambil tersenyum.

Meski bantuan sudah mengalir, Nila tetap mengelola sendiri semua bantuan tersebut. Dia juga yang membawa buku-buku sumbangan itu ke sejumlah TBP miliknya. “Tapi, kadang aku juga nitip sama teman baikku yang kebetulan berkunjung ke Labuan Bajo,” ujarnya.

Di tahap itu tantangan secara fisik harus dihadapi Nila. Sebanyak 24 TBP yang didirikannya tersebut rata-rata berlokasi di kawasan pegunungan atau laut yang sulit dijangkau. Ada TBP yang baru bisa diakses setelah bermobil selama lima jam, dilanjutkan dengan ngojek dua jam dan bonus jalan kaki dua jam.
Padahal, dia harus rutin mengunjungi 24 TBP itu meski sejak tahun ini sudah bekerja di Jakarta. Tujuannya, selain menengok perkembangan, juga merotasi buku dari satu TBP ke TBP lain agar anak-anak yang menjadi sasaran tidak bosan.

Belum lagi tantangan lain. Ada TBP yang sama sekali tak bisa dinikmati anak-anak setempat. Gara-garanya, si pemilik lahan memilih mengunci lemari tempat menyimpan buku.

“Pengelolanya nelayan setempat. Waktu aku ke sana, lemarinya dikunci dan kuncinya dibawa dia yang sedang melaut. Aku bongkar paksa lemarinya. Eh, buku-bukunya masih bagus-bagus dan licin,” kenang Nila.

“Ternyata dia nggak pernah buka lemari bukunya karena takut rusak buku-bukunya. Setelah itu, langsung aku pindahkan TBP ke rumah warga lainnya,” lanjut dia.

Namun, berbagai kesulitan itu selalu terbayar lunas tiap kali Nila menemui momen-momen menggetarkan seperti saat menyaksikan anak-anak di Kampung Nara takjub dengan krayon itu. Atau ketika menikmati berisiknya anak-anak Indonesia Timur saat membaca.

“Mereka bacanya nggak dalam hati seperti yang kita lakukan, tapi mereka suarakan gitu. Jadi seru dengernya. Sampai-sampai ada bapak yang bagian bawah rumah panggungnya ketempatan TBP mengaku tak bisa tidur tiap siang,” kata Nila terkekeh.

Kepuasan lain juga dia rasakan ketika mendapati peningkatan penguasaan bahasa Inggris anak-anak pengunjung TBP di Labuan Bajo, NTT. “Itu juga yang terjadi di TBP-TBP lainnya. Banyak guru sekolah yang bilang ke aku bahwa sekarang anak-anak jadi pintar mengarang. Kosakata mereka juga bertambah banyak. Seneng aku dengernya,” paparnya.

Karena itu, Nila tak ingin berhenti membuka TBP. Dia sudah memiliki rencana untuk merambah daerah-daerah terpencil di Papua dan Maluku. Tidak hanya itu, dia juga berniat menjadikan TBP sebagai yayasan.

Nila pun rajin mem-posting kegiatan dan artikel tentang TBP di situs www.tamanpelangi.com dan akun Twitter @pelangibook. “Aku berharap TBP bisa makin banyak agar bisa menyediakan akses terhadap buku bacaan anak-anak yang berkualitas. Sebab, aku yakin, TBP bisa membantu menumbuhkan minat baca anak-anak yang tinggal di desa-desa terpencil,” ujarnya. (*/c11/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/