26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Caesilia Intan Pratiwi, Ibu Para Gitaris Tanah Air

Mantan Wartawan yang Berubah jadi Juragan

Caesilia Intan Pratiwi bukan seorang gitaris. Bahkan, dia tidak bisa memainkan alat musik petik itu. Tapi, pengabdiannya terhadap perkembangan dunia gitar di Indonesia pantas diacungi jempol. Siapa perempuan setengah baya itu?

THOMAS KUKUH, Jakarta

PULUHAN gitar akustik maupun elektrik berbagai merek berjajar memenuhi tembok rumah sederhana di kawasan Bintaro Sektor 9, Tangerang Selatan. Tak hanya gitar, alat-alat pendukung gitar, seperti sound system, efek gitar, kaset, CD para gitaris ternama, dan sebagainya membuat rumah Caesilia Intan Pratiwi tampak semakin sempit. “Ini toko musik saya,” kata Intan kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang menemuinya Jumat lalu (20/4).

Sudah sekitar sepuluh tahun Intan menggeluti dunia gitar. Padahal, dia tidak bisa memainkan alat musik itu. Kiprahnya lebih banyak pada aktivitas pendukung pengembangan seni musik tersebut.

Selain menyediakan aneka gitar dan aksesorinya, alumnus Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung itu juga membuat majalah khusus tentang pernak-pernik gitar.

Dari beberapa majalah yang pernah diterbitkan, Gitar Plus yang sampai sekarang masih bertahan.

Sukses toko dan menerbitkan majalah gitar, perempuan kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1973 itu merambah bisnis yang lain. Tapi, bisnis itu tak jauh dari musik gitar. Yakni, persewaan studio musik dan tempat kursus gitar. “Pokoknya semua nggak jauh-jauh dari gitar,” imbuhnya.

Karena ketekunannya menggeluti dunia gitar serta perhatian dan kedekatannya dengan ratusan gitaris, Intan pun mendapat julukan sebagai ibu gitaris tanah air. Bahkan, di tembok luar rumahnya terpampang poster berukuran 3 x 3 meter bergambar lima gitaris terkenal Indonesia. Mereka adalah John Paul Ivan (mantan gitaris Boomerang), Eet Sjahranie (gitaris Edane), Jubing Kristianto, Ezra Simanjuntak, dan Andi Owen. Poster itu dibuat khusus sebagai kartu ucapan selamat ulang tahun ke-8 majalah Gitar Plus.

Intan menceritakan, pada 2002 dia memutuskan untuk resign dari perusahaan media dan event organizer tempatnya bekerja karena baru saja melahirkan anaknya, Gregorius Hugo. Dia tidak rela meninggalkan anaknya untuk diasuh orang lain dengan alasan pekerjaan. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja di rumah sambil momong anak.

“Saya kan mantan wartawan sehingga pekerjaan yang saya pilih pun masih terkait dengan bidang media. Maka, saya putuskan membuat majalah musik, khususnya gitar,” ujarnya.

Pilihan itu bukan tanpa alasan. Menurut Intan, obsesinya membuat majalah gitar karena belum ada majalah khusus yang mengulas segala hal tentang gitar dan pemainnya. Saat itu yang ada hanya majalah berisi notasi lagu-lagu yang dimainkan dengan gitar. Selain itu peminat alat musik gitar sangat banyak.

Gayung bersambut. Mantan bosnya ternyata tertarik dengan ‘proposal’ yang diajukan Intan. Dia mau mengucurkan modal Rp80 juta untuk menerbitkan majalah itu. Bersama Eka Venansius, suaminya, Intan lalu menerbitkan majalah G-magz yang antara lain juga berisi chord-chord gitar.

“Menurut kami majalah jenis itu masih sangat laku,” imbuhnya.

Dari rumah petak di gang sempit kawasan Mampang Jaksel, majalah Intan langsung dicetak 10 ribu eksemplar dan disebarkan ke seluruh Indonesia. Tak disangka, majalahnya disambut baik oleh para penggemar musik gitar.

Untuk mengetahui kemauan pasar, setiap hari Intan memelototi televisi, mencari tahu lagu hits yang sering ditayangkan. Setelah itu dia menyuruh staf redaksi mencari tahu chord gitar lagu-lagu itu. Selanjutnya hasilnya dituangkan di majalah.

“Hampir tiga tahun majalah itu tidak ada iklannya. Kami hanya mengandalkan oplah. Tapi, ternyata untungnya cukup besar,” terangnya.
Sukses dengan G-magz, Intan dan suami nekat menerbitkan majalah gitar yang lebih serius dan bonafide untuk pangsa pasar kelas menengah-atas. Majalah itu diberi nama Gitar Plus. Tidak melulu berisi chord gitar, majalah tersebut mengulas profil gitaris, teknik bermain gitar, peralatan, dan rubrik tanya jawab yang diasuh gitaris ternama.

Prospek majalah kedua itu ternyata tidak seperti yang diinginkan. Selama tiga tahun, majalah itu terus merugi dan disubsidi majalah G-magz.
“Bayangkan, setiap bulan kami rugi Rp 6-7 juta. Nggak ada yang mau ngiklan,” tutur Intan. “Tapi, saya tetap yakin majalah itu akan sukses di jalan ini,” imbuhnya.

Kesabaran Intan mulai membuahkan hasil. Sekitar 2007, Gitar Plus mulai diminati banyak pengiklan dan oplahnya terus stabil. Majalah itu mulai diterima para penggemar musik gitar.

Setelah itu, Intan makin ‘tenggelam’ dalam dunia gitar. Tidak hanya mengurusi perusahaan penerbitannya, dia juga terjun langsung di lapangan untuk menemui para gitaris.

“Saya bikinkan even-even untuk para gitaris itu. Mereka perform menjadi bintang tamu dalam sebuah konser musik,” katanya.

Intan juga membuatkan forum bagi para gitaris untuk menemui komunitasnya. Di situlah terjadi dialog, mulai skill dan teknik bermain gitar, hingga serba-serbi tentang gitar itu sendiri. “Tujuan saya (menggelar even) murni untuk mengedukasi para gitaris muda,” tambahnya.

Awalnya banyak yang mencibir kegiatan Intan. Banyak yang menganggap even-even yang diadakan garing. “Apa asyiknya lihat gitaris saja. Nggak ada band-nya,” tuturnya menirukan cibiran beberapa pihak itu.

Bukan hanya itu. Even-even gitar tersebut juga tak ada duitnya. Sponsor tak mau mendukung. Tapi, Intan tak patah arang. Dia terus menggelar acara tersebut di berbagai kota meski harus merogoh uang pribadi untuk membiayai. Dia yakin suatu saat acara yang dibuatnya menuai hasil. Ternyata benar. Sekitar dua tahun kemudian, event gitar yang dibuat Intan mulai dibanjiri sponsor. Gitaris-gitaris terkenal yang sebelumnya tidak memperhitungkan acara tersebut mulai merengek-rengek minta diajak.

Namun, meski sudah gampang menggaet sponsor, Intan tak sepenuhnya menggunakan acara tersebut untuk mencari untung. Kerja banting tulang itu dilakukannya untuk mengembangkan potensi para gitaris muda. Tak hanya di kota-kota besar, Intan juga kerap mengadakan even di kota-kota kecil.
“Sekali lagi, niat saya adalah mengedukasi anak-anak muda yang gemar gitar,” ujar ibu seorang anak itu.

Dari situlah timbul kedekatan antara para gitaris dan Intan. “Saya lebih banyak dikenal anggota komunitas gitar di daerah. Karena kalau bikin even saya selalu mengandeng anak-anak komunitas di daerah. Kalau belum ada komunitasnya, ya saya bikin dulu komunitasnya. Nekat nggak?” jelasnya lantas tertawa ngakak.

Hampir semua detail di lapangan dia tangani. Misalnya, ada gitaris yang akan tampil di event tiba-tiba tidak enak badan. Untuk itu, dia sendiri yang akan mencarikan obat hingga si gitaris sembuh. Intan juga tak segan-segan membangunkan si artis agar tidak ketinggalan pesawat. Bahkan, menyiapkan makanan kesukaan artis gitarnya.

“Saya benar-benar kayak ibu. Makanya, saya lalu dijuluki ibunya para gitaris. Saya nggak tahu siapa yang memunculkan (julukan) itu,” ujarnya.
Setelah sukses mengembangkan berbagai bisnis gitar, Intan masih sempat menulis dua buku tentang gitar. Yakni, Bermain dengan Uang (2011) dan Pengusah Rock n Roll (2012). Kedua buku tersebut sama-sama diawali dengan komentar puluhan gitaris top yang mengucapkan kekaguman atas kerja keras dan keteguhan Intan dalam mengembangkan dunia gitar.

Intan berharap bukunya menginspirasi orang menjadi pengusaha nekat, tapi konsekuen dan konsisten. Sikap pengusaha seperti itu dia sebut sikap pengusaha rock n roll. Tokoh-tokoh hebat berjiwa rock n roll itu adalah Wali Kota Solo Jokowi dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

“Kedua tokoh itu menginspirasi saya dalam banyak hal. Membuat saya bisa mengambil banyak langkah yang cukup berani,” tandas Intan sambil menitipkan dua bukunya untuk diserahkan kepada Dahlan Iskan. (*)

Mantan Wartawan yang Berubah jadi Juragan

Caesilia Intan Pratiwi bukan seorang gitaris. Bahkan, dia tidak bisa memainkan alat musik petik itu. Tapi, pengabdiannya terhadap perkembangan dunia gitar di Indonesia pantas diacungi jempol. Siapa perempuan setengah baya itu?

THOMAS KUKUH, Jakarta

PULUHAN gitar akustik maupun elektrik berbagai merek berjajar memenuhi tembok rumah sederhana di kawasan Bintaro Sektor 9, Tangerang Selatan. Tak hanya gitar, alat-alat pendukung gitar, seperti sound system, efek gitar, kaset, CD para gitaris ternama, dan sebagainya membuat rumah Caesilia Intan Pratiwi tampak semakin sempit. “Ini toko musik saya,” kata Intan kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang menemuinya Jumat lalu (20/4).

Sudah sekitar sepuluh tahun Intan menggeluti dunia gitar. Padahal, dia tidak bisa memainkan alat musik itu. Kiprahnya lebih banyak pada aktivitas pendukung pengembangan seni musik tersebut.

Selain menyediakan aneka gitar dan aksesorinya, alumnus Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung itu juga membuat majalah khusus tentang pernak-pernik gitar.

Dari beberapa majalah yang pernah diterbitkan, Gitar Plus yang sampai sekarang masih bertahan.

Sukses toko dan menerbitkan majalah gitar, perempuan kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1973 itu merambah bisnis yang lain. Tapi, bisnis itu tak jauh dari musik gitar. Yakni, persewaan studio musik dan tempat kursus gitar. “Pokoknya semua nggak jauh-jauh dari gitar,” imbuhnya.

Karena ketekunannya menggeluti dunia gitar serta perhatian dan kedekatannya dengan ratusan gitaris, Intan pun mendapat julukan sebagai ibu gitaris tanah air. Bahkan, di tembok luar rumahnya terpampang poster berukuran 3 x 3 meter bergambar lima gitaris terkenal Indonesia. Mereka adalah John Paul Ivan (mantan gitaris Boomerang), Eet Sjahranie (gitaris Edane), Jubing Kristianto, Ezra Simanjuntak, dan Andi Owen. Poster itu dibuat khusus sebagai kartu ucapan selamat ulang tahun ke-8 majalah Gitar Plus.

Intan menceritakan, pada 2002 dia memutuskan untuk resign dari perusahaan media dan event organizer tempatnya bekerja karena baru saja melahirkan anaknya, Gregorius Hugo. Dia tidak rela meninggalkan anaknya untuk diasuh orang lain dengan alasan pekerjaan. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja di rumah sambil momong anak.

“Saya kan mantan wartawan sehingga pekerjaan yang saya pilih pun masih terkait dengan bidang media. Maka, saya putuskan membuat majalah musik, khususnya gitar,” ujarnya.

Pilihan itu bukan tanpa alasan. Menurut Intan, obsesinya membuat majalah gitar karena belum ada majalah khusus yang mengulas segala hal tentang gitar dan pemainnya. Saat itu yang ada hanya majalah berisi notasi lagu-lagu yang dimainkan dengan gitar. Selain itu peminat alat musik gitar sangat banyak.

Gayung bersambut. Mantan bosnya ternyata tertarik dengan ‘proposal’ yang diajukan Intan. Dia mau mengucurkan modal Rp80 juta untuk menerbitkan majalah itu. Bersama Eka Venansius, suaminya, Intan lalu menerbitkan majalah G-magz yang antara lain juga berisi chord-chord gitar.

“Menurut kami majalah jenis itu masih sangat laku,” imbuhnya.

Dari rumah petak di gang sempit kawasan Mampang Jaksel, majalah Intan langsung dicetak 10 ribu eksemplar dan disebarkan ke seluruh Indonesia. Tak disangka, majalahnya disambut baik oleh para penggemar musik gitar.

Untuk mengetahui kemauan pasar, setiap hari Intan memelototi televisi, mencari tahu lagu hits yang sering ditayangkan. Setelah itu dia menyuruh staf redaksi mencari tahu chord gitar lagu-lagu itu. Selanjutnya hasilnya dituangkan di majalah.

“Hampir tiga tahun majalah itu tidak ada iklannya. Kami hanya mengandalkan oplah. Tapi, ternyata untungnya cukup besar,” terangnya.
Sukses dengan G-magz, Intan dan suami nekat menerbitkan majalah gitar yang lebih serius dan bonafide untuk pangsa pasar kelas menengah-atas. Majalah itu diberi nama Gitar Plus. Tidak melulu berisi chord gitar, majalah tersebut mengulas profil gitaris, teknik bermain gitar, peralatan, dan rubrik tanya jawab yang diasuh gitaris ternama.

Prospek majalah kedua itu ternyata tidak seperti yang diinginkan. Selama tiga tahun, majalah itu terus merugi dan disubsidi majalah G-magz.
“Bayangkan, setiap bulan kami rugi Rp 6-7 juta. Nggak ada yang mau ngiklan,” tutur Intan. “Tapi, saya tetap yakin majalah itu akan sukses di jalan ini,” imbuhnya.

Kesabaran Intan mulai membuahkan hasil. Sekitar 2007, Gitar Plus mulai diminati banyak pengiklan dan oplahnya terus stabil. Majalah itu mulai diterima para penggemar musik gitar.

Setelah itu, Intan makin ‘tenggelam’ dalam dunia gitar. Tidak hanya mengurusi perusahaan penerbitannya, dia juga terjun langsung di lapangan untuk menemui para gitaris.

“Saya bikinkan even-even untuk para gitaris itu. Mereka perform menjadi bintang tamu dalam sebuah konser musik,” katanya.

Intan juga membuatkan forum bagi para gitaris untuk menemui komunitasnya. Di situlah terjadi dialog, mulai skill dan teknik bermain gitar, hingga serba-serbi tentang gitar itu sendiri. “Tujuan saya (menggelar even) murni untuk mengedukasi para gitaris muda,” tambahnya.

Awalnya banyak yang mencibir kegiatan Intan. Banyak yang menganggap even-even yang diadakan garing. “Apa asyiknya lihat gitaris saja. Nggak ada band-nya,” tuturnya menirukan cibiran beberapa pihak itu.

Bukan hanya itu. Even-even gitar tersebut juga tak ada duitnya. Sponsor tak mau mendukung. Tapi, Intan tak patah arang. Dia terus menggelar acara tersebut di berbagai kota meski harus merogoh uang pribadi untuk membiayai. Dia yakin suatu saat acara yang dibuatnya menuai hasil. Ternyata benar. Sekitar dua tahun kemudian, event gitar yang dibuat Intan mulai dibanjiri sponsor. Gitaris-gitaris terkenal yang sebelumnya tidak memperhitungkan acara tersebut mulai merengek-rengek minta diajak.

Namun, meski sudah gampang menggaet sponsor, Intan tak sepenuhnya menggunakan acara tersebut untuk mencari untung. Kerja banting tulang itu dilakukannya untuk mengembangkan potensi para gitaris muda. Tak hanya di kota-kota besar, Intan juga kerap mengadakan even di kota-kota kecil.
“Sekali lagi, niat saya adalah mengedukasi anak-anak muda yang gemar gitar,” ujar ibu seorang anak itu.

Dari situlah timbul kedekatan antara para gitaris dan Intan. “Saya lebih banyak dikenal anggota komunitas gitar di daerah. Karena kalau bikin even saya selalu mengandeng anak-anak komunitas di daerah. Kalau belum ada komunitasnya, ya saya bikin dulu komunitasnya. Nekat nggak?” jelasnya lantas tertawa ngakak.

Hampir semua detail di lapangan dia tangani. Misalnya, ada gitaris yang akan tampil di event tiba-tiba tidak enak badan. Untuk itu, dia sendiri yang akan mencarikan obat hingga si gitaris sembuh. Intan juga tak segan-segan membangunkan si artis agar tidak ketinggalan pesawat. Bahkan, menyiapkan makanan kesukaan artis gitarnya.

“Saya benar-benar kayak ibu. Makanya, saya lalu dijuluki ibunya para gitaris. Saya nggak tahu siapa yang memunculkan (julukan) itu,” ujarnya.
Setelah sukses mengembangkan berbagai bisnis gitar, Intan masih sempat menulis dua buku tentang gitar. Yakni, Bermain dengan Uang (2011) dan Pengusah Rock n Roll (2012). Kedua buku tersebut sama-sama diawali dengan komentar puluhan gitaris top yang mengucapkan kekaguman atas kerja keras dan keteguhan Intan dalam mengembangkan dunia gitar.

Intan berharap bukunya menginspirasi orang menjadi pengusaha nekat, tapi konsekuen dan konsisten. Sikap pengusaha seperti itu dia sebut sikap pengusaha rock n roll. Tokoh-tokoh hebat berjiwa rock n roll itu adalah Wali Kota Solo Jokowi dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

“Kedua tokoh itu menginspirasi saya dalam banyak hal. Membuat saya bisa mengambil banyak langkah yang cukup berani,” tandas Intan sambil menitipkan dua bukunya untuk diserahkan kepada Dahlan Iskan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/