31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Memilih Terisolasi di RS, Hanya Makan Nasi dan Kecap Asin

Rita, Perawat yang Diapresiasi Pemerintah Jepang karena Tangani Korban Gempa-Tsunami

Ketika gempa dan tsunami terjadi di Miyagi, Jepang, 11 Maret lalu, banyak WNI di sana yang berbondong-bondong pulang ke tanah air. Tapi, hal itu tak dilakukan Rita Retnaningtyas.

PRATONO, Semarang

Perawat asal Semarang tersebut lebih memilih merawat pasien yang menjadi tanggung jawabnya meski Miyagi porak-poranda. Pemerintah Jepang pun memuji dia.

Petang itu, Jumat (11/3) sekitar pukul 14.46 waktu Miyagi Jepang, Rita sedang bersantai di apartemennya. Sudah sejak 13 November 2009 perempuan 35 tahun tersebut berada di Miyagi untuk menjadi perawat di Miyagi National Hospital.

Rita merupakan salah seorang perawat dari Indonesia yang dikirim Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melalui program kerja sama antar pemerintah RI dan Jepang.

Peristiwa yang terjadi saat itu pasti tidak akan hilang dalam ingatan perempuan kelahiran Semarang, 15 September 1975, tersebut. Ketika sedang bersantai itu, tiba-tiba dia merasakan guncangan yang hebat. Ternyata, gempa melanda wilayah Miyagi.

Pemerintah Jepang mencatat, gempa tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter, hampir sama dengan kekuatan gempa yang meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004. Apalagi gempa di Prefektur Miyagi tersebut disusul tsunami yang langsung menggenangi daerah itu.
Apartemen yang ditinggali Rita selamat dari kerusakan karena gempa maupun terjangan air bah tsunami. Saat tsunami menerjang, dari apartemennya, Rita bisa menyaksikan air bah menghantam dan menyeret berbagai benda maupun manusia.

Seketika Rita dan temannya yang bernama Yantri, asal Cirebon, Jawa Barat, teringat kepada para pasien yang menjadi tanggung jawabanya di rumah sakit. “Saya langsung teringat bahwa saya punya pasien yang dirawat di lantai tiga. Karena itu, saya putuskan untuk segera ke rumah sakit,” ungkap Rita menceritakan kembali pengalamannya seusai mendapat penghargaan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah dan dari direktur utama Rumah Sakit Telogorejo Semarang, tempat dirinya bekerja, kemarin (25/3).

Rita dan Yantri langsung bergegas ke rumah sakit tempat mereka bertugas. Untuk menuju rumah sakit, mereka berjalan kaki sekitar 5 menit. Sempat ada perasaan takut setelah melihat kerusakan karena tsunami itu. Namun, tanggung jawab terhadap profesi membuat mereka mengabaikan ketakutan tersebut. Rita teringat kepada pasien-pasiennya yang rata-rata berpenyakit parah seperti kanker dan parkinson.

Setiba di rumah sakit tempatnya bertugas, Rita masih merasakan gempa susulan dengan kekuatan 5?6 skala Richter. Meski demikian, Rita dan perawat-perawat lain tetap bersemangat bertugas. “Saya salut kepada perawat-perawat di Jepang. Mereka sangat bertanggung jawab pada profesinya. Meski banyak keluarganya yang ikut kena musibah, mereka tetap menjalankan profesi sebagai tenaga kesehatan,” ujar istri Bambang Wagiman tersebut.
Hal itulah yang memantapkan hati Rita untuk tidak tergoda pulang ke tanah air, melainkan ikut bertahan di Miyagi merawat para korban bencana. Apalagi keluarganya yang tinggal di Jalan Potrosari Nomor 10, RT 05, RW 02, Kelurahan Srondol Kulon, Kecamatan Banyumanik, juga membesarkan hatinya untuk bertahan di Miyagi. Beberapa jam setelah tsunami, dia masih bisa menghubungi keluarganya.

“Suami juga mendukung secara moral, sehingga saya mampu bertahan. Dia meminta agar saya selalu berdoa. Coba kalau suami saya waktu itu menyuruh saya segera pulang, tentu saya ingin pulang saja,” ungkap Rita. Malamnya, komunikasi terputus total. Dia baru berhasil menghubungi kembali keluarganya seminggu kemudian.
Selain tanggung jawab profesi, kondisi di Miyagi memang tidak memungkinkan untuk evakuasi. Akses menuju prefektur itu benar-benar terputus. Dalam kondisi normal, akses transportasi darat yang tersedia adalah kereta. Tapi, pascatsunami, jalur kereta telah terendam air. Satu-satunya jalan yang bisa ditembus hanya melalui udara dengan helikopter.

Karena masih dalam kondisi tanggap darurat, Rita dan perawat-perawat lainnya tidak pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di rumah sakit. Meski juga menjadi korban gempa dan tsunami, dirinya tetap bersemangat merawat para korban yang rata-rata menderita luka patah tulang dan dehidrasi.

“Agar mudah menjaga pasien, kami tetap menginap di rumah sakit. Sebab, masih sering ada gempa susulan yang cukup besar sehingga pasien perlu ditenangkan,” tuturnya.

Selain harus merawat para korban, masalah yang juga dihadapi adalah menipisnya bahan makanan karena Miyagi telah terisolasi. Yang bisa dinikmati hanyalah onigiri atau nasi yang dipadatkan dan dilumuri kecap asin. Itu pun tidak bisa dinikmati tiga kali sehari. “Kadang kalau siang makan, malamnya tidak makan. Jadi, kadang kelaparan karena stok makanan memang habis,” jelas ibu Septiawan Putra Kesuma Aji, 12, dan Abian Haikal Caesario, 7, tersebut.

Bahan makanan di toko-toko Miyagi benar-benar habis diborong penduduk. Yang patut dikagumi pada penduduk Jepang, kata Rita, meski mereka menjadi korban bencana, tak ada penjarahan. Semua warga yang ingin membeli kebutuhan tetap membayar di toko-toko yang masih buka. Selain itu, mereka tetap antre secara rapi.
Setelah tsunami berlalu, bahaya lain yang mengancam adalah radiasi nuklir karena bocornya pembangkit tenaga nuklir di wilayah tersebut. Beruntung, lokasi rumah sakit tempat Rita bertugas berjarak sekitar 60 kilometer dari reaktor. Pemerintah Jepang mengumumkan, radius 30 kilometer dari reaktor yang bocor harus dikosongkan dan penduduk di radius 50 kilometer diimbau untuk membatasi keluar rumah.

Selasa, 22 Maret 2011, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri secara terbuka memberikan apresiasi atas kerja keras Rita selama bencana. Menurut dia, Rita memilih bertahan di lokasi bencana untuk merawat para korban. Hal itu diucapkan Kojiro dalam sebuah acara di Jakarta.

Meski demikian, Rita meminta hal tersebut tidak dibesar-besarkan. Dia menilai, itu merupakan hal yang biasa dilakukan masyarakat Jepang ketika mendapat bantuan, meski sekecil apa pun. “Kebaikan sekecil apa pun, pasti masyarakat Jepang akan mengucapkan arigato. Jadi, hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saya di sana juga bersama perawat-perawat lain. Mereka juga berjasa,” tuturnya merendah.

Dia menyatakan bingung ketika diberi tahu bahwa pemerintah Jepang memberikan penghargaan untuk dirinya. Sebab, memang tak ada penghargaan khusus yang diserahkan kepada dirinya. Karena itulah, dia menilai, apresiasi yang diucapkan Kojiro merupakan tradisi masyarakat Jepang yang ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang pernah menolong.

Jumat pagi (25/3) Rita kembali ke Semarang. Miyagi National Hospital memberikan waktu libur selama sebulan kepada Rita agar bisa menenangkan diri. Acara yang pertama dia hadiri begitu sampai di Semarang adalah mengikuti seminar keperawatan yang diadakan RS Telogorejo.

Dalam acara tersebut, Rita mendapat penghargaan dari Ketua PPNI Jateng Edy Nuryanto dan Direktur Utama RS Telogorejo Imelda Tandiyo. Suasana haru terlihat ketika rekan-rekannya di RS Telogorejo memeluk dan memberikan ucapan selamat.

Rencananya, Rita kembali ke Jepang pada April mendatang. Namun, tanggalnya belum dipastikan. “Saat ini saya hendak memenangkan diri dulu dari trauma. Waktu sebulan, tampaknya, masih kurang untuk bersama keluarga. Tapi, saya nanti harus kembali untuk menyelesaikan kontrak di Jepang,” ujarnya. (jpnn/c5/kum)

Rita, Perawat yang Diapresiasi Pemerintah Jepang karena Tangani Korban Gempa-Tsunami

Ketika gempa dan tsunami terjadi di Miyagi, Jepang, 11 Maret lalu, banyak WNI di sana yang berbondong-bondong pulang ke tanah air. Tapi, hal itu tak dilakukan Rita Retnaningtyas.

PRATONO, Semarang

Perawat asal Semarang tersebut lebih memilih merawat pasien yang menjadi tanggung jawabnya meski Miyagi porak-poranda. Pemerintah Jepang pun memuji dia.

Petang itu, Jumat (11/3) sekitar pukul 14.46 waktu Miyagi Jepang, Rita sedang bersantai di apartemennya. Sudah sejak 13 November 2009 perempuan 35 tahun tersebut berada di Miyagi untuk menjadi perawat di Miyagi National Hospital.

Rita merupakan salah seorang perawat dari Indonesia yang dikirim Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melalui program kerja sama antar pemerintah RI dan Jepang.

Peristiwa yang terjadi saat itu pasti tidak akan hilang dalam ingatan perempuan kelahiran Semarang, 15 September 1975, tersebut. Ketika sedang bersantai itu, tiba-tiba dia merasakan guncangan yang hebat. Ternyata, gempa melanda wilayah Miyagi.

Pemerintah Jepang mencatat, gempa tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter, hampir sama dengan kekuatan gempa yang meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004. Apalagi gempa di Prefektur Miyagi tersebut disusul tsunami yang langsung menggenangi daerah itu.
Apartemen yang ditinggali Rita selamat dari kerusakan karena gempa maupun terjangan air bah tsunami. Saat tsunami menerjang, dari apartemennya, Rita bisa menyaksikan air bah menghantam dan menyeret berbagai benda maupun manusia.

Seketika Rita dan temannya yang bernama Yantri, asal Cirebon, Jawa Barat, teringat kepada para pasien yang menjadi tanggung jawabanya di rumah sakit. “Saya langsung teringat bahwa saya punya pasien yang dirawat di lantai tiga. Karena itu, saya putuskan untuk segera ke rumah sakit,” ungkap Rita menceritakan kembali pengalamannya seusai mendapat penghargaan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah dan dari direktur utama Rumah Sakit Telogorejo Semarang, tempat dirinya bekerja, kemarin (25/3).

Rita dan Yantri langsung bergegas ke rumah sakit tempat mereka bertugas. Untuk menuju rumah sakit, mereka berjalan kaki sekitar 5 menit. Sempat ada perasaan takut setelah melihat kerusakan karena tsunami itu. Namun, tanggung jawab terhadap profesi membuat mereka mengabaikan ketakutan tersebut. Rita teringat kepada pasien-pasiennya yang rata-rata berpenyakit parah seperti kanker dan parkinson.

Setiba di rumah sakit tempatnya bertugas, Rita masih merasakan gempa susulan dengan kekuatan 5?6 skala Richter. Meski demikian, Rita dan perawat-perawat lain tetap bersemangat bertugas. “Saya salut kepada perawat-perawat di Jepang. Mereka sangat bertanggung jawab pada profesinya. Meski banyak keluarganya yang ikut kena musibah, mereka tetap menjalankan profesi sebagai tenaga kesehatan,” ujar istri Bambang Wagiman tersebut.
Hal itulah yang memantapkan hati Rita untuk tidak tergoda pulang ke tanah air, melainkan ikut bertahan di Miyagi merawat para korban bencana. Apalagi keluarganya yang tinggal di Jalan Potrosari Nomor 10, RT 05, RW 02, Kelurahan Srondol Kulon, Kecamatan Banyumanik, juga membesarkan hatinya untuk bertahan di Miyagi. Beberapa jam setelah tsunami, dia masih bisa menghubungi keluarganya.

“Suami juga mendukung secara moral, sehingga saya mampu bertahan. Dia meminta agar saya selalu berdoa. Coba kalau suami saya waktu itu menyuruh saya segera pulang, tentu saya ingin pulang saja,” ungkap Rita. Malamnya, komunikasi terputus total. Dia baru berhasil menghubungi kembali keluarganya seminggu kemudian.
Selain tanggung jawab profesi, kondisi di Miyagi memang tidak memungkinkan untuk evakuasi. Akses menuju prefektur itu benar-benar terputus. Dalam kondisi normal, akses transportasi darat yang tersedia adalah kereta. Tapi, pascatsunami, jalur kereta telah terendam air. Satu-satunya jalan yang bisa ditembus hanya melalui udara dengan helikopter.

Karena masih dalam kondisi tanggap darurat, Rita dan perawat-perawat lainnya tidak pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di rumah sakit. Meski juga menjadi korban gempa dan tsunami, dirinya tetap bersemangat merawat para korban yang rata-rata menderita luka patah tulang dan dehidrasi.

“Agar mudah menjaga pasien, kami tetap menginap di rumah sakit. Sebab, masih sering ada gempa susulan yang cukup besar sehingga pasien perlu ditenangkan,” tuturnya.

Selain harus merawat para korban, masalah yang juga dihadapi adalah menipisnya bahan makanan karena Miyagi telah terisolasi. Yang bisa dinikmati hanyalah onigiri atau nasi yang dipadatkan dan dilumuri kecap asin. Itu pun tidak bisa dinikmati tiga kali sehari. “Kadang kalau siang makan, malamnya tidak makan. Jadi, kadang kelaparan karena stok makanan memang habis,” jelas ibu Septiawan Putra Kesuma Aji, 12, dan Abian Haikal Caesario, 7, tersebut.

Bahan makanan di toko-toko Miyagi benar-benar habis diborong penduduk. Yang patut dikagumi pada penduduk Jepang, kata Rita, meski mereka menjadi korban bencana, tak ada penjarahan. Semua warga yang ingin membeli kebutuhan tetap membayar di toko-toko yang masih buka. Selain itu, mereka tetap antre secara rapi.
Setelah tsunami berlalu, bahaya lain yang mengancam adalah radiasi nuklir karena bocornya pembangkit tenaga nuklir di wilayah tersebut. Beruntung, lokasi rumah sakit tempat Rita bertugas berjarak sekitar 60 kilometer dari reaktor. Pemerintah Jepang mengumumkan, radius 30 kilometer dari reaktor yang bocor harus dikosongkan dan penduduk di radius 50 kilometer diimbau untuk membatasi keluar rumah.

Selasa, 22 Maret 2011, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri secara terbuka memberikan apresiasi atas kerja keras Rita selama bencana. Menurut dia, Rita memilih bertahan di lokasi bencana untuk merawat para korban. Hal itu diucapkan Kojiro dalam sebuah acara di Jakarta.

Meski demikian, Rita meminta hal tersebut tidak dibesar-besarkan. Dia menilai, itu merupakan hal yang biasa dilakukan masyarakat Jepang ketika mendapat bantuan, meski sekecil apa pun. “Kebaikan sekecil apa pun, pasti masyarakat Jepang akan mengucapkan arigato. Jadi, hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saya di sana juga bersama perawat-perawat lain. Mereka juga berjasa,” tuturnya merendah.

Dia menyatakan bingung ketika diberi tahu bahwa pemerintah Jepang memberikan penghargaan untuk dirinya. Sebab, memang tak ada penghargaan khusus yang diserahkan kepada dirinya. Karena itulah, dia menilai, apresiasi yang diucapkan Kojiro merupakan tradisi masyarakat Jepang yang ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang pernah menolong.

Jumat pagi (25/3) Rita kembali ke Semarang. Miyagi National Hospital memberikan waktu libur selama sebulan kepada Rita agar bisa menenangkan diri. Acara yang pertama dia hadiri begitu sampai di Semarang adalah mengikuti seminar keperawatan yang diadakan RS Telogorejo.

Dalam acara tersebut, Rita mendapat penghargaan dari Ketua PPNI Jateng Edy Nuryanto dan Direktur Utama RS Telogorejo Imelda Tandiyo. Suasana haru terlihat ketika rekan-rekannya di RS Telogorejo memeluk dan memberikan ucapan selamat.

Rencananya, Rita kembali ke Jepang pada April mendatang. Namun, tanggalnya belum dipastikan. “Saat ini saya hendak memenangkan diri dulu dari trauma. Waktu sebulan, tampaknya, masih kurang untuk bersama keluarga. Tapi, saya nanti harus kembali untuk menyelesaikan kontrak di Jepang,” ujarnya. (jpnn/c5/kum)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/