27 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Orang Kaya Beli BBM Subsidi, Dosa!

MUI Keluarkan Fatwa BBM

JAKARTA-Pemerintah sepertinya mulai ‘putus asa’ dalam mengatasi masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. Setelah berbagai cara tidak efektif, kali ini sosialisasi gerakan hemat energi dan subsidi untuk masyarakat kurang mampu akan dilakukan secara masif.

Itu merupakan hasil pertemuan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Pusat KH Makruf Amien mengatakan, saat ini, MUI tengah memfinalkan fatwa tentang hemat energi, termasuk ketentuan bahwa masyarakat yang mampu/kaya, tidak boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi.

“Ini terkait dengan hak. BBM bersubsidi adalah haknya orang yang tidak mampu. Jadi, jika ada orang yang mampu atau kaya, tapi tetap membeli BBM bersubsidi, maka hukumnya dosa, karena dia mengambil hak orang yang tidak mampu,’ ujarnya usai pertemuan di Kantor Kementerian ESDM kemarin (27/6).
Menurut Makruf, substansi BBM bersubsidi adalah diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. Adapun bagi masyarakat yang mampu, maka pemerintah sudah menyediakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax. ‘Untuk itu, kami akan segera melakukan sosialisasi soal ini,’ katanya.

Menteri ESDM Darwin Z Saleh menambahkan, berdasar keputusan pemerintah dan DPR, subsidi memang hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. “Nah, untuk mengetahui apakah kita termasuk golongan yang mampu sehingga tidak dibenarkan membeli BBM bersubsidi, tanyakan pada diri masing-masing. Ini butuh kejujuran,” ujarnya.

Darwin menyebut, jika seseorang sudah bisa membeli mobil, maka orang tersebut lebih pantas digolongkan sebagai orang yang mampu. ‘Lalu, jika beralasan, sekarang harga Pertamax mahal, maka ya batasilah penggunaannya, jangan boros-boros,’ katanya. Pertemuan antara Kementerian ESDM dan MUI kemarin merupakan tindak lanjut dari Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang salah satu tema bahasannya adalah pemuliaan energi dan sumber daya alam.

Karena itu, lanjut Makruf, MUI ingin meminta masukan dari Kementerian ESDM terkait sektor energi, termasuk lingkungan dan kehutanan. ‘Jadi, soal BBM bersubsidi itu hanya salah satu hal, “selain masih ada banyak lagi,’ ujarnya. Makruf menyebut, poin lain yang juga menjadi perhatian MUI adalah kewajiban hemat energi, contohnya dalam penggunaan listrik. “Misalnya, jangan sampai karena dia mampu bayar, maka dia gunakan listrik berlebihan, tanpa batas, sehingga membuat jatah listrik untuk orang lain kurang. Kemudian tentang mencuri listrik, itu juga haram,” terangnya.

Darwin menyebut, saat ini, rasio elektrifikasi di Indonesia baru sekitar 67,7 persen. Artinya, masih ada 32,3 persen rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati aliran listrik. Karena itu, masyarakat yang saat ini sudah menikmati listrik, harus berhemat. “Dengan begitu, subsidi bisa ditekan dan pemerintah punya dana untuk membangun infrastruktur listrik agar makin banyak masyarakat yang bisa menikmati listrik,” katanya.

Lalu, kapan fatwa tentang hemat energi, BBM bersubsidi, dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) ‘akan dikeluarkan’ Menurut Makruf, saat ini draft-nya sudah selesai disusun. “Tinggal dilengkapi sedikit-sedikit, secepatnya akan kami keluarkan,” ujarnya. Sebagai langkah awal, lanjut Makruf, MUI mengajak jajaran Kementerian ESDM untuk bersama-sama tokoh masyarakat dan pemimpin agama, untuk mensosialisasikan bimbingan serta nasehat moral tentang pentingnya hemat energi. “Sosialisasi ini akan dilakukan melalui Masjid, Pesantren, Majelis Taklim, serta lembaga pendidikan secara nasional,” sebutnya.

Beberapa program aksi nyata yang akan dilakukan MUI di antaranya adalah Program Gerakan Nasional Eco Masjid dan Eco Pesantren, serta pilot project pengembangan energi terbarukan di pesantren dan pedesaan. Ditanya apakah fatwa MUI tentang BBM bersubsidi, hemat energi, dan pengelolaan SDA akan efektif, Makruf mengaku optimistis. Menurut dia, fatwa MUI masih sangat efektif di kalangan umat Islam. “Kan masih sering kita dengar masyarakat bertanya, apa fatwa MUI tentang hal ini, hal itu. Itu artinya, masyarakat masih memandang fatwa MUI sebagai pedoman,” ujarnya.

Pemerintah berharap, Fatwa MUI ini bisa menjadi angin segar dalam gerakan penghematan energi dan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya, khusus untuk pengaturan BBM bersubsidi, pemerintah seperti kehabisan akal karena berbagai cara yang diterapkan tak membuahkan hasil.

Misalnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) sudah melakukan berbagai sosialisasi bahwa BBM bersubsidi hanya untuk masyarakat yang tidak mampu. Pertamina pun sudah menyebar berbagai spanduk di SPBU-nya, yang isinya “BBM Bersubsidi Hanya Untuk Masyarakat Tidak Mampu” serta beberapa seruan lain.

Bahkan, sejak awal tahun ini, Menteri ESDM Darwin Z. Saleh terlihat sering nongol di televisi untuk mengkampanyekan bahwa BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, adapun para pemilik mobil, diminta menggunakan BBM nonsubsidi. Namun, tetap saja, hampir di semua SPBU, antrian mobil tetap berjajar membeli Premium.

Data Ditjen Migas Kementerian ESDM menunjukkan, hingga akhir Mei 2011, konsumsi Premium mencapai 66,06 ribu KL per hari atau 3,9 persen di atas kuota 63,54 ribu KL per hari. Adapun konsumsi solar sebesar 37,75 ribu KL per hari, atau 5,3 persen di atas kuota 35,85 ribu KL.

Sampai saat ini, pemerintah memang baru bisa melakukan langkah persuasif dengan menebar himbauan agar masyarakat mampu tidak mengonsumsi BBM bersubsidi. Sebenarnya, pemerintah juga punya rencana untuk menerbitkan aturan yang sifatnya memaksa pemilik mobil untuk tidak mengonsumsi BBM bersubsidi. Misalnya, dengan skema Smart Card ada Radio Frequency Indentification (RFId) pada kendaraan pribadi, namun hingga kini cara itu belum terlaksana.

Sementara itu, pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo menilai langkah pemerintah itu tidak smart. Menurut dia, MUI akan kehilangan kredibilitas kalau mengikuti langkah tersebut. “Karena penentuan berdosa atau tidak, halal atau haram, itu sudah ada kaidah syariah dan fiqih tersendiri. Tidak bisa sembarangan mengikuti keinginan pemerintah (umaroh),” tutur Dradjad.

Dradjad mengatakan pernyataan MUI yang menyatakan berdosa jika orang kaya menggunakan BBM bersubsidi belum tentu diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. “Fatwa bunga bank haram yang lebih jelas dasar syariahnya saja banyak diabaikan. Apalagi soal konsumsi BBM. Selain itu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang memeluk agama lain” Apakah mereka bebas memakai BBM bersubsidi?” kata Dradjad. (owi/iro/jpnn)

MUI Keluarkan Fatwa BBM

JAKARTA-Pemerintah sepertinya mulai ‘putus asa’ dalam mengatasi masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. Setelah berbagai cara tidak efektif, kali ini sosialisasi gerakan hemat energi dan subsidi untuk masyarakat kurang mampu akan dilakukan secara masif.

Itu merupakan hasil pertemuan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Pusat KH Makruf Amien mengatakan, saat ini, MUI tengah memfinalkan fatwa tentang hemat energi, termasuk ketentuan bahwa masyarakat yang mampu/kaya, tidak boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi.

“Ini terkait dengan hak. BBM bersubsidi adalah haknya orang yang tidak mampu. Jadi, jika ada orang yang mampu atau kaya, tapi tetap membeli BBM bersubsidi, maka hukumnya dosa, karena dia mengambil hak orang yang tidak mampu,’ ujarnya usai pertemuan di Kantor Kementerian ESDM kemarin (27/6).
Menurut Makruf, substansi BBM bersubsidi adalah diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. Adapun bagi masyarakat yang mampu, maka pemerintah sudah menyediakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax. ‘Untuk itu, kami akan segera melakukan sosialisasi soal ini,’ katanya.

Menteri ESDM Darwin Z Saleh menambahkan, berdasar keputusan pemerintah dan DPR, subsidi memang hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. “Nah, untuk mengetahui apakah kita termasuk golongan yang mampu sehingga tidak dibenarkan membeli BBM bersubsidi, tanyakan pada diri masing-masing. Ini butuh kejujuran,” ujarnya.

Darwin menyebut, jika seseorang sudah bisa membeli mobil, maka orang tersebut lebih pantas digolongkan sebagai orang yang mampu. ‘Lalu, jika beralasan, sekarang harga Pertamax mahal, maka ya batasilah penggunaannya, jangan boros-boros,’ katanya. Pertemuan antara Kementerian ESDM dan MUI kemarin merupakan tindak lanjut dari Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang salah satu tema bahasannya adalah pemuliaan energi dan sumber daya alam.

Karena itu, lanjut Makruf, MUI ingin meminta masukan dari Kementerian ESDM terkait sektor energi, termasuk lingkungan dan kehutanan. ‘Jadi, soal BBM bersubsidi itu hanya salah satu hal, “selain masih ada banyak lagi,’ ujarnya. Makruf menyebut, poin lain yang juga menjadi perhatian MUI adalah kewajiban hemat energi, contohnya dalam penggunaan listrik. “Misalnya, jangan sampai karena dia mampu bayar, maka dia gunakan listrik berlebihan, tanpa batas, sehingga membuat jatah listrik untuk orang lain kurang. Kemudian tentang mencuri listrik, itu juga haram,” terangnya.

Darwin menyebut, saat ini, rasio elektrifikasi di Indonesia baru sekitar 67,7 persen. Artinya, masih ada 32,3 persen rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati aliran listrik. Karena itu, masyarakat yang saat ini sudah menikmati listrik, harus berhemat. “Dengan begitu, subsidi bisa ditekan dan pemerintah punya dana untuk membangun infrastruktur listrik agar makin banyak masyarakat yang bisa menikmati listrik,” katanya.

Lalu, kapan fatwa tentang hemat energi, BBM bersubsidi, dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) ‘akan dikeluarkan’ Menurut Makruf, saat ini draft-nya sudah selesai disusun. “Tinggal dilengkapi sedikit-sedikit, secepatnya akan kami keluarkan,” ujarnya. Sebagai langkah awal, lanjut Makruf, MUI mengajak jajaran Kementerian ESDM untuk bersama-sama tokoh masyarakat dan pemimpin agama, untuk mensosialisasikan bimbingan serta nasehat moral tentang pentingnya hemat energi. “Sosialisasi ini akan dilakukan melalui Masjid, Pesantren, Majelis Taklim, serta lembaga pendidikan secara nasional,” sebutnya.

Beberapa program aksi nyata yang akan dilakukan MUI di antaranya adalah Program Gerakan Nasional Eco Masjid dan Eco Pesantren, serta pilot project pengembangan energi terbarukan di pesantren dan pedesaan. Ditanya apakah fatwa MUI tentang BBM bersubsidi, hemat energi, dan pengelolaan SDA akan efektif, Makruf mengaku optimistis. Menurut dia, fatwa MUI masih sangat efektif di kalangan umat Islam. “Kan masih sering kita dengar masyarakat bertanya, apa fatwa MUI tentang hal ini, hal itu. Itu artinya, masyarakat masih memandang fatwa MUI sebagai pedoman,” ujarnya.

Pemerintah berharap, Fatwa MUI ini bisa menjadi angin segar dalam gerakan penghematan energi dan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya, khusus untuk pengaturan BBM bersubsidi, pemerintah seperti kehabisan akal karena berbagai cara yang diterapkan tak membuahkan hasil.

Misalnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) sudah melakukan berbagai sosialisasi bahwa BBM bersubsidi hanya untuk masyarakat yang tidak mampu. Pertamina pun sudah menyebar berbagai spanduk di SPBU-nya, yang isinya “BBM Bersubsidi Hanya Untuk Masyarakat Tidak Mampu” serta beberapa seruan lain.

Bahkan, sejak awal tahun ini, Menteri ESDM Darwin Z. Saleh terlihat sering nongol di televisi untuk mengkampanyekan bahwa BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, adapun para pemilik mobil, diminta menggunakan BBM nonsubsidi. Namun, tetap saja, hampir di semua SPBU, antrian mobil tetap berjajar membeli Premium.

Data Ditjen Migas Kementerian ESDM menunjukkan, hingga akhir Mei 2011, konsumsi Premium mencapai 66,06 ribu KL per hari atau 3,9 persen di atas kuota 63,54 ribu KL per hari. Adapun konsumsi solar sebesar 37,75 ribu KL per hari, atau 5,3 persen di atas kuota 35,85 ribu KL.

Sampai saat ini, pemerintah memang baru bisa melakukan langkah persuasif dengan menebar himbauan agar masyarakat mampu tidak mengonsumsi BBM bersubsidi. Sebenarnya, pemerintah juga punya rencana untuk menerbitkan aturan yang sifatnya memaksa pemilik mobil untuk tidak mengonsumsi BBM bersubsidi. Misalnya, dengan skema Smart Card ada Radio Frequency Indentification (RFId) pada kendaraan pribadi, namun hingga kini cara itu belum terlaksana.

Sementara itu, pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo menilai langkah pemerintah itu tidak smart. Menurut dia, MUI akan kehilangan kredibilitas kalau mengikuti langkah tersebut. “Karena penentuan berdosa atau tidak, halal atau haram, itu sudah ada kaidah syariah dan fiqih tersendiri. Tidak bisa sembarangan mengikuti keinginan pemerintah (umaroh),” tutur Dradjad.

Dradjad mengatakan pernyataan MUI yang menyatakan berdosa jika orang kaya menggunakan BBM bersubsidi belum tentu diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. “Fatwa bunga bank haram yang lebih jelas dasar syariahnya saja banyak diabaikan. Apalagi soal konsumsi BBM. Selain itu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang memeluk agama lain” Apakah mereka bebas memakai BBM bersubsidi?” kata Dradjad. (owi/iro/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/