25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Aceh Saksi Pengakuan Negara atas Pelanggaran HAM Berat, Jokowi: Penyelesaian Butuh Waktu Panjang

ACEH, SUMUTPOS.CO – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat menjadi momok besar bagi keluarga maupun keluarganya. Untuk itu pemerintah meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial HAM berat.

Suryo Hartono dan Sudaryanto Priyono merupakan dua orang korban pelanggaran HAM berat. Keduanya merupakan mahasiswa Indonesia yang pada 1965 belajar ke Ceko dan Rusia. Keduanya tidak bisa kembali pulang karena paspornya dicabut.

Keduanya kemarin bercerita Kepala Presiden Joko Widodo saat dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Suryo bercerita bahwa pada tahun 1965, dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Kemudian terjadi peristiwa 30 September 1965.

Akibatnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana dicabut. “Saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko waktu itu dicabut semua (paspornya) karena tidak mau, kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru,” cerita Suryo.

Sementara itu, Sudaryanto Priyono, bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia, kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia. “Karena saya tidak memenuhi syarat skrining yang salah satu poinnya harus mengutuk Bung Karno,” katanya. Seminggu setelah kejadian ini dia mendapat surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan.

Atas peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat, mendapat apresiasi dari korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM berat. Salah satunya Saburan. Dia adalah keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat di Jambo Keupok yang terjadi pada 17 Mei 2003 lalu. “Pak Presiden yang telah mengakui kasus yang kami alami itu sebagai pelanggaran HAM berat. Yang kemudian, sebagaimana Bapak Jokowi menyelesaikan dengan cara non-yudisial,” katanya. Saburan pun berharap agar program yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian non-yudisial tersebut dapat tepat sasaran dan diterima langsung oleh korban atau keluarga korban pelanggaran HAM berat.

“Pada hari ini kita berkumpul secara langsung maupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban,” ucap Presiden Joko Widodo dalam sambutannya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk menempuh penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang berfokus pada pemulihan hak-hak korban. Program ini mulai direalisasikan pada 12 peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM berat. Menurutnya ini menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tidak akan pernah terulang kembali.

Kepala Negara mengakui bahwa proses penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui proses yang lama dan sangat panjang. “Saya yakin tidak ada proses yang sia-sia, semoga awal dari proses yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada,” tuurnya. Jokowi menambahkan bahwa hal ini merupakan awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan dan menghormati HAM serta kemanusiaan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyampaikan alasan dipilihnya Provinsi Aceh sebagai awal dimulainya realisasi program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Menurut Mahfud, pemerintah dan rakyat Aceh turut berkontribusi dalam catatan sejarah Indonesia. Selain itu, kegiatan ini bentuk penghormatan negara terhadap proses perdamaian yang berlangsung di Aceh sekaligus penghormatan terhadap bencana kemanusiaan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu. “Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan,” ucap Mahfud.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kick off pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat secara non-yudisial di Aceh belum menjawab kepentingan pemenuhan hak korban. Sebaliknya, upaya tersebut dinilai mengaburkan perintah UU HAM dan UU Pengadilan HAM terhadap kerja-kerja Komnas HAM.

Ketua YLBHI M. Isnur mengatakan dalam dua UU tersebut dijelaskan bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan pro-justicia yang bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban. Yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum, pemulihan korban dan jaminan ketidakberulangan.

Isnur menyebut jika pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM adalah kebijakan yang melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Tidak terkecuali di Aceh. “Dugaan ini didukung dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran terkait pelaku-pelaku dari peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat,” ujarnya, kemarin.

Hal tersebut, kata Isnur, dikuatkan dengan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat. Penghancuran itu secara terang merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial. “Dalam hal ini (kebutuhan, Red) pengadilan HAM,” jelasnya. (lyn/tyo/jpg)

ACEH, SUMUTPOS.CO – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat menjadi momok besar bagi keluarga maupun keluarganya. Untuk itu pemerintah meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial HAM berat.

Suryo Hartono dan Sudaryanto Priyono merupakan dua orang korban pelanggaran HAM berat. Keduanya merupakan mahasiswa Indonesia yang pada 1965 belajar ke Ceko dan Rusia. Keduanya tidak bisa kembali pulang karena paspornya dicabut.

Keduanya kemarin bercerita Kepala Presiden Joko Widodo saat dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Suryo bercerita bahwa pada tahun 1965, dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Kemudian terjadi peristiwa 30 September 1965.

Akibatnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana dicabut. “Saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko waktu itu dicabut semua (paspornya) karena tidak mau, kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru,” cerita Suryo.

Sementara itu, Sudaryanto Priyono, bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia, kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia. “Karena saya tidak memenuhi syarat skrining yang salah satu poinnya harus mengutuk Bung Karno,” katanya. Seminggu setelah kejadian ini dia mendapat surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan.

Atas peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat, mendapat apresiasi dari korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM berat. Salah satunya Saburan. Dia adalah keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat di Jambo Keupok yang terjadi pada 17 Mei 2003 lalu. “Pak Presiden yang telah mengakui kasus yang kami alami itu sebagai pelanggaran HAM berat. Yang kemudian, sebagaimana Bapak Jokowi menyelesaikan dengan cara non-yudisial,” katanya. Saburan pun berharap agar program yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian non-yudisial tersebut dapat tepat sasaran dan diterima langsung oleh korban atau keluarga korban pelanggaran HAM berat.

“Pada hari ini kita berkumpul secara langsung maupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban,” ucap Presiden Joko Widodo dalam sambutannya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk menempuh penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang berfokus pada pemulihan hak-hak korban. Program ini mulai direalisasikan pada 12 peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM berat. Menurutnya ini menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tidak akan pernah terulang kembali.

Kepala Negara mengakui bahwa proses penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui proses yang lama dan sangat panjang. “Saya yakin tidak ada proses yang sia-sia, semoga awal dari proses yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada,” tuurnya. Jokowi menambahkan bahwa hal ini merupakan awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan dan menghormati HAM serta kemanusiaan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyampaikan alasan dipilihnya Provinsi Aceh sebagai awal dimulainya realisasi program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Menurut Mahfud, pemerintah dan rakyat Aceh turut berkontribusi dalam catatan sejarah Indonesia. Selain itu, kegiatan ini bentuk penghormatan negara terhadap proses perdamaian yang berlangsung di Aceh sekaligus penghormatan terhadap bencana kemanusiaan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu. “Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan,” ucap Mahfud.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kick off pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat secara non-yudisial di Aceh belum menjawab kepentingan pemenuhan hak korban. Sebaliknya, upaya tersebut dinilai mengaburkan perintah UU HAM dan UU Pengadilan HAM terhadap kerja-kerja Komnas HAM.

Ketua YLBHI M. Isnur mengatakan dalam dua UU tersebut dijelaskan bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan pro-justicia yang bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban. Yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum, pemulihan korban dan jaminan ketidakberulangan.

Isnur menyebut jika pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM adalah kebijakan yang melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Tidak terkecuali di Aceh. “Dugaan ini didukung dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran terkait pelaku-pelaku dari peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat,” ujarnya, kemarin.

Hal tersebut, kata Isnur, dikuatkan dengan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat. Penghancuran itu secara terang merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial. “Dalam hal ini (kebutuhan, Red) pengadilan HAM,” jelasnya. (lyn/tyo/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/