26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Sah, Harga PCR Turun Jadi Rp300 Ribu

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga tes Covid-19 dengan Real Time Polymerase Chain Reaction atau RT-PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu, akhirnya berlaku. Sejak kemarin, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan harga tes RT-PCR turun menjadi Rp275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali, dan Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa-Bali. Selain harga, Kemenkes juga mewajibkan agar semua hasil PCR di fasilitas kesehatan bisa keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam.

TES PCR: Petugas medis melakukan tes Covid-19 dengan metode RT-PCR. Mulai kemarin, pemerintah resmi menurunkan harga tes PCR Rp275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali, dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa-Bali.

DIRJEN Pelayanan Kesehatan, Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, hasil pemeriksaan PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut harus dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan real time PCR. Menurutnya turunnya harga PCR mempertimbangkan komponen yang dibutuhkan untuk tes PCR seperti reagen hingga alat habis pakai.

“Sudah melakukan audit secara transparan dan akuntabel, sekarang sudah terjadi penurunan harga alat bahan habis pakai, hazmat, dan sebagainya ini yang menyebabkan harga bisa diturunkan menjadi Rp 275 ribu,” kata Abdul Kadir dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/10).

Selain itu, bagi fasilitas kesehatan di kabupaten atau kota yang tidak mengikuti surat edaran terbaru tes PCR, akan dikenakan sanksi bila tak ada perbaikan. Peringatan pertama berupa pembinaan. Sanksi bisa diberikan seperti pencabutan izin dan visit operasional. “Sanksi bagi mereka yang tidak menerapkan ketentuan harga PCR terbaru dengan maksimal hasil 1×24 jam,” katanya.

Kadir juga memastikan, turunnya harga Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) tidak memengaruhi kualitas PCR. Karena penyedia fasilitas sudah berkomitmen menyanggupi melakukan pemeriksaan. “Ada 1000 laboratorium yang memiliki mesin PCR, Kemenkes sedang mengidentifikasi daerah mana yang belum ada mesin PCR dan kami dorong mesin reagen di daerah yang belum, “ tegasnya.

Kadir menuturkan, turunnya harga PCR sudah melalui audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang transparan dan akuntabilitas. Ia mengatakan, penurunan harga Swab RT PCR dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, penurunan harga bahan habis pakai seperti Cover All (Alat Pelindung Diri), harga reagen PCR dan RNA serta biaya overhead. “Kami bersama teman-teman dari BPKP sudah lakukan investigasi tentang ketersediaan bahan baku kemudian ketersediaan barang habis pakai,” ucap Kadir.

Dengan turunnya harga PCR , ia meminta agar semua fasilitas kesehatan, rumah sakit dan fasilitas lainnya dapat mematuhi batasan tertinggi tarif PCR tersebut. Selain itu, hasil RT PCR dengan tarif tersebut harus dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pemeriksaan swab real time PCR.

“Kami juga meminta ke Dinas Kesehatan baik di Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dasar tarif tertinggi ini. Nantinya, evaluasi PCR akan ditinjau berkala,” tandasnya.

Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Polhukam, BPKP, Iwan Taufiq Purwanto mengatakan, penurunan harga tes PCR dilakukan setelah Kementerian Kesehatan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) meninjau ulang harga acuan tes Covid-19 ini. “Kami telah mengevaluasi harga acuan RT-PCR saat ini,” katanya.

Iwan menyebut, pihaknya langsung menerima surat dari Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kemenkes, Abdul Kadir. Surat tersebut berisi permohonan peninjauan kembali atas tarif RT-PCR ini.

BPKP pun bergerak dan memperhatikan e-katalog sampai harga pasar saat ini. Ternyata, lembaga audit tersebut menemukan adanya potensi harga RT-PCR yang lebih rendah.

Lantaran, harga sejumlah bahan habis pakai pada pemeriksaan RT-PCR telah turun. “Penurunan harga misalnya seperti, Alat Pelindung Diri (APD), kemudian juga penurunan harga reagen PCR maupun RNA-nya, serta penurunan di biaya overhead,” kata Iwan.

Hasil telaah tersebut yang kemudian dilaporkan BPKP kepada Abdul Kadir. Sehingga pada konferensi pers yang sama, Abdul pun mengumumkan tarif tertinggi yang baru untuk pemeriksaan Covid-19 RT-PCR ini. “Evaluasi batas tertinggi pemeriksaan RT-PCR akan ditinjau ulang secara berkala, sesuai kebutuhan,” kata Abdul.

Masih Mahal

Meski telah diturunkan, namun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai harga tes PCR tersebut masih mahal. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban menilai, kebijakan penurunan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu masih terlalu berat. Sebab bagi sebagian masyarakat yang harus melakukan perjalanan tentu cukup berat merogoh uang untuk tes PCR apalagi jika dilakukan lebih dari satu orang. “Harga tes PCR jadi Rp300 ribu sepertinya masih berat bagi sebagian besar kalangan,” kata Zubairi dalam kicauannya yang sudah dikonfirmasi JawaPos.com, Rabu (27/10).

Pemerintah menerapkan aturan PCR di semua moda transportasi. Dia membayangkan jika sekeluarga berisikan 4-5 orang dan biaya yang dikeluarkan pasti akan besar. “Apalagi jika diterapkan di seluruh moda transportasi. Bayangkan kalau sekeluarga 4-5 orang,” jelasnya.

Ia meminta harga tes PCR bisa ditekan lagi dengan kekuatan pasar dan juga subsidi dari pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga tak akan memberatkan masyarakat. “Kekuatan pasar harus mendorong harga PCR terus turun, didukung pemerintah yang juga menerapkan subsidi,” jelas Prof Zubairi.

Dia pun mencontohkan ketika pada tahun 1987 lalu, yang di mana tarif pemeriksaan viral load untuk mengukur jumlah virus HIV di dalam darah amat mahal dengan harga kisaran Rp 1,7 juta.

Kemudian pemerintah mempunyai program subsidi tes tersebut, hingga akhirnya mengalami penurunan selama beberapa kali. Kemudian hal ini diyakininya bisa diterapkan terhadap tes PCR ini. “Saya masih ingat pada 1987. Ketika itu harga tes viral load (tes mengukur jumlah virus HIV dalam darah) amat mahal Rp1,7 juta. Kemudian turun beberapa kali, sampai akhirnya pemerintah punya program subsidi tes tersebut. Kalau tes viral load bisa, kemungkinan tes PCR juga bisa,” jelasnya.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay menilai, penurunan harga PCR tak menyelesaikan masalah yang ada. Sebab, menurut Saleh, biaya PCR masih membebani masyarakat, khususnya bagi pengguna transportasi udara.

“Permintaan menurunkan harga PCR itu dinilai tidak menyelesaikan masalah. Belakangan ini, tuntutannya kan menghapus persyaratan test PCR bagi penumpang pesawat. Nah, kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar test PCR-nya” kata dia.

Ketua Fraksi PAN DPR ini mengatakan, saat ini banyak tuntutan agar kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat dievaluasi karena dinilai tidak menjamin bahwa semua penumpang aman dan tidak tertular. Menurutnya, bisa saja, setelah dites di antara penumpang itu melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar. Akibatnya, bisa terinfeksi dan menularkan di dalam pesawat.

“Orang yang dites itu aman pada saat dites dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3×24 jam. Betul, test PCR ini bisa meningkatkan kehati-hatian. Tetapi, apakah itu bisa diandalkan secara total? Rasanya tidak. Apalagi, test yang sama tidak diberlakukan bagi penumpang angkutan lainnya,” ucapnya.

Sebagai alternatif, kata Saleh, terdapat beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah yakni menghapus kewajiban test PCR bagi penumpang pesawat. Aturan ini diyakini akan sangat bermanfaat untuk menaikkan jumlah penumpang pesawat yang belakangan sempat terpuruk.

Kedua, jika test PCR tetap diberlakukan, maka biayanya diharapkan dapat ditanggulangi pemerintah. Dengan begitu, lanjut Saleh, kebijakan tersebut tidak memberatkan siapa pun. Tentu ini tidak mudah karena itu perlu perhitungan yang cermat sehingga tidak membebani anggaran pemerintah.

Ketiga, Saleh mengatakan, memperpanjang masa berlaku hasil test PCR, kalau perlu masa berlakunya adalah 7 x 24 jam. Meskipun ini tetap membebani para penumpang, tetapi tidak terlalu berat sebab hasil test tersebut dapat dipergunakan untuk beberapa kali penerbangan.

“Dulu masa berlakunya bisa lebih dari seminggu. Kenapa sekarang semakin diperketat? Kalau kasusnya mereda, semestinya masa berlaku hasil PCR pun diperpanjang. Nanti kalau ada kenaikan lagi, bisa dipikirkan untuk memperketat lagi,” kata Saleh.

Kebijakan lainnya, Saleh menambahkan, kebijakan test PCR dapat diganti dengan test antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah. Para penumpang diyakini masih bisa menjangkaunya. “Tujuan testing kan untuk memastikan bahwa semua calon penumpang tidak terpapar. Nah, antigen ini juga bisa digunakan. Hanya saja, tingkat akurasinya sedikit lebih rendah. Banyak juga orang yang test antigen yang dinyatakan positif, lalu dikarantina dan diisolasi. Artinya, testing antigen tetap efektif untuk dipergunakan,” tutup Saleh. (jpc/cnn/bbs)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga tes Covid-19 dengan Real Time Polymerase Chain Reaction atau RT-PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu, akhirnya berlaku. Sejak kemarin, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan harga tes RT-PCR turun menjadi Rp275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali, dan Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa-Bali. Selain harga, Kemenkes juga mewajibkan agar semua hasil PCR di fasilitas kesehatan bisa keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam.

TES PCR: Petugas medis melakukan tes Covid-19 dengan metode RT-PCR. Mulai kemarin, pemerintah resmi menurunkan harga tes PCR Rp275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali, dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa-Bali.

DIRJEN Pelayanan Kesehatan, Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, hasil pemeriksaan PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut harus dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan real time PCR. Menurutnya turunnya harga PCR mempertimbangkan komponen yang dibutuhkan untuk tes PCR seperti reagen hingga alat habis pakai.

“Sudah melakukan audit secara transparan dan akuntabel, sekarang sudah terjadi penurunan harga alat bahan habis pakai, hazmat, dan sebagainya ini yang menyebabkan harga bisa diturunkan menjadi Rp 275 ribu,” kata Abdul Kadir dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/10).

Selain itu, bagi fasilitas kesehatan di kabupaten atau kota yang tidak mengikuti surat edaran terbaru tes PCR, akan dikenakan sanksi bila tak ada perbaikan. Peringatan pertama berupa pembinaan. Sanksi bisa diberikan seperti pencabutan izin dan visit operasional. “Sanksi bagi mereka yang tidak menerapkan ketentuan harga PCR terbaru dengan maksimal hasil 1×24 jam,” katanya.

Kadir juga memastikan, turunnya harga Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) tidak memengaruhi kualitas PCR. Karena penyedia fasilitas sudah berkomitmen menyanggupi melakukan pemeriksaan. “Ada 1000 laboratorium yang memiliki mesin PCR, Kemenkes sedang mengidentifikasi daerah mana yang belum ada mesin PCR dan kami dorong mesin reagen di daerah yang belum, “ tegasnya.

Kadir menuturkan, turunnya harga PCR sudah melalui audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang transparan dan akuntabilitas. Ia mengatakan, penurunan harga Swab RT PCR dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, penurunan harga bahan habis pakai seperti Cover All (Alat Pelindung Diri), harga reagen PCR dan RNA serta biaya overhead. “Kami bersama teman-teman dari BPKP sudah lakukan investigasi tentang ketersediaan bahan baku kemudian ketersediaan barang habis pakai,” ucap Kadir.

Dengan turunnya harga PCR , ia meminta agar semua fasilitas kesehatan, rumah sakit dan fasilitas lainnya dapat mematuhi batasan tertinggi tarif PCR tersebut. Selain itu, hasil RT PCR dengan tarif tersebut harus dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pemeriksaan swab real time PCR.

“Kami juga meminta ke Dinas Kesehatan baik di Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dasar tarif tertinggi ini. Nantinya, evaluasi PCR akan ditinjau berkala,” tandasnya.

Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Polhukam, BPKP, Iwan Taufiq Purwanto mengatakan, penurunan harga tes PCR dilakukan setelah Kementerian Kesehatan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) meninjau ulang harga acuan tes Covid-19 ini. “Kami telah mengevaluasi harga acuan RT-PCR saat ini,” katanya.

Iwan menyebut, pihaknya langsung menerima surat dari Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kemenkes, Abdul Kadir. Surat tersebut berisi permohonan peninjauan kembali atas tarif RT-PCR ini.

BPKP pun bergerak dan memperhatikan e-katalog sampai harga pasar saat ini. Ternyata, lembaga audit tersebut menemukan adanya potensi harga RT-PCR yang lebih rendah.

Lantaran, harga sejumlah bahan habis pakai pada pemeriksaan RT-PCR telah turun. “Penurunan harga misalnya seperti, Alat Pelindung Diri (APD), kemudian juga penurunan harga reagen PCR maupun RNA-nya, serta penurunan di biaya overhead,” kata Iwan.

Hasil telaah tersebut yang kemudian dilaporkan BPKP kepada Abdul Kadir. Sehingga pada konferensi pers yang sama, Abdul pun mengumumkan tarif tertinggi yang baru untuk pemeriksaan Covid-19 RT-PCR ini. “Evaluasi batas tertinggi pemeriksaan RT-PCR akan ditinjau ulang secara berkala, sesuai kebutuhan,” kata Abdul.

Masih Mahal

Meski telah diturunkan, namun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai harga tes PCR tersebut masih mahal. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban menilai, kebijakan penurunan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu masih terlalu berat. Sebab bagi sebagian masyarakat yang harus melakukan perjalanan tentu cukup berat merogoh uang untuk tes PCR apalagi jika dilakukan lebih dari satu orang. “Harga tes PCR jadi Rp300 ribu sepertinya masih berat bagi sebagian besar kalangan,” kata Zubairi dalam kicauannya yang sudah dikonfirmasi JawaPos.com, Rabu (27/10).

Pemerintah menerapkan aturan PCR di semua moda transportasi. Dia membayangkan jika sekeluarga berisikan 4-5 orang dan biaya yang dikeluarkan pasti akan besar. “Apalagi jika diterapkan di seluruh moda transportasi. Bayangkan kalau sekeluarga 4-5 orang,” jelasnya.

Ia meminta harga tes PCR bisa ditekan lagi dengan kekuatan pasar dan juga subsidi dari pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga tak akan memberatkan masyarakat. “Kekuatan pasar harus mendorong harga PCR terus turun, didukung pemerintah yang juga menerapkan subsidi,” jelas Prof Zubairi.

Dia pun mencontohkan ketika pada tahun 1987 lalu, yang di mana tarif pemeriksaan viral load untuk mengukur jumlah virus HIV di dalam darah amat mahal dengan harga kisaran Rp 1,7 juta.

Kemudian pemerintah mempunyai program subsidi tes tersebut, hingga akhirnya mengalami penurunan selama beberapa kali. Kemudian hal ini diyakininya bisa diterapkan terhadap tes PCR ini. “Saya masih ingat pada 1987. Ketika itu harga tes viral load (tes mengukur jumlah virus HIV dalam darah) amat mahal Rp1,7 juta. Kemudian turun beberapa kali, sampai akhirnya pemerintah punya program subsidi tes tersebut. Kalau tes viral load bisa, kemungkinan tes PCR juga bisa,” jelasnya.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay menilai, penurunan harga PCR tak menyelesaikan masalah yang ada. Sebab, menurut Saleh, biaya PCR masih membebani masyarakat, khususnya bagi pengguna transportasi udara.

“Permintaan menurunkan harga PCR itu dinilai tidak menyelesaikan masalah. Belakangan ini, tuntutannya kan menghapus persyaratan test PCR bagi penumpang pesawat. Nah, kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar test PCR-nya” kata dia.

Ketua Fraksi PAN DPR ini mengatakan, saat ini banyak tuntutan agar kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat dievaluasi karena dinilai tidak menjamin bahwa semua penumpang aman dan tidak tertular. Menurutnya, bisa saja, setelah dites di antara penumpang itu melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar. Akibatnya, bisa terinfeksi dan menularkan di dalam pesawat.

“Orang yang dites itu aman pada saat dites dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3×24 jam. Betul, test PCR ini bisa meningkatkan kehati-hatian. Tetapi, apakah itu bisa diandalkan secara total? Rasanya tidak. Apalagi, test yang sama tidak diberlakukan bagi penumpang angkutan lainnya,” ucapnya.

Sebagai alternatif, kata Saleh, terdapat beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah yakni menghapus kewajiban test PCR bagi penumpang pesawat. Aturan ini diyakini akan sangat bermanfaat untuk menaikkan jumlah penumpang pesawat yang belakangan sempat terpuruk.

Kedua, jika test PCR tetap diberlakukan, maka biayanya diharapkan dapat ditanggulangi pemerintah. Dengan begitu, lanjut Saleh, kebijakan tersebut tidak memberatkan siapa pun. Tentu ini tidak mudah karena itu perlu perhitungan yang cermat sehingga tidak membebani anggaran pemerintah.

Ketiga, Saleh mengatakan, memperpanjang masa berlaku hasil test PCR, kalau perlu masa berlakunya adalah 7 x 24 jam. Meskipun ini tetap membebani para penumpang, tetapi tidak terlalu berat sebab hasil test tersebut dapat dipergunakan untuk beberapa kali penerbangan.

“Dulu masa berlakunya bisa lebih dari seminggu. Kenapa sekarang semakin diperketat? Kalau kasusnya mereda, semestinya masa berlaku hasil PCR pun diperpanjang. Nanti kalau ada kenaikan lagi, bisa dipikirkan untuk memperketat lagi,” kata Saleh.

Kebijakan lainnya, Saleh menambahkan, kebijakan test PCR dapat diganti dengan test antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah. Para penumpang diyakini masih bisa menjangkaunya. “Tujuan testing kan untuk memastikan bahwa semua calon penumpang tidak terpapar. Nah, antigen ini juga bisa digunakan. Hanya saja, tingkat akurasinya sedikit lebih rendah. Banyak juga orang yang test antigen yang dinyatakan positif, lalu dikarantina dan diisolasi. Artinya, testing antigen tetap efektif untuk dipergunakan,” tutup Saleh. (jpc/cnn/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/