Tim Pemprovsu Dituding Salah Memetakan
JAKARTA-Mulai terkuak alasan mengapa Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum mau melepaskan sejumlah lahan eks HGU PTPN 2, yang kerap memicu konflik. Kementerian yang kini dipimpin Dahlan Iskan itu menilai, Tim Khusus Pemprovsu bentukan Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho tidak becus.
Kementerian BUMN menilai, pemetaan lahan yang dilakukan oleh tim tersebut yang melibatkan instansi lain seperti BPN Sumut, dianggap belum menyelesaikan masalah. Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani, secara khusus kepada Sumut Pos menjelaskan, pemetaan oleh Tim Khusus bentukan Gatot itu memasukkan sejumlah lahan yang nyata-nyata masih diduduki warga tapi diusulkan untuk diperpanjang HGU-nya untuk PTPN.
“Sementara, ada lahan yang masih ada pohon-pohonnya, yang masih ada tanaman produktifnya (milik PTPN2, Red), malah tak diusulkan untuk diperpanjang,” ujar Muhammad Zamkani, Senin (28/5).
Berapa luas lahan yang masih ada tanaman milik PTPN 2 tapi tak diusulkan diperpanjang HGU-nya itu? Zamkani mengaku lupa. Yang pasti, katanya, berapa pun luasnya, jajaran direksi PTPN 2 punya tanggung jawab untuk mengelola dan menyelamatkan aset itu.
Masalah makna pelepasan aset lahan itu sendiri, menurut Zamkani, juga belum ada persamaan persepsi. Menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis, tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik negara cq Pemda. Jika PTPN 2 sebagai pihak lama yang mengelolanya masih mau, maka HGU diperpanjang lagi untuk PTPN 2.
Namun Zamkani tidak memungkiri, jika sudah ada putusan pengadilan yang bersifat incrach yang memerintahkan lahan itu dilepaskan, maka Kementerian BUMN juga akan melepaskannya. “Tapi kewenangan izin pelepasan harus lewat RUPS. Kalau memang ada putusan pengadilan, apa boleh buat,” ujarnya.
115 Kasus Konflik Lahan PTPN 2
Dikatakan, masalah lahan ini semakin rumit, lantaran ada sebagian yang sudah dikuasai pihak ketiga. “Bahkan saya dengar ada yang sudah diperjualbelikan. Memang rumit kasus di sana (Sumut). Ada yang mengklaim itu tanah nenek-moyangnya, tanah adat, macem-macem lah,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, khusus di PTPN 2 saja, ada sekitar 115 kasus konflik lahan. “Hampir setiap minggu muncul konflik di sana. Memang harus kita hadapi. Kadang-kadang kita perlu sabar, mengajak diskusi, menyamakan persepsi. “Cuma ada yang memanfaatkan beda persepsi ini,” ujarnya, yang tak membantah banyak mafia tanah yang ikut bermain mencoba ambil keuntungan.
Kementerian BUMN terus mencari solusi, termasuk membuat list status lahan yang sudah diputus pengadilan dan yang masih berproses. “Jajaran direksi juga sudah menyiapkan solusinya, konsepnya. Tapi memang kita sangat hati-hati, karena ini juga menyangkut tanggung jawab kita menjaga aset,” imbuhnya.
Terpisah, Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Managam Manurung menyebutkan, masalah lahan di PTPN 2 itu sudah tak lagi menjadi ranah BPN untuk proses penyelesaiannya. BPN sudah memutuskan tidak lagi memperpanjang HGU untuk PTPN 2 di lahan-lahan yang bermasalah. “Berapa hektar itu, saya lupa,” tegas Managam, kemarin.
Selanjutnya, BPN menyarankan Pemprov Sumut dan Pemkab/Pemko terkait untuk menggunakan lahan eks HGU itu. “BPN minta supaya Pemda atur peruntukan sesuai tata ruang dan mengusulkan pelepasan aset. Selama belum dilepaskan, ya nggak bisa diapa-apain itu,” ujar Managam.
Muhammad Zamkani membenarkan bahwa pihaknya sudah menerima surat permintaan pelepasan aset. Tapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan aset, dengan alasan seperti yang sudah dijelaskan di atas. BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus. “PTPN 2 sendiri tidak masuk dalam tim itu,” ucapnya.
Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut, Rahmat Shah, mengingatkan aparat keamanan, Kementerian BUMN, BPN, PTPN 2, dan gubernur, untuk segera mengambil solusi yang komprehensif. Selama ini, menurutnya, penyelesaian-penyelesaian hanya bersifat sporadis, setiap kali muncul bentrok. Solusi yang permanen belum pernah muncul.
Rahmat juga menagih hasil kerja Tim Khusus bentukan Gatot yang bertugas pengukuran dan pemetaan areal lahan eks HGU PTPN 2. Tim Khusus ini dibentuk dengan SK Gubsu tertanggal 23 September 2011. Namun tim khusus ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya sehingga diperpanjang hingga bulan Mei 2012. “Ini sudah akhir Mei, tapi belum juga selesai,” ujar Rahmat.
Harus Tegas Laksanakan Kesepakatan
Maraknya aksi demo masyarakat petani terhadap tanah eks HGU PTPN 2 harus menjadi perhatian kalangan eksekutif. Jika tidak, maka dapat menjadi bumerang dan gangguan terhadap kondusifitas Sumut. “Plt Gubsu, BPN dan PTPN 2 harus tegas dan melaksanakan kesepakatan bersama Komite Tani Menggugat yang menghasilkan bahwa areal eks HGU PTPN 2 seluas 5.873,06 hektar sesuai SK Kepala BPN No 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan Nomor 10/HGU/BPN/2004 tidak akan dilakukan penerbitan sertifikat,” ungkap anggota Komisi A DPRD Sumut dari Fraksi PKS, Raudin Purba, kemarin.
Raudin Purba menyebutkan, salah satu kasus yang diikuti sampai saat ini adalah masalah tanah eks HGU PTPN 2 seluas 74 hektar di Pasar IV Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang. Di lahan itu telah berdiri perumahan. “Kepada Bupati Deliserdang segera meninjau kembali IMB yang telah dikeluarkan dan menghentikan pembangunan fisik yang saat ini berlangsung di tanah 74 hektar tersebut (di samping Graha Metropolitan Helvetia). Karena, bertentangan dengan peraturan dan perundangan. Seyogianya untuk mendapatkan izin membangun harus mempunyai alas hak berupa sertifikat ataupun surat tanah lainnya yang tidak sedang silang sengketa,” tegasnya.
Sementara itu anggota Komisi A DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat, Ahmad Ikhyar Hasibuan mengatakan, timbulnya gejolak pertanahan di Sumut khususnya eks HGU PTPN 2 karena tidak adanya ketegasan. Selain itu, adanya pembiaran oleh BPN Sumut dan PTPN 2. “Tidak adanya ketegasan membuat kelompok mafia tanah mempergunakan atau memanfaatkan masyarakat dengan bertamengkan hukum mempergunakan surat-surat yang diduga palsu untuk merampas tanah negara,” sebutnya.
Di sisi lain, di Jakarta anggota DPR Sukur Nababan mengatakan Pemda tidak bisa berpangku tangan soal sengketa tanah. Namun sudah saatnya mengefektifkan kembali perkebunan-perkebunan rakyat. Ini penting, agar masyarakat dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. “Jadi harus benar-benar dibenahi. Sehingga dampaknya akan jauh lebih terasa daripada mereka hanya dijadikan pekerja,” katanya. (sam/ila/gir)