30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sukses Jadikan Tukang Ojek sebagai Office Boy

Nadime Makarim dan Prestasinya Kembangkan Bisnis Ojek

Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), sebuah ajang kompetisi kewirausahaan, telah memilih Go-Jek sebagai juara pertama. Itu adalah bisnis ojek di Jakarta yang digagas dan dikembangkan Nadime Makarim
Kemacetan di Jakarta ternyata bisa menjadi inspirasi bagi Nadime Makarim. Gara-gara macet, dia sering menggunakan jasa ojek. Dan gara-gara kerap naik ojek, dia kini menjadi CEO Go-Jek, sebuah perusahaan yang menggarap bisnis ojek secara profesional.

“Saya sadar, waktu sangatlah berharga. Kalau menghabiskan jam demi jam hanya untuk merasakan kemacetan di Jakarta, tentu itu sangat tidak efisien. Sejak saat itu saya realize (sadar) bahwa ojek itu sangat berharga bagi warga Jakarta,” terangnya setelah menjadi panelis di Regional Entrepreneurship Summit di Bali Minggu lalu (24/7). Nadime diundang di acara tersebut karena menjadi juara pertama di kompetisi entrepreneurship yang diadakan Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI).

Karena hampir setiap hari bersentuhan dengan jasa ojek, Nadime tergelitik untuk memperbesar pasar ojek.
Awalnya, dia mempelajari kebiasaan para tukang ojek. Setiap menggunakan jasa ojek, dia mengajak ngobror si tukang ojek. Misalnya, ditanya berapa penumpang yang diangkut setiap hari. “Si tukang ojek mengatakan, sehari mungkin hanya lima hingga enam penumpang yang diangkut,” ujarnya.

Dalam hitungan Nadime, itu termasuk rugi. Sebab, itu tidak sebanding dengan total jam kerja mereka yang rata-rata 14 jam sehari. “Mestinya bisa lebih dimaksimalkan lagi,” ujar pria lulusan Brown University, New York, Amerika Serikat (AS), itu.

Obrolan itu tak hanya dia lakukan dengan satu orang tukang ojek, namun puluhan. Ternyata, kesimpulan yang didapat Nadime sama. Yakni, para tukang ojek yang dia temui rata-rata tidak sebanding antara jumlah jam bekerja dan perolehan penumpang dalam sehari.

“Hasil pengamatan saya, 75 persen dari sisa waktu mereka (tukang ojek) hanya dihabiskan untuk nongkrong dan ngantre di pangkalan,” papar putra pasangan Nono Anwar Makarim, 72, dan Atika Makarim, 66, yang berdomisili di Dharmawangsa, Jakarta Selatan, itu.

Dari situlah Nadime berpikir untuk membesarkan pasar para tukang ojek. Konsep yang dia terapkan adalah tukang ojek tak hanya berpeluang mendapat penumpang dari pangkalan. Tetapi, pria 27 tahun ini memiliki ide untuk merekrut para tukang ojek masuk ke Go-Jek, perusahaan yang dia bikin. Selanjutnya, dia membuat sistem call center. Lewat call center itulah pemesanan ojek tidak dibatasi ruang dan waktu. Konsumen bisa menghubungi si tukang ojek dari Go-Jek lewat berbagai media. “Konsumen bisa memesan ojek lewat ponsel, BlackBerry Messenger, hingga Yahoo Messenger,” tuturnya.

Ketika mendirikan Go-Jek, Nadime dibantu dua sahabatnya, yakni Bryan dan Micky. Tiga orang sekawan tersebut mengumpulkan uang pribadinya untuk membentuk call center. Sayang, jika ditanya mengenai starting capital atau modal awal, Nadime tidak bersedia menyebutkan besaran nominalnya. “Yang paling penting bagi saya adalah kekompakan kami bertiga untuk saling melengkapi. Misalnya, Bryan sangat ahli dalam hal finance. Dia pun memberikan masukan mengenai keuangan. Sedangkan Micky sangat jago dalam hal desain web,” tutur Nadime yang juga hobi membaca buku-buku nonfiksi itu. Dia melanjutkan, melalui kombinasi tersebut, pada pertengahan 2010, dikerjakanlah proyek pendirian Go-Jek. Barulah pada Februari 2011 Go-Jek resmi beroperasi.

Langkah awal yang dilakukan Nadime ialah menanamkan kepercayaan kepada para konsumen atau calon konsumen terhadap para tukang ojeknya. Nadime sangat memercayai teori bahwa persepsi branding harus dibangun dengan sempurna pada suatu bisnis. “Brand perseption itu sangat berdampak besar. Apalagi untuk suatu bisnis yang masih awal dibangun. Upaya kami membangun itu adalah lewat pelatihan SDM (sumber daya manusia) hingga memberikan uniform atau seragam,” ungkapnya.

Nadime menuturkan, dari upaya branding secara profesional itu, secara otomatis memunculkan trust dari para pekerjanya. Bahkan, karena memakai seragam, sikap tukang ojek juga berubah dengan sendirinya. Si tukang ojek juga lebih lihai men-handling pelanggan. Alhasil, order dari konsumen juga berkembang. Order tidak hanya datang dari tempat mangkal, tetapi berkembang seperti menjadi jasa kurir. “Ada orang yang ketinggalan charger ponselnya saja juga menggunakan jasa kami. Kami juga mengantarkan makanan, undangan, dokumen penting, hingga konsep belanja. Jadi, sekarang tukang ojek Go-Jek membelanjakan apa pun yang dibutuhkan konsumen,” terangnya.

Nadime juga berhasil mengubah mindset dari sisi kostumer. Yakni, tukang ojek bisa menjadi office boy semua orang. Tidak hanya company atau korporasi saja yang memiliki office boy. Tapi, lewat Go-Jek, segmen rumah tangga juga bisa dilayani dan di mana pun saat dibutuhkan. Tentunya hal itu memang didukung oleh ketersediaaan driver yang dimiliki Go-Jek. Jumlah driver Go-Jek saat ini 200 orang dan terdiri atas 80 pangkalan di Jakarta. “Kami mengunggulkan servis cepat, rata-rata dalam 15 menit sudah sampai tujuan,” ujarnya. Hingga akhir tahun ini, pihaknya menargetkan penambahan jumlah tukang ojek Go-Jek menjadi 400. Nadime pun memproyeksi untuk lebih ekspansif sehingga ojeknya berjumlah ribuan pada beberapa tahun ke depan. Saat ini Go-Jek memang masih fokus di daerah Jakarta. “Kami fokus dulu. Ke depan ingin memperlebar sayap usaha ke Jatim, khususnya Surabaya, mengingat jumlah permintaan yang besar,” terangnya.

Dari segi konsumen, Go-Jek juga agresif untuk menyasar pangsa pasar. Tidak hanya segmen rumah tangga, namun juga korporasi. “Justru kontribusi terbesar kami datang dari market korporasi. Mulai ibu-ibu penjual lumpia hingga perusahaan nasional dan multinasional,” paparnya.

Dia melanjutkan, hingga semester pertama 2011, Go-Jek memiliki 25 pelanggan korporasi dan 550 konsumen yang existing. Jumlah konsumen yang loyal tersebut naik 120 persen dibandingkan triwulan pertama 2011. Ordernya pun setiap hari mencapai 50?60 dengan minimal pembayaran Rp 15 ribu.

Go-Jek juga tersistem dengan baik dalam hal pembayarannya. Yakni, dipatok tarif flat sesuai dengan jarak yang ditempuh. “Kami juga transparan untuk harga per kilometernya. Meterannya ada di call center. Supaya transparan, kami kirim satu SMS ke driver dan satu SMS ke konsumen. Tapi, tetap membutuhkan kejujuran dari dua pihak tersebut,” ujarnya.

Nadime mengatakan, tidak ada batasan yang ketat untuk menjadi tukang ojek di Go-Jek. Modalnya  hanya sepeda motor. Sedangkan perlengkapan seperti helm dan seragam difasilitasi Go-Jek.

Menurut dia, saat ini sudah ada daftar antrean  panjang yang ingin mendaftar ke Go-Jek. “Tapi, kami mengutamakan yang sudah berkeluarga. Sebab, dari segi pekerjaan, mereka yang lebih ulet karena memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Dan lebih aman jika membawakan pesanan customer,” ungkapnya.
Go-Jek menerapkan skema bagi hasil. Yakni, tukang ojek bakal mendapat mayoritas, yakni 65 persen, sedangkan Go-Jek 35 persen. Itu diterapkan saat customer memesan dari Go-Jek. “Jadi, Go-Jek lebih kepada tambahan penghasilan bagi tukang ojek,” tutur Nadime yang menjadi CEO Go-Jek itu.
Dari keunikan ide yang dimiliki Go-Jek itu, tak mengherankan jika ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modal untuk membantu membesarkan sayap bisnis Go-Jek. Salah satu di antaranya, Chairman ATI Enterprises Inc Arthur E. Benjamin. Pebisnis asal Amerika itu sangat tertarik dengan Go-Jek dan siap membantu ekspansi bisnis Go-Jek. Sayangnya, dia tak menyebutkan nilai investasinya. “Saya membaca model bisnis Go-Jek sangat potensial ke depannya. Kami akan terus memantau perkembangan Go-Jek. Kalau untuk investasi, tanya ke pihak Go-Jek langsung saja,” terang Arthur ketika ditemui di Bali pada Minggu lalu (24/7).
Pada kompetisi Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), Go-Jek memenangi kategori non-tech. (c4/kum/jpnn)

Nadime Makarim dan Prestasinya Kembangkan Bisnis Ojek

Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), sebuah ajang kompetisi kewirausahaan, telah memilih Go-Jek sebagai juara pertama. Itu adalah bisnis ojek di Jakarta yang digagas dan dikembangkan Nadime Makarim
Kemacetan di Jakarta ternyata bisa menjadi inspirasi bagi Nadime Makarim. Gara-gara macet, dia sering menggunakan jasa ojek. Dan gara-gara kerap naik ojek, dia kini menjadi CEO Go-Jek, sebuah perusahaan yang menggarap bisnis ojek secara profesional.

“Saya sadar, waktu sangatlah berharga. Kalau menghabiskan jam demi jam hanya untuk merasakan kemacetan di Jakarta, tentu itu sangat tidak efisien. Sejak saat itu saya realize (sadar) bahwa ojek itu sangat berharga bagi warga Jakarta,” terangnya setelah menjadi panelis di Regional Entrepreneurship Summit di Bali Minggu lalu (24/7). Nadime diundang di acara tersebut karena menjadi juara pertama di kompetisi entrepreneurship yang diadakan Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI).

Karena hampir setiap hari bersentuhan dengan jasa ojek, Nadime tergelitik untuk memperbesar pasar ojek.
Awalnya, dia mempelajari kebiasaan para tukang ojek. Setiap menggunakan jasa ojek, dia mengajak ngobror si tukang ojek. Misalnya, ditanya berapa penumpang yang diangkut setiap hari. “Si tukang ojek mengatakan, sehari mungkin hanya lima hingga enam penumpang yang diangkut,” ujarnya.

Dalam hitungan Nadime, itu termasuk rugi. Sebab, itu tidak sebanding dengan total jam kerja mereka yang rata-rata 14 jam sehari. “Mestinya bisa lebih dimaksimalkan lagi,” ujar pria lulusan Brown University, New York, Amerika Serikat (AS), itu.

Obrolan itu tak hanya dia lakukan dengan satu orang tukang ojek, namun puluhan. Ternyata, kesimpulan yang didapat Nadime sama. Yakni, para tukang ojek yang dia temui rata-rata tidak sebanding antara jumlah jam bekerja dan perolehan penumpang dalam sehari.

“Hasil pengamatan saya, 75 persen dari sisa waktu mereka (tukang ojek) hanya dihabiskan untuk nongkrong dan ngantre di pangkalan,” papar putra pasangan Nono Anwar Makarim, 72, dan Atika Makarim, 66, yang berdomisili di Dharmawangsa, Jakarta Selatan, itu.

Dari situlah Nadime berpikir untuk membesarkan pasar para tukang ojek. Konsep yang dia terapkan adalah tukang ojek tak hanya berpeluang mendapat penumpang dari pangkalan. Tetapi, pria 27 tahun ini memiliki ide untuk merekrut para tukang ojek masuk ke Go-Jek, perusahaan yang dia bikin. Selanjutnya, dia membuat sistem call center. Lewat call center itulah pemesanan ojek tidak dibatasi ruang dan waktu. Konsumen bisa menghubungi si tukang ojek dari Go-Jek lewat berbagai media. “Konsumen bisa memesan ojek lewat ponsel, BlackBerry Messenger, hingga Yahoo Messenger,” tuturnya.

Ketika mendirikan Go-Jek, Nadime dibantu dua sahabatnya, yakni Bryan dan Micky. Tiga orang sekawan tersebut mengumpulkan uang pribadinya untuk membentuk call center. Sayang, jika ditanya mengenai starting capital atau modal awal, Nadime tidak bersedia menyebutkan besaran nominalnya. “Yang paling penting bagi saya adalah kekompakan kami bertiga untuk saling melengkapi. Misalnya, Bryan sangat ahli dalam hal finance. Dia pun memberikan masukan mengenai keuangan. Sedangkan Micky sangat jago dalam hal desain web,” tutur Nadime yang juga hobi membaca buku-buku nonfiksi itu. Dia melanjutkan, melalui kombinasi tersebut, pada pertengahan 2010, dikerjakanlah proyek pendirian Go-Jek. Barulah pada Februari 2011 Go-Jek resmi beroperasi.

Langkah awal yang dilakukan Nadime ialah menanamkan kepercayaan kepada para konsumen atau calon konsumen terhadap para tukang ojeknya. Nadime sangat memercayai teori bahwa persepsi branding harus dibangun dengan sempurna pada suatu bisnis. “Brand perseption itu sangat berdampak besar. Apalagi untuk suatu bisnis yang masih awal dibangun. Upaya kami membangun itu adalah lewat pelatihan SDM (sumber daya manusia) hingga memberikan uniform atau seragam,” ungkapnya.

Nadime menuturkan, dari upaya branding secara profesional itu, secara otomatis memunculkan trust dari para pekerjanya. Bahkan, karena memakai seragam, sikap tukang ojek juga berubah dengan sendirinya. Si tukang ojek juga lebih lihai men-handling pelanggan. Alhasil, order dari konsumen juga berkembang. Order tidak hanya datang dari tempat mangkal, tetapi berkembang seperti menjadi jasa kurir. “Ada orang yang ketinggalan charger ponselnya saja juga menggunakan jasa kami. Kami juga mengantarkan makanan, undangan, dokumen penting, hingga konsep belanja. Jadi, sekarang tukang ojek Go-Jek membelanjakan apa pun yang dibutuhkan konsumen,” terangnya.

Nadime juga berhasil mengubah mindset dari sisi kostumer. Yakni, tukang ojek bisa menjadi office boy semua orang. Tidak hanya company atau korporasi saja yang memiliki office boy. Tapi, lewat Go-Jek, segmen rumah tangga juga bisa dilayani dan di mana pun saat dibutuhkan. Tentunya hal itu memang didukung oleh ketersediaaan driver yang dimiliki Go-Jek. Jumlah driver Go-Jek saat ini 200 orang dan terdiri atas 80 pangkalan di Jakarta. “Kami mengunggulkan servis cepat, rata-rata dalam 15 menit sudah sampai tujuan,” ujarnya. Hingga akhir tahun ini, pihaknya menargetkan penambahan jumlah tukang ojek Go-Jek menjadi 400. Nadime pun memproyeksi untuk lebih ekspansif sehingga ojeknya berjumlah ribuan pada beberapa tahun ke depan. Saat ini Go-Jek memang masih fokus di daerah Jakarta. “Kami fokus dulu. Ke depan ingin memperlebar sayap usaha ke Jatim, khususnya Surabaya, mengingat jumlah permintaan yang besar,” terangnya.

Dari segi konsumen, Go-Jek juga agresif untuk menyasar pangsa pasar. Tidak hanya segmen rumah tangga, namun juga korporasi. “Justru kontribusi terbesar kami datang dari market korporasi. Mulai ibu-ibu penjual lumpia hingga perusahaan nasional dan multinasional,” paparnya.

Dia melanjutkan, hingga semester pertama 2011, Go-Jek memiliki 25 pelanggan korporasi dan 550 konsumen yang existing. Jumlah konsumen yang loyal tersebut naik 120 persen dibandingkan triwulan pertama 2011. Ordernya pun setiap hari mencapai 50?60 dengan minimal pembayaran Rp 15 ribu.

Go-Jek juga tersistem dengan baik dalam hal pembayarannya. Yakni, dipatok tarif flat sesuai dengan jarak yang ditempuh. “Kami juga transparan untuk harga per kilometernya. Meterannya ada di call center. Supaya transparan, kami kirim satu SMS ke driver dan satu SMS ke konsumen. Tapi, tetap membutuhkan kejujuran dari dua pihak tersebut,” ujarnya.

Nadime mengatakan, tidak ada batasan yang ketat untuk menjadi tukang ojek di Go-Jek. Modalnya  hanya sepeda motor. Sedangkan perlengkapan seperti helm dan seragam difasilitasi Go-Jek.

Menurut dia, saat ini sudah ada daftar antrean  panjang yang ingin mendaftar ke Go-Jek. “Tapi, kami mengutamakan yang sudah berkeluarga. Sebab, dari segi pekerjaan, mereka yang lebih ulet karena memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Dan lebih aman jika membawakan pesanan customer,” ungkapnya.
Go-Jek menerapkan skema bagi hasil. Yakni, tukang ojek bakal mendapat mayoritas, yakni 65 persen, sedangkan Go-Jek 35 persen. Itu diterapkan saat customer memesan dari Go-Jek. “Jadi, Go-Jek lebih kepada tambahan penghasilan bagi tukang ojek,” tutur Nadime yang menjadi CEO Go-Jek itu.
Dari keunikan ide yang dimiliki Go-Jek itu, tak mengherankan jika ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modal untuk membantu membesarkan sayap bisnis Go-Jek. Salah satu di antaranya, Chairman ATI Enterprises Inc Arthur E. Benjamin. Pebisnis asal Amerika itu sangat tertarik dengan Go-Jek dan siap membantu ekspansi bisnis Go-Jek. Sayangnya, dia tak menyebutkan nilai investasinya. “Saya membaca model bisnis Go-Jek sangat potensial ke depannya. Kami akan terus memantau perkembangan Go-Jek. Kalau untuk investasi, tanya ke pihak Go-Jek langsung saja,” terang Arthur ketika ditemui di Bali pada Minggu lalu (24/7).
Pada kompetisi Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI), Go-Jek memenangi kategori non-tech. (c4/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/