Kritik keras juga dilontarkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia juga menilai ada beberapa keanehan dalam proses hukum yang dikenakan terhadap yang bersangkutan. Terutamanya, keputusan baru mengangkat dan memroses kasus yang ada setelah sekian lama. ”Tentu, kami prihatin dengan apa yang terjadi,” kata Fadli.
Sebab, menurut dia, di saat yang sama masih banyak kasus yang jelas-jelas melanggar hukum tapi ternyata tidak diproses. ”Kami ingin hukum itu diterapkan secara adil, tidak diskriminatif. Kalau melihat kasus Pak Dahlan, jadi makin nyata bahwa hukum telah menjadi alat kekuasaan, alat politik,” tandasnya.
Sementara Sekretaris Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menjelaskan, sebenarnya perlu dikaji ulang, apakah jaksa ini membidik korupsinya, perbuatan melawan hukum, atau penyalahgunaan wewenang. ”Kasus ini tentu perlu ditelisik, apakah dapat dengan sederhana dibuktikan atau membutuhkan penilaian auditor,” paparnya.
Bila ternyata kasus tersebut membutuhkan peran auditor, maka seharusnya menunggu dari Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tentu, untuk melihat kerugian negaranya, serta mengetahui apakah ini merupakan pidana atau hanya pelanggaran administrasi. ”Semua itu perlu untuk diketahui,” Jelasnya.
Lalu, bagaimana dengan penahanan yang berpotensi mengancam nyawa Dahlan? Dia menuturkan, seharusnya pertimbangan kesehatan itu disampaikan ke penyidik. Lalu, penyidik juga harus memiliki second opinion untuk memastikan semua itu.
”Kalau second opinion juga menyebut membahayakan, berarti faktanya sakit. Tentu penyidik harus mempertimbangkannya,” tuturnya.
Seorang tersangka itu tetap memiliki hak yang harus dipenuhi penyidik. Walau, penyidik memiliki kewenangan menahan berdasarkan subyektifitas. Seperti, melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan semacamnya. ”Tersangka itu memiliki hak azasi,” tegasnya.
Di sisi lain, Barita mengatakan, bila memang ditemukan adanya pelanggaran, tentu ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Yakni, melaporkan pada Komjak atau Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas).
”Kalau memang dilaporkan ke Komjak, kami siap memprosesnya,” tuturnya.
Selain mekanisme pelaporan, dia mengatakan, praperadilan juga merupakan langkah hukum yang bisa ditempuh untuk meluruskan semua yang kurang tepat. ”Semua itu bisa ditempuh,” ujarnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai ikut menanggapi peristiwa penahanan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan oleh Kejati Jatim pada Kamis malam kemarin. Dia meminta agar aparat yang melakukan penahanan wajib menjamin hak-hak individu Dahlan selama menjalani masa tahanan hingga berkasnya nanti dilimpahkan ke pengadilan.
“Hak-hak dia di pengadilan nanti harus dihormati yakni hak untuk tidak dikekang, hak untuk menyatakan pendapat, pikiran, dan perasaan, hak untuk dibela, serta hak untuk tidak mendapatkan diskriminasi di hadapan pengadilan,” kata Nataliufs saat ditemui di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat (Jakpus), kemarin.
Dia mengatakan, pembatasan aparat terhadap hak-hak tersebut akan menjadi masalah yang serius. “Karena secara prinsip itu sangat bertentangan dengan HAM,” tegasnya.
Petinggi Komnas HAM kelahiran Papua tersebut juga menjelaskan, upaya kriminalisasi terhadap warga negara oleh aparat juga tidak dapat ditolerir. Karena itu, dia berharap organ pengawasan di dalam institusi penegak hukum harus tetap berjalan.
“Karena itu setiap pencari keadilan atau setiap orang yang dirasa haknya dikorbankan bisa menyampaikan pengaduannya kepada institusi yang bersangkutan atau pengawas eksternal seperti Komnas HAM,” jelasnya. (jun/idr/dod/dyn/jpg/adz)