MEDAN, SUMUTPOS.CO – Putusan majelis hakim PN Bekasi Kelas IA Khusus yang menolak gugatan perceraian lantaran tanpa melibatkan dalihan natolu, dinilai Dekan Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Prof Dr Maidin Gultom SH MHum, ngawur. Pasalnya, gugatan cerai tersebut sudah masuk ke pengadilan negeri, sehingga yang pakai hukum perdata atau undang-undang perkawinan.
Menurut Prof Dr Maidin Gultom SH MHum, perkawinan dan perceraian memang dapat digunakan hukum adat atau hukum perdata/Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, atau menurut hukum Islam ( Syari’at Islam). “Namun kalau gugat cerai sudah diajukan ke pengadilan negeri, pakailah hukum perdata/undang-undang perkawinan,” kata Prof Maidin Gultom menjawab wartawan di Medan, Senin (29/11/2021).
Seperti diberitakan sebelumnya, Majelis Hakim PN Bekasi Kelas 1A Khusus dilaporkan ke Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, karena diduga melakukan pelanggaran kode etik. Adalah Raja Tahan Panjaitan SH dan R Wijaya S SH sebagai pelapor dan juga kuasa hukum Penggugat dalam perkara Gugatan Cerai nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks, yang mmelaporkan tiga orang Majelis Hakim PN Bekasi Kelas IA Khusus.
Melalui surat pelaporan tertanggal 22 November 2021, yang diterima awak media, kuasa hukum penggugat perkara gugatan cerai dari Law Office Raja Tahan Panjaitan SH & Partners menyebutkan, Majelis Hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya, terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi).
Adapun “Abuse Of Power” yang dilakukan oleh majelis hakim menurut hemat penasehat hukum ‘JS’ selaku principal yakni sebagai berikut: sebelum pemeriksaan pokok dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 sudah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock);
Kemudian seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim masih berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun tetap gagal dan mengalami kebuntuan;
Selanjutnya, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera).
Lalu dalam putusannya, majelis hakim terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar sehingga harus terlebih dahulu melibatkan lembaga adat batak yang bernama Dalihan Natolu untuk menyelesaikan masalahnya.
Saat disinggung mengenai putusan majelis hakim tersebut, Prof Maidin Gultom menyatakan secara tegas bahwa itu ngawur. “Putusan itu menurut saya ngawur dan mengada-ada,” tandasnya. (rel/adz)