JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penyitaan tanah atas nama Attabik Ali dalam dugaan pencucian uang Anas Urbaningrum ternyata tidak berhenti pada pemasangan plang. KPK meminta keterangan dari Badan Intelijen Negara (BIN) karena ada informasi bahwa tanah itu dibeli setelah adanya bisnis dengan Attabik Ali yang merupakan mertua Anas. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono pun jadi terperiksa.
“Jadi saksi untuk TPPU (tindak pidana pencucian uang, Red) AU (Anas Urbaningrum),” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, saat dikonfirmasi, Selasa (29/4).
Kemarin Hendro tiba di Gedung KPK sekitar pukul 09.30 WIB. Kepada awak media, dia mengaku ingin menghadap Abraham Samad. “Mau menghadap Ketua KPK,” singkat Hendro.
Usai diperiksa, Hendro akhirnya buka mulut. Dia mengatakan jalinan bisnis dengan mertua Anas terjalin saat dirinya menjabat sebagai Kepala BIN pada 2001-2004. Tahun itu, dia menyebut sedang marak-maraknya soal pengeboman dan terorisme. Sebagai pucuk pimpinan BIN, Hendro punya misi untuk meredam hal itu.
“Ada orang yang menawarkan pada kita (BIN) buku dan kamus dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia sekaligus,” katanya.
Dia merasa itu adalah kesempatan yang bagus karena sesuai dengan misi. Sebab, BIN berencana memberikan bantuan ke pesantren-pesantren dengan buku. Nah, BIN tertarik dengan tawaran itu. Akhirnya, proyek dilakukan antara BIN dengan penawar buku yang di dalamnya ada Attabik Ali sebagai penyuplai literatur. Namun, Hendro lupa berapa banyak buku yang dicetak. Seingatnya, dana untuk membuat buku tersebut Rp100 ribu dan dibuat dalam satu paket yang berisi empat buku.
“Waktu itu, yang nawarin Pak Attabik Ali,” jelasnya. Dia memastikan kalau harga untuk buku tersebut wajar. Lantaran menjadi produk BIN, Hendro mewanti-wanti agar produk itu tidak diperdagangkan. Pencegahan dilakukan dengan memasang fotonya dan sambutan yang menjelaskan kalau produk itu sumbangan untuk pesantren dari BIN.
Dia ingat, saat membagikan buku itu di Pesantren Krapyak ada pertemuan dengan Attabik Ali. Namun, dia lupa pastinya karena itu sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Hendro juga ingat, saat di Krapyak, Jogjakarta, dirinya bertemu dengan Anas Urbaningrum.
Sementara, kuasa hukum Anas, Handika Honggowongso mengatakan kalau tanah di Jogjakarta itu jelas asal-usulnya. Dia memastikan tidak ada kaitan dengan pencucian uang yang dituduhkan KPK kepada Anas. Handika menyebut, salah satu sumber uang untuk membeli tanah adalah dari pengadaan buku atau kamus itu. “Dari pengadaan kamus, lalu dibelikan tanah,” terangnya.
Terkait kasus TPPU Anas ini, penyidik KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi lainnya. Di antaranya, Nurachmad Rusdam dari swasta, pemilik awal PT Arina Kotajaya Hulman Aritonang, Nursito dari swasta, Rika Mustikawati dari swasta, Kepala Seksi Konservasi Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Timur Firly Sandi, Syarifah dari swasta, serta mantan anggota Komisi X DPR Angelina Sondakh.
KPK sebelumnya juga telah memeriksa mantan Wakil Kepala BIN, As’at Said Ali, beberapa waktu lalu. Usai menjalani pemeriksaan, As’at mengakui bahwa dia memang pernah membeli kamus Arab-Indonesia-Inggris terbitan Pesantren Krapyak. Mertua Anas, Attabik Ali diketahui merupakan pimpinan Ponpes Krapyak.
“Mei tahun 2003, dinas membeli kamus membantu pesantren-pesantren, apa namanya kamus lengkap, Inggris Arab Indonesia. Ada empat set, harga lupa, jumlah saya lupa,” kata As’at, usai menjalani pemeriksaan belum lama ini.
As’at mengatakan pada saat itu dia masih menjadi pejabat BIN. Namun dia mengaku tidak mengetahui jika Krapyak dikelola oleh mertua Anas.(dim/jpnn/rbb)