28.9 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Pilkada 2017 Bisa Kacau

Foto: Dok Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Sumarsono.
Foto: Dok
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Sumarsono.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati syarat dukungan bagi pasangan calon calon kepala daerah yang maju dari jalur independen, tetap di angka 6,5-10 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) di masing-masing daerah pada pemilu sebelumnya.

“Semula memang ada keinginan menaikkan menjadi 10 persen, tapi kami bertahan dan mereka (DPR,red) bisa memahami. Jadi 6,5-10 persen itu fiks dan tidak diotak atik lagi,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Sumarsono, di Jakarta, Jumat (29/4).

Meski syarat bagi calon independen telah disetujui, namun bagi calon yang maju dari partai politik, belum menemui kata sepakat. Pemerintah kata Sumarsono, semula mengusulkan pada angka 20-25 persen. Namun fraksi-fraksi di DPR memiliki beberapa pandangan yang berbeda. Ada yang mengusulkan turun hingga menjadi 15-20 persen. Sementara sebagian lainnya meminta tetap di angka 20-25 persen.

Menurut Sumarsono, kelompok yang meminta angka persentase turun, beralasan untuk mengurangi terjadinya kasus calon tunggal. Sementara yang tidak mau turun menilai, penting adanya legitimasi. Karena itu penting menjaga agar tidak terlalu banyak calon.

“Kami bisa memahami (usulan-usulan DPR,red). Maka kami serahkan ke fraksi mau sepakati yang mana. Kalau menyepakati 20-25 persen ya terimakasih. Dari pada ngotot terus-terusan, makanya kami serahkan. Tapi anehnya mereka di fraksi belum sepakat, iItu masih alot dan belum diputuskan sama sekali,” ujar Sumarsono.

Pemerintah kata Sumarsono, sebenarnya mengharapkan revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dapat disepakati pada rapat paripurna DPR, Jumat ini.

“Tapi ternyata tidak bisa. Makanya kemungkinan besar kami ambil posisi 30 Mei (rapat paripurna masa sidang berikutnya,red). Dengan catatan tanggal 11-13 Mei kami konsinyasi akhir. Jadi sebelum tanggal tersebut, tim perumus tetep bekerja, antara tim pemerintah dan DPR serta staf-staf teknikal,” ujar Sumarsono.

Selain terkait persyaratan, pemerintah dan DPR kata Sumarsono, setuju memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam pelaksanaan pilkada. Kesepakatan hadir setelah melihat Mahkamah Konstitusi (MK) baru menyidangkan perselisihan hasil pilkada, kalau selisih persentase antara calon peraih suara terbanyak, dengan pasangan yang menggugat, tidak terpaut jauh.

“Jadi ini dilihat tidak adil kalau sifatnya (pelanggaran,red) terstruktur, sistematis dan masif. Sementara kalau lewat pidana, kelamaan. Maka kami persiapan penguatan lewat Bawaslu,” ujar Sumarsono.

Bawaslu katanya, nanti bakal memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrasi pada pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran seperti politik uang.

“Bentuknya, memberi kewenangan kepada Bawaslu untuk menjatuhkan sanksi administrasi untuk mendiskulaifikasi calon, kalau itu money politik,” ujarnya.

Sumarsono mengakui, untuk mendefinisikan politik uang, tidak semudah yang dibayangkan. Karena dalam sejumlah kasus selama ini, biasanya tidak dilakukan langsung oleh calon terkait. Namun lewat tim sukses, simpatisan maupun saudara terdekat.

“Ini masih perdebatan antarfraksi maupun fraksi dengan pemerintah. Di Panja (panitia kerja DPR,red) masih terjadi perdebatan. Bentuk penguatannya sudah jelas, tapi bagaimana caranya belum. Ini penting, jangan sampai kesalahan orang lain ditimpakan kepada calon,” ujar Sumarsono.

Foto: Dok Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Sumarsono.
Foto: Dok
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Sumarsono.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati syarat dukungan bagi pasangan calon calon kepala daerah yang maju dari jalur independen, tetap di angka 6,5-10 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) di masing-masing daerah pada pemilu sebelumnya.

“Semula memang ada keinginan menaikkan menjadi 10 persen, tapi kami bertahan dan mereka (DPR,red) bisa memahami. Jadi 6,5-10 persen itu fiks dan tidak diotak atik lagi,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Sumarsono, di Jakarta, Jumat (29/4).

Meski syarat bagi calon independen telah disetujui, namun bagi calon yang maju dari partai politik, belum menemui kata sepakat. Pemerintah kata Sumarsono, semula mengusulkan pada angka 20-25 persen. Namun fraksi-fraksi di DPR memiliki beberapa pandangan yang berbeda. Ada yang mengusulkan turun hingga menjadi 15-20 persen. Sementara sebagian lainnya meminta tetap di angka 20-25 persen.

Menurut Sumarsono, kelompok yang meminta angka persentase turun, beralasan untuk mengurangi terjadinya kasus calon tunggal. Sementara yang tidak mau turun menilai, penting adanya legitimasi. Karena itu penting menjaga agar tidak terlalu banyak calon.

“Kami bisa memahami (usulan-usulan DPR,red). Maka kami serahkan ke fraksi mau sepakati yang mana. Kalau menyepakati 20-25 persen ya terimakasih. Dari pada ngotot terus-terusan, makanya kami serahkan. Tapi anehnya mereka di fraksi belum sepakat, iItu masih alot dan belum diputuskan sama sekali,” ujar Sumarsono.

Pemerintah kata Sumarsono, sebenarnya mengharapkan revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dapat disepakati pada rapat paripurna DPR, Jumat ini.

“Tapi ternyata tidak bisa. Makanya kemungkinan besar kami ambil posisi 30 Mei (rapat paripurna masa sidang berikutnya,red). Dengan catatan tanggal 11-13 Mei kami konsinyasi akhir. Jadi sebelum tanggal tersebut, tim perumus tetep bekerja, antara tim pemerintah dan DPR serta staf-staf teknikal,” ujar Sumarsono.

Selain terkait persyaratan, pemerintah dan DPR kata Sumarsono, setuju memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam pelaksanaan pilkada. Kesepakatan hadir setelah melihat Mahkamah Konstitusi (MK) baru menyidangkan perselisihan hasil pilkada, kalau selisih persentase antara calon peraih suara terbanyak, dengan pasangan yang menggugat, tidak terpaut jauh.

“Jadi ini dilihat tidak adil kalau sifatnya (pelanggaran,red) terstruktur, sistematis dan masif. Sementara kalau lewat pidana, kelamaan. Maka kami persiapan penguatan lewat Bawaslu,” ujar Sumarsono.

Bawaslu katanya, nanti bakal memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrasi pada pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran seperti politik uang.

“Bentuknya, memberi kewenangan kepada Bawaslu untuk menjatuhkan sanksi administrasi untuk mendiskulaifikasi calon, kalau itu money politik,” ujarnya.

Sumarsono mengakui, untuk mendefinisikan politik uang, tidak semudah yang dibayangkan. Karena dalam sejumlah kasus selama ini, biasanya tidak dilakukan langsung oleh calon terkait. Namun lewat tim sukses, simpatisan maupun saudara terdekat.

“Ini masih perdebatan antarfraksi maupun fraksi dengan pemerintah. Di Panja (panitia kerja DPR,red) masih terjadi perdebatan. Bentuk penguatannya sudah jelas, tapi bagaimana caranya belum. Ini penting, jangan sampai kesalahan orang lain ditimpakan kepada calon,” ujar Sumarsono.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/