22.8 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Penghapusan Pasal TPG di RUU Sisdiknas Picu Polemik

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kembali memantik kontroversi. Pemicunya adalah penghapusan pasal-pasal yang mengatur tentang tunjangan profesi guru (TPG). Kemendikbudristek bersikukuh guru tetap mendapatkan penghasilan yang memadai.

Sorotan tajam disampaikan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan sudah mendengar penjelasan dari Kemendikbudristek. “Kembalikan dulu pasal TPG ke dalam draft RUU Sisdiknas,” katanya kemarin (29/8).

Unifah mengatakan jaminan kesejahteraan atau penghasilan guru yang memadai tidak cukup dari lisan atau omongan pejabat sajan

Tetapi harus benar-benar dicantumkan di dalam bagian utama draft UU Sisdiknas. Dia mengatakan begitu kecewa dengan penghapusan pasal-pasal tentangn TPG. “Bagi kami TPG adalah prinsip,” katanya.

Ketika pasal tentang TPG tersebut dihapus, pemerintah sudah menafikkan peran guru. Serta tidak menghargai guru sebagai sebuah profesi. Meskipun menyampaikan kritikan keras, Unifah menegaskan para guru untuk tidak mogok mengajar terkait polemik penghapusan pasal TPG tersebut.

Unifah menceritakan penghapusan pasal-pasal TPG muncul dalam draft RUU Sisdiknas terbaru tertanggal 22 Agustus 2022. Di dalam naskah tersebut, hanya ditulis soal kesejahteraan guru secara umum. Yaitu bunyinya guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya berhak untuk memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan tersebut berbeda sekali dengan bunyi di UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalam UU ini, ketentuan tentang TPG dibahas dengan sangat detail. Termasuk aturan bahwa besaran TPG untuk guru PNS sebesar satu kali gaji pokok. Pembahasan RUU Sisdiknas tidak hanya menggantikan UU Sisdiknas yang lama. Tetapi juga meleburkan UU Guru dan Dosen serta UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Unifah mengatakan keberadaan RUU Sisdiknas yang meleburkan tiga UU tersebut sebagai omnibus law di sektor pendidikan.

Aliansi Peduli Pendidikan mengirim surat terbuka pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI perihal RUU Sisdiknas ini. Dalam surat yang 28 orang tokoh dan pemerhati pendidikan ini secara tegas meminta penundaan pembahasan RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2022.

Indra Charismiadji, anggota Aliansi Peduli Pendidikan, mengatakan RUU Sisdiknas 2022 ini setara dengan Omnibus Law bidang Pendidikan Nasional. Menggabung tiga UU namun pengintegrasiannya tidak jelas. Sehingga, dikhawatirkan, ketika diimplementasikan akan mengalami persoalan di lapangan. “Mengingat banyak hal yang diatur dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU Pendidikan Tinggi tidak termuat di dalam RUU Sisdiknas ini,” keluhnya.

Bukan hanya itu, RUU Sisdiknas ini juga dinilai cacat unsur legislasi formil. Pasalnya, dalam penyusunan RUU ini tidak transparan. Selain itu, penyusunannya pun tidak melibatkan para ahli dari berbagai bidang, minim kolaborasi antara kementerian dan para penyelenggara pendidikan di lapangan.

Lalu, hingga kini belum tersedia road Map, cetak biru atau grand design pendidikan nasional yang merupakan prasyarat untuk dapat menyusun RUU Omnibus Law Sisdiknas. “Seperti hantu, terburu-buru, dan dikerjakan di ruang gelap,” ungkapnya.

Catatan lainnya diberikan pada tidak adanya kepastian sikap yang jelas dari pemerintah mengenai wajib belajar itu gratis atau membayar. Peran masyarakat dalam pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga dihilangkan pada RUU ini.

“RUU Sisdiknas ini akan mendorong percepatan alih status PTN menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Padahal dalam prakteknya, PTN BH yang ada saat ini cenderung komersial,” papar aktivis pendidikan dari Vox Populi Institute ini. Kondisi ini tentu akan merugikan masyarakat. Karena bakal membuat pendidikan makin sulit diakses oleh masyarakat. “Kami berharap RUU Sisdiknas yang akan mengatur nasib bangsa dan negara disusun secara cermat dengan melibatkan banyak pihak dan tidak tergesa-gesa,” tuturnya.

Menurutnya, kerusakan dalam regulasi pendidikan itu berarti akan timbulnya kerusakan bangsa selama tiga generasi. “Oleh karena itu kami dengan sangat memohon kepada Bapak Joko Widodo selaku Presiden RI untuk menunda pembahasan RUU Sisdiknas tersebut,” sambungnnya.

Meski tak masuk secara eksplisit di RUU Sisdiknas, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Iwan Syahril menjamin bahwa tunjangan untuk guru bakal tetap ada. Dia mengatakan, dalam RUU diatur bahwa guru yang sudah mendapat tunjangan profesi, baik guru ASN maupun non-ASN, akan tetap mendapat tunjangan tersebut sampai pensiun. Dengan catatan, masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, belum ada kepastian besaran tunjangan yang akan diberikan. Apakah sama dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Iwan sendiri meminta seluruh pihak tak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia menjamin, jika RUU Sisdiknas akan tetap memberikan kesejahteraan pada guru. “RUU ini juga mengatur guru yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik akan segera mendapatkan penghasilan yang layak tanpa perlu menunggu antrian sertifikasi,” paparnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, guru ASN yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik akan mendapatkan penghasilan yang layak sesuai Undang-Undang ASN. Dengan demikian, mereka akan otomatis mendapat kenaikan pendapatan melalui tunjangan yang diatur dalam UU ASN tanpa perlu menunggu antrian sertifikasi yang panjang.

Sedangkan untuk guru non-ASN yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik, kata dia, pemerintah akan meningkatkan bantuan operasional satuan pendidikan. Tujuannya, membantu yayasan penyelenggara pendidikan memberikan penghasilan yang lebih tinggi bagi gurunya sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Skema ini sekaligus membuat yayasan penyelenggara pendidikan lebih berdaya dalam mengelola SDM-nya,”

Iwan mengatakan, saat ini ada 1,6 juta guru yang masih belum tersertifikasi karena masih menunggu antrian pendidikan profesi guru. Di mana, butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Taufik Basari menyatakan, pihaknya akan mempelajari hal-hal yang menjadi keberatan publik mulai dari proses penyusunannya hingga poin-poin substansi yang ada di dalamnya. “Saya akan mendengarkan kritikan tersebut dan mendalami usulan RUU sekaligus akan menghimpun masukan dan keberatan dari masyarakat,” katanya.

Menurut Taufik, pelibatan seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan menjadi sangat penting. RUU Sisdiknas diharapkan bisa menjadi acuan yang terintegrasi dalam pengaturan pendidikan di Indonesia.

Dia mengatakan, semua pihak harus berhati-hati dan cermat dalam menyusun RUU itu. Apalagi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam membentuk karakter anak bangsa. “Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negara yang secara eksplisit dituangkan dalam pembukaan UUD 45” jelas Taufik.

Terkait dihapusnya tunjangan profesi guru, Taufik mengatakan, semua poin penting dalam RUU itu harus dikaji secara mendalam. Menurut dia, sebelum diajukan ke prolegnas, harus dilakukan pembahasan penyusunan naskah akademik dan draf RUU bersama masyarakat. (wan/mia/lum/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kembali memantik kontroversi. Pemicunya adalah penghapusan pasal-pasal yang mengatur tentang tunjangan profesi guru (TPG). Kemendikbudristek bersikukuh guru tetap mendapatkan penghasilan yang memadai.

Sorotan tajam disampaikan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan sudah mendengar penjelasan dari Kemendikbudristek. “Kembalikan dulu pasal TPG ke dalam draft RUU Sisdiknas,” katanya kemarin (29/8).

Unifah mengatakan jaminan kesejahteraan atau penghasilan guru yang memadai tidak cukup dari lisan atau omongan pejabat sajan

Tetapi harus benar-benar dicantumkan di dalam bagian utama draft UU Sisdiknas. Dia mengatakan begitu kecewa dengan penghapusan pasal-pasal tentangn TPG. “Bagi kami TPG adalah prinsip,” katanya.

Ketika pasal tentang TPG tersebut dihapus, pemerintah sudah menafikkan peran guru. Serta tidak menghargai guru sebagai sebuah profesi. Meskipun menyampaikan kritikan keras, Unifah menegaskan para guru untuk tidak mogok mengajar terkait polemik penghapusan pasal TPG tersebut.

Unifah menceritakan penghapusan pasal-pasal TPG muncul dalam draft RUU Sisdiknas terbaru tertanggal 22 Agustus 2022. Di dalam naskah tersebut, hanya ditulis soal kesejahteraan guru secara umum. Yaitu bunyinya guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya berhak untuk memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan tersebut berbeda sekali dengan bunyi di UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalam UU ini, ketentuan tentang TPG dibahas dengan sangat detail. Termasuk aturan bahwa besaran TPG untuk guru PNS sebesar satu kali gaji pokok. Pembahasan RUU Sisdiknas tidak hanya menggantikan UU Sisdiknas yang lama. Tetapi juga meleburkan UU Guru dan Dosen serta UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Unifah mengatakan keberadaan RUU Sisdiknas yang meleburkan tiga UU tersebut sebagai omnibus law di sektor pendidikan.

Aliansi Peduli Pendidikan mengirim surat terbuka pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI perihal RUU Sisdiknas ini. Dalam surat yang 28 orang tokoh dan pemerhati pendidikan ini secara tegas meminta penundaan pembahasan RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2022.

Indra Charismiadji, anggota Aliansi Peduli Pendidikan, mengatakan RUU Sisdiknas 2022 ini setara dengan Omnibus Law bidang Pendidikan Nasional. Menggabung tiga UU namun pengintegrasiannya tidak jelas. Sehingga, dikhawatirkan, ketika diimplementasikan akan mengalami persoalan di lapangan. “Mengingat banyak hal yang diatur dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU Pendidikan Tinggi tidak termuat di dalam RUU Sisdiknas ini,” keluhnya.

Bukan hanya itu, RUU Sisdiknas ini juga dinilai cacat unsur legislasi formil. Pasalnya, dalam penyusunan RUU ini tidak transparan. Selain itu, penyusunannya pun tidak melibatkan para ahli dari berbagai bidang, minim kolaborasi antara kementerian dan para penyelenggara pendidikan di lapangan.

Lalu, hingga kini belum tersedia road Map, cetak biru atau grand design pendidikan nasional yang merupakan prasyarat untuk dapat menyusun RUU Omnibus Law Sisdiknas. “Seperti hantu, terburu-buru, dan dikerjakan di ruang gelap,” ungkapnya.

Catatan lainnya diberikan pada tidak adanya kepastian sikap yang jelas dari pemerintah mengenai wajib belajar itu gratis atau membayar. Peran masyarakat dalam pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga dihilangkan pada RUU ini.

“RUU Sisdiknas ini akan mendorong percepatan alih status PTN menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Padahal dalam prakteknya, PTN BH yang ada saat ini cenderung komersial,” papar aktivis pendidikan dari Vox Populi Institute ini. Kondisi ini tentu akan merugikan masyarakat. Karena bakal membuat pendidikan makin sulit diakses oleh masyarakat. “Kami berharap RUU Sisdiknas yang akan mengatur nasib bangsa dan negara disusun secara cermat dengan melibatkan banyak pihak dan tidak tergesa-gesa,” tuturnya.

Menurutnya, kerusakan dalam regulasi pendidikan itu berarti akan timbulnya kerusakan bangsa selama tiga generasi. “Oleh karena itu kami dengan sangat memohon kepada Bapak Joko Widodo selaku Presiden RI untuk menunda pembahasan RUU Sisdiknas tersebut,” sambungnnya.

Meski tak masuk secara eksplisit di RUU Sisdiknas, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Iwan Syahril menjamin bahwa tunjangan untuk guru bakal tetap ada. Dia mengatakan, dalam RUU diatur bahwa guru yang sudah mendapat tunjangan profesi, baik guru ASN maupun non-ASN, akan tetap mendapat tunjangan tersebut sampai pensiun. Dengan catatan, masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, belum ada kepastian besaran tunjangan yang akan diberikan. Apakah sama dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Iwan sendiri meminta seluruh pihak tak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia menjamin, jika RUU Sisdiknas akan tetap memberikan kesejahteraan pada guru. “RUU ini juga mengatur guru yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik akan segera mendapatkan penghasilan yang layak tanpa perlu menunggu antrian sertifikasi,” paparnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, guru ASN yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik akan mendapatkan penghasilan yang layak sesuai Undang-Undang ASN. Dengan demikian, mereka akan otomatis mendapat kenaikan pendapatan melalui tunjangan yang diatur dalam UU ASN tanpa perlu menunggu antrian sertifikasi yang panjang.

Sedangkan untuk guru non-ASN yang sudah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik, kata dia, pemerintah akan meningkatkan bantuan operasional satuan pendidikan. Tujuannya, membantu yayasan penyelenggara pendidikan memberikan penghasilan yang lebih tinggi bagi gurunya sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Skema ini sekaligus membuat yayasan penyelenggara pendidikan lebih berdaya dalam mengelola SDM-nya,”

Iwan mengatakan, saat ini ada 1,6 juta guru yang masih belum tersertifikasi karena masih menunggu antrian pendidikan profesi guru. Di mana, butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Taufik Basari menyatakan, pihaknya akan mempelajari hal-hal yang menjadi keberatan publik mulai dari proses penyusunannya hingga poin-poin substansi yang ada di dalamnya. “Saya akan mendengarkan kritikan tersebut dan mendalami usulan RUU sekaligus akan menghimpun masukan dan keberatan dari masyarakat,” katanya.

Menurut Taufik, pelibatan seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan menjadi sangat penting. RUU Sisdiknas diharapkan bisa menjadi acuan yang terintegrasi dalam pengaturan pendidikan di Indonesia.

Dia mengatakan, semua pihak harus berhati-hati dan cermat dalam menyusun RUU itu. Apalagi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam membentuk karakter anak bangsa. “Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negara yang secara eksplisit dituangkan dalam pembukaan UUD 45” jelas Taufik.

Terkait dihapusnya tunjangan profesi guru, Taufik mengatakan, semua poin penting dalam RUU itu harus dikaji secara mendalam. Menurut dia, sebelum diajukan ke prolegnas, harus dilakukan pembahasan penyusunan naskah akademik dan draf RUU bersama masyarakat. (wan/mia/lum/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/