25 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Tiga Bansos Segera Cair, Sebagai Kompensasi Kenaikan Harga BBM

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah akan menyalurkan dana bantuan sosial (Bansos) sebesar Rp24,17 triliun untuk masyarakat, di tengah harga pangan yang kian melonjak dan wacana harga kenaikan BBM subsidi. Bansos yang akan disalurkan terbagi menjadi tiga, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan subsidi untuk ojek hingga nelayan.

PEMBERIAN Bansos dipastikan meluncur dalam waktu dekat. Bansos itu sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM. Meski, hingga saat ini kenaikan harga BBM bersubsidi belum kunjung diumumkan pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, ada tiga jenis bansos yang akan diberikan. Ketiga jenis bansos itu yakni bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), serta bantuan transportasi bagi pemerintah daerah (pemda). Total anggaran untuk ketiga bansos itu mencapai Rp24,17 triliun.

“Kami baru saja membahas dengan Bapak Presiden mengenai pengalihan subsidi BBM. Bantalan sosial tambahan ini akan diberikan kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat dalam bentuk BLT pengalihan subsidi BBM sebesar Rp12,4 triliun,” kata Menkeu usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Senin (29/8).

Menkeu menjelaskan BLT tersebut segera dibayarkan oleh Kementerian Sosial sebesar Rp150.000 selama 4 kali. Sehingga total BLT yang diberikan sebesar Rp600.000 untuk setiap penerima. “Ibu Mensos akan membayarkannya dua kali, yaitu Rp300.000 pertama dan Rp300.000 kedua. Itu akan dibayarkan melalui berbagai saluran Kantor Pos di seluruh Indonesia untuk 20,65 juta keluarga penerima dengan anggaran Rp12,4 triliun,’’ tutur Ani.

Selain itu, Presiden juga menginstruksikan untuk membantu 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan melalui pemberian BSU sebesar Rp600.000. Total anggarannya Rp9,6 triliun.

Ani menyebut Kemenakertrans akan menerbitkan petunjuk teknis (juknis). Sehingga bisa langsung dilakukan pembayaran kepada para pekerja tersebut.

Kemudian, lanjut Ani, pemda juga diminta untuk melindungi daya beli masyarakat. Kementerian Keuangan akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dimana 2 persen dari Dana Transfer Umum yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp2,17 triliun untuk subsidi sektor transportasi. Itu antara lain mencakup angkutan umum, ojek, nelayan, serta untuk perlindungan sosial tambahan. ‘’Ini diharapkan akan bisa mengurangi tekanan kepada masyarakat dan bahkan mengurangi kemiskinan. Sehingga kita bisa memberikan dukungan kepada masyarakat yang memang dalam hari-hari ini dihadapkan pada tekanan terhadap kenaikan harga,’’ jelas bendahara negara.

Seluruh bantuan sosial melalui Kemensos, menurut Ani, akan diberikan minggu ini. Yang akan mendistribusikan adalah PT POS Indonesia. Lalu bantuan subsidi upah, diharapkan juga bisa jalan dalam waktu dekat. “Ini semua dilakukan dalam rangka memberikan bantalan sosial untuk masyarakat,” ucapnya.

Terpisah, Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata memastikan anggaran tambahan untuk bansos senilai Rp 24,17 triliun tersedia. Anggaran itu bersumber dari dana bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. “Untuk anggaran itu (Rp 24,17 triliun), saya pastikan itu anggaran bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. Jadi memang anggaran subsidi itu sudah ada Rp 502,4 triliun, (lalu) itu bansos ada anggarannya sendiri,” jelasnya.

Isa memerinci, Bansos Rp24,17 triliun bersumber dari tambahan anggaran Rp18,6 triliun yang telah disetujui DPR pada 19 Mei lalu. Serta berasal dari dana cadangan lain. Sehingga, total keseluruhannya mencapai sekitar Rp22 triliun. Kemudian, Rp2 triliun lainnya adalah earmarking dari DAU dan DBH. Sehingga total anggaran tambahan bansos itu mencapai Rp 24,17 triliun.

Harga Pertalite Jangan di Atas Rp10 Ribu/Liter

Besaran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga kini belum final. Pemerintah mendapat berbagai masukan agar kebijakan yang akan diambil tidak memberatkan masyarakat dan memicu inflasi yang tinggi.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, apabila pemerintah jadi menaikkan harga BBM bersubsidi, besarannya jangan sampai di atas Rp10 ribu per liter. “Kalau naiknya jadi Rp10 ribu per liter untuk Pertalite, saya sepakat. Tidak lebih dari Rp10 ribu per liter. Sebab, kalau sudah di atas Rp10 ribu per liter, lonjakan inflasinya pasti lebih tinggi dari perhitungan,’’ ujarnya.

Harga solar subsidi, lanjut dia, idealnya sekitar Rp7 ribu per liter. Hitungan harga ideal Rp10 ribu per liter untuk Pertalite dan Rp7 ribu per liter untuk solar itu bukan tanpa sebab. Mamit menyebutkan, ada komponen inflasi yang tentu akan menyertai kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan kisaran harga tersebut, kenaikan inflasi diproyeksikan mencapai 2 persen.

Menurut dia, inflasi saat ini mencapai 4–5 persen. Jika ada sumbangan inflasi 2 persen, inflasi total bisa mencapai 6–7 persen. “Kalau lebih dari Rp 10 ribu per liter, tentu sangat besar juga inflasinya. Apalagi kalau solar lebih dari Rp7 ribu per liter akan sangat memberatkan karena terkait transportasi darat dan sarana distribusi,’’ urai Mamit.

Dia juga berharap rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi tetap dilakukan. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pengguna BBM bersubsidi justru masyarakat kelas menengah atas. Adanya revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang saat ini masih dalam finalisasi diharapkan dapat memuat pembatasan tersebut. Dalam beleid yang baru itu, ada acuan detail tentang kriteria kendaraan apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. “Hampir seluruh penikmat BBM bersubsidi adalah masyarakat menengah ke atas. Dengan adanya pembatasan, saya kira pemberian subsidi bisa lebih klir dan tepat sasaran,” tutur Mamit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah membeberkan, harga BBM subsidi yang saat ini dijual masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Solar, misalnya, masih dijual Rp5.150 per liter. Jika menggunakan harga minyak mentah Indonesia atau ICP USD 105 per barel dan kurs rupiah Rp14.700 per dolar AS, solar seharusnya berada pada harga Rp13.950 per liter. “Jadi, harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37 persennya. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu Rp8.800 per liter,” tutur dia.

Sementara itu, untuk pertalite yang saat ini berada pada harga Rp7.650 per liter, dengan ICP USD 105 per barel dan kurs nilai tukar Rp14.700 per dolar AS, harga keekonomiannya seharusnya Rp14.450. Artinya, harga pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari yang seharusnya.

BBM jenis Pertamax dengan harga Rp12.500 per liter juga seharusnya memiliki harga Rp17.300 per liter. “Jadi, bahkan pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, yang berarti pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp4.800,” katanya.

Begitu pula LPG 3 kg. Saat ini harga jual per kg adalah Rp4.250. Namun, jika mengikuti harga riil, seharusnya Rp18.500 per kg. Dengan demikian, untuk setiap kg LPG, konsumen mendapatkan subsidi Rp14.250. “Jadi, kalau setiap kali beli LPG 3 kg, kita bayangkan mereka mendapatkan Rp 42.000 lebih,’’ jelasnya.

Anggota DPR Guspardi Gaus mengatakan, kenaikan harga pertalite dan solar yang proporsi jumlah penggunanya di atas 70 persen pasti akan menyulut inflasi. Kenaikan harga BBM akan mempunyai efek ganda. Yaitu, meningkatnya biaya mobilitas dan naiknya harga barang kebutuhan pokok masyarakat.

Kenaikan tersebut akan berdampak langsung bagi rakyat seperti buruh, petani, nelayan, bahkan karyawan swasta maupun pegawai pemerintahan itu sendiri. “Ini ada efek domino. Biaya transportasi dan logistik otomatis akan naik,” ungkapnya.

Hal itu, lanjut anggota Baleg DPR tersebut, tentu akan berakibat makin rendah dan melemahnya daya beli masyarakat. “Pemerintah perlu memperhatikan dampak dari setiap kebijakan yang diambil agar tidak sampai membebani masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, perlu beberapa perubahan alokasi APBN. Salah satunya anggaran transfer daerah yang belum dicairkan. Sebagian dana tersebut bisa direalokasi ke subsidi energi.

Selain itu, perlu menggeser sebagian anggaran infrastruktur yang bisa ditunda. Misalnya, menggeser anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Setidaknya sampai renegosiasi bunga utang kepada para kreditur melalui skema debt service suspension initiative (DSSI). (dee/lyn/c6/lum/han/c19/fal/jpg/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah akan menyalurkan dana bantuan sosial (Bansos) sebesar Rp24,17 triliun untuk masyarakat, di tengah harga pangan yang kian melonjak dan wacana harga kenaikan BBM subsidi. Bansos yang akan disalurkan terbagi menjadi tiga, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan subsidi untuk ojek hingga nelayan.

PEMBERIAN Bansos dipastikan meluncur dalam waktu dekat. Bansos itu sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM. Meski, hingga saat ini kenaikan harga BBM bersubsidi belum kunjung diumumkan pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, ada tiga jenis bansos yang akan diberikan. Ketiga jenis bansos itu yakni bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), serta bantuan transportasi bagi pemerintah daerah (pemda). Total anggaran untuk ketiga bansos itu mencapai Rp24,17 triliun.

“Kami baru saja membahas dengan Bapak Presiden mengenai pengalihan subsidi BBM. Bantalan sosial tambahan ini akan diberikan kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat dalam bentuk BLT pengalihan subsidi BBM sebesar Rp12,4 triliun,” kata Menkeu usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Senin (29/8).

Menkeu menjelaskan BLT tersebut segera dibayarkan oleh Kementerian Sosial sebesar Rp150.000 selama 4 kali. Sehingga total BLT yang diberikan sebesar Rp600.000 untuk setiap penerima. “Ibu Mensos akan membayarkannya dua kali, yaitu Rp300.000 pertama dan Rp300.000 kedua. Itu akan dibayarkan melalui berbagai saluran Kantor Pos di seluruh Indonesia untuk 20,65 juta keluarga penerima dengan anggaran Rp12,4 triliun,’’ tutur Ani.

Selain itu, Presiden juga menginstruksikan untuk membantu 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan melalui pemberian BSU sebesar Rp600.000. Total anggarannya Rp9,6 triliun.

Ani menyebut Kemenakertrans akan menerbitkan petunjuk teknis (juknis). Sehingga bisa langsung dilakukan pembayaran kepada para pekerja tersebut.

Kemudian, lanjut Ani, pemda juga diminta untuk melindungi daya beli masyarakat. Kementerian Keuangan akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dimana 2 persen dari Dana Transfer Umum yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp2,17 triliun untuk subsidi sektor transportasi. Itu antara lain mencakup angkutan umum, ojek, nelayan, serta untuk perlindungan sosial tambahan. ‘’Ini diharapkan akan bisa mengurangi tekanan kepada masyarakat dan bahkan mengurangi kemiskinan. Sehingga kita bisa memberikan dukungan kepada masyarakat yang memang dalam hari-hari ini dihadapkan pada tekanan terhadap kenaikan harga,’’ jelas bendahara negara.

Seluruh bantuan sosial melalui Kemensos, menurut Ani, akan diberikan minggu ini. Yang akan mendistribusikan adalah PT POS Indonesia. Lalu bantuan subsidi upah, diharapkan juga bisa jalan dalam waktu dekat. “Ini semua dilakukan dalam rangka memberikan bantalan sosial untuk masyarakat,” ucapnya.

Terpisah, Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata memastikan anggaran tambahan untuk bansos senilai Rp 24,17 triliun tersedia. Anggaran itu bersumber dari dana bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. “Untuk anggaran itu (Rp 24,17 triliun), saya pastikan itu anggaran bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. Jadi memang anggaran subsidi itu sudah ada Rp 502,4 triliun, (lalu) itu bansos ada anggarannya sendiri,” jelasnya.

Isa memerinci, Bansos Rp24,17 triliun bersumber dari tambahan anggaran Rp18,6 triliun yang telah disetujui DPR pada 19 Mei lalu. Serta berasal dari dana cadangan lain. Sehingga, total keseluruhannya mencapai sekitar Rp22 triliun. Kemudian, Rp2 triliun lainnya adalah earmarking dari DAU dan DBH. Sehingga total anggaran tambahan bansos itu mencapai Rp 24,17 triliun.

Harga Pertalite Jangan di Atas Rp10 Ribu/Liter

Besaran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga kini belum final. Pemerintah mendapat berbagai masukan agar kebijakan yang akan diambil tidak memberatkan masyarakat dan memicu inflasi yang tinggi.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, apabila pemerintah jadi menaikkan harga BBM bersubsidi, besarannya jangan sampai di atas Rp10 ribu per liter. “Kalau naiknya jadi Rp10 ribu per liter untuk Pertalite, saya sepakat. Tidak lebih dari Rp10 ribu per liter. Sebab, kalau sudah di atas Rp10 ribu per liter, lonjakan inflasinya pasti lebih tinggi dari perhitungan,’’ ujarnya.

Harga solar subsidi, lanjut dia, idealnya sekitar Rp7 ribu per liter. Hitungan harga ideal Rp10 ribu per liter untuk Pertalite dan Rp7 ribu per liter untuk solar itu bukan tanpa sebab. Mamit menyebutkan, ada komponen inflasi yang tentu akan menyertai kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan kisaran harga tersebut, kenaikan inflasi diproyeksikan mencapai 2 persen.

Menurut dia, inflasi saat ini mencapai 4–5 persen. Jika ada sumbangan inflasi 2 persen, inflasi total bisa mencapai 6–7 persen. “Kalau lebih dari Rp 10 ribu per liter, tentu sangat besar juga inflasinya. Apalagi kalau solar lebih dari Rp7 ribu per liter akan sangat memberatkan karena terkait transportasi darat dan sarana distribusi,’’ urai Mamit.

Dia juga berharap rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi tetap dilakukan. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pengguna BBM bersubsidi justru masyarakat kelas menengah atas. Adanya revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang saat ini masih dalam finalisasi diharapkan dapat memuat pembatasan tersebut. Dalam beleid yang baru itu, ada acuan detail tentang kriteria kendaraan apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. “Hampir seluruh penikmat BBM bersubsidi adalah masyarakat menengah ke atas. Dengan adanya pembatasan, saya kira pemberian subsidi bisa lebih klir dan tepat sasaran,” tutur Mamit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah membeberkan, harga BBM subsidi yang saat ini dijual masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Solar, misalnya, masih dijual Rp5.150 per liter. Jika menggunakan harga minyak mentah Indonesia atau ICP USD 105 per barel dan kurs rupiah Rp14.700 per dolar AS, solar seharusnya berada pada harga Rp13.950 per liter. “Jadi, harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37 persennya. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu Rp8.800 per liter,” tutur dia.

Sementara itu, untuk pertalite yang saat ini berada pada harga Rp7.650 per liter, dengan ICP USD 105 per barel dan kurs nilai tukar Rp14.700 per dolar AS, harga keekonomiannya seharusnya Rp14.450. Artinya, harga pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari yang seharusnya.

BBM jenis Pertamax dengan harga Rp12.500 per liter juga seharusnya memiliki harga Rp17.300 per liter. “Jadi, bahkan pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, yang berarti pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp4.800,” katanya.

Begitu pula LPG 3 kg. Saat ini harga jual per kg adalah Rp4.250. Namun, jika mengikuti harga riil, seharusnya Rp18.500 per kg. Dengan demikian, untuk setiap kg LPG, konsumen mendapatkan subsidi Rp14.250. “Jadi, kalau setiap kali beli LPG 3 kg, kita bayangkan mereka mendapatkan Rp 42.000 lebih,’’ jelasnya.

Anggota DPR Guspardi Gaus mengatakan, kenaikan harga pertalite dan solar yang proporsi jumlah penggunanya di atas 70 persen pasti akan menyulut inflasi. Kenaikan harga BBM akan mempunyai efek ganda. Yaitu, meningkatnya biaya mobilitas dan naiknya harga barang kebutuhan pokok masyarakat.

Kenaikan tersebut akan berdampak langsung bagi rakyat seperti buruh, petani, nelayan, bahkan karyawan swasta maupun pegawai pemerintahan itu sendiri. “Ini ada efek domino. Biaya transportasi dan logistik otomatis akan naik,” ungkapnya.

Hal itu, lanjut anggota Baleg DPR tersebut, tentu akan berakibat makin rendah dan melemahnya daya beli masyarakat. “Pemerintah perlu memperhatikan dampak dari setiap kebijakan yang diambil agar tidak sampai membebani masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, perlu beberapa perubahan alokasi APBN. Salah satunya anggaran transfer daerah yang belum dicairkan. Sebagian dana tersebut bisa direalokasi ke subsidi energi.

Selain itu, perlu menggeser sebagian anggaran infrastruktur yang bisa ditunda. Misalnya, menggeser anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Setidaknya sampai renegosiasi bunga utang kepada para kreditur melalui skema debt service suspension initiative (DSSI). (dee/lyn/c6/lum/han/c19/fal/jpg/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/