25 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

BPJS Batasi Pasien Terapi 2 Kali Sepekan

Seorang warga menunjukan kartu BPJS di kantor BPJS Jalan Karya Medan, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, membatasi layanan rehabilitasi medis atau fisioterapi. Dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018, tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan, diatur, tindakan fisioterapi dibatasi maksimal 2 kali dalam sepekan.

Hal ini mengundang Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) ikut berkomentar. IFI menolak penerapan peraturan tersebut, lantaran fisioterapi tidak bisa dibatasi seperti itu, sebab kebutuhan tiap pasien dalam mendapatkan terapi berbeda-beda. Jika disamaratakan maka hal ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief menuturkan, jika seseorang butuh terapi 3 kali dalam sepekan misalnya, maka orang tersebut bisa menggeser terapi ketiga pada minggu depannya, atau menunda.

“Kesepakatannya hanya mampu melakukan maksimal 2. Ini berkembang pada saat penyusunan, jika seseorang butuh 3 kali, ia bisa geser minggu depannya,” tutur Budi di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (30/7).

Dalam Kartu Indonesia Sehat (KIS), yang harus digunakan adalah pengobatan atau rehabilitas yang diperlukan terus menerus serta gawat darurat. Ia mengatakan, pasien fisioterapi bukanlah pasien yang berada dalam keadaan darurat, sehingga tidak perlu tindakan medis secara cepat dan terus menerus. “Dalam KIS, kalau gawat darurat, atau diperlukan terus menerus, itulah yang harus digunakan,” tegas Budi.

Menanggapi aksi yang dilakukan oleh IFI, pihaknya sudah meminta tim BPJS Kesehatan untuk melakukan sosialisasi. Sebetulnya, dalam hal ini fisioterapis tidak disinggung dalam peraturan tersebut. “Sebenarnya teman-teman fisioterapis di dalam Perjamkes Fisioterapis tidak disinggung, karena apa? Fisioterapis itu adalah tenaga ahli yang ia bisa kerjakan pekerjaannya atas rekomendasi spesialis medis,” jelas Budi.

Budi lalu menerangkan, tidak adanya fasilitas rehabilitasi medis, seperti fisioterapi di setiap rumah sakit itu, memang berbeda-beda penyebabnya. Bisa jadi, hal itu karena memang rumah sakit tersebut tidak memiliki dokter spesialis rehabilitasi medis. “Ini pembelajaran buat kita, mudah-mudahan rumah sakit itu bisa hire, atau ada dokter yang sudah dapat sertifikat, jadi sebenarnya kami enggak menyetop. Tapi nanti kami minta untuk merapat (ke fisioterapi),” katanya lagi.

Dalam UU praktik kedokteran, lanjutnya, ada peraturan lain yang menyebutkan, apabila tidak ada dokter tersebut dalam satu kabupaten kota, maka pelayanan rehabilitasi medik bisa tetap dijamin BPJS Kesehatan dengan syarat-syarat tertentu. “Misal di daerah enggak ada dokter spesialis, ia bisa menunjuk dokter umum yang ditunjuk rumah sakit (dan tersertifikasi),” pungkas Budi. (uji/jpc/saz)

Seorang warga menunjukan kartu BPJS di kantor BPJS Jalan Karya Medan, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, membatasi layanan rehabilitasi medis atau fisioterapi. Dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018, tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan, diatur, tindakan fisioterapi dibatasi maksimal 2 kali dalam sepekan.

Hal ini mengundang Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) ikut berkomentar. IFI menolak penerapan peraturan tersebut, lantaran fisioterapi tidak bisa dibatasi seperti itu, sebab kebutuhan tiap pasien dalam mendapatkan terapi berbeda-beda. Jika disamaratakan maka hal ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief menuturkan, jika seseorang butuh terapi 3 kali dalam sepekan misalnya, maka orang tersebut bisa menggeser terapi ketiga pada minggu depannya, atau menunda.

“Kesepakatannya hanya mampu melakukan maksimal 2. Ini berkembang pada saat penyusunan, jika seseorang butuh 3 kali, ia bisa geser minggu depannya,” tutur Budi di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (30/7).

Dalam Kartu Indonesia Sehat (KIS), yang harus digunakan adalah pengobatan atau rehabilitas yang diperlukan terus menerus serta gawat darurat. Ia mengatakan, pasien fisioterapi bukanlah pasien yang berada dalam keadaan darurat, sehingga tidak perlu tindakan medis secara cepat dan terus menerus. “Dalam KIS, kalau gawat darurat, atau diperlukan terus menerus, itulah yang harus digunakan,” tegas Budi.

Menanggapi aksi yang dilakukan oleh IFI, pihaknya sudah meminta tim BPJS Kesehatan untuk melakukan sosialisasi. Sebetulnya, dalam hal ini fisioterapis tidak disinggung dalam peraturan tersebut. “Sebenarnya teman-teman fisioterapis di dalam Perjamkes Fisioterapis tidak disinggung, karena apa? Fisioterapis itu adalah tenaga ahli yang ia bisa kerjakan pekerjaannya atas rekomendasi spesialis medis,” jelas Budi.

Budi lalu menerangkan, tidak adanya fasilitas rehabilitasi medis, seperti fisioterapi di setiap rumah sakit itu, memang berbeda-beda penyebabnya. Bisa jadi, hal itu karena memang rumah sakit tersebut tidak memiliki dokter spesialis rehabilitasi medis. “Ini pembelajaran buat kita, mudah-mudahan rumah sakit itu bisa hire, atau ada dokter yang sudah dapat sertifikat, jadi sebenarnya kami enggak menyetop. Tapi nanti kami minta untuk merapat (ke fisioterapi),” katanya lagi.

Dalam UU praktik kedokteran, lanjutnya, ada peraturan lain yang menyebutkan, apabila tidak ada dokter tersebut dalam satu kabupaten kota, maka pelayanan rehabilitasi medik bisa tetap dijamin BPJS Kesehatan dengan syarat-syarat tertentu. “Misal di daerah enggak ada dokter spesialis, ia bisa menunjuk dokter umum yang ditunjuk rumah sakit (dan tersertifikasi),” pungkas Budi. (uji/jpc/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/