28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Tragedi Kanjuruhan: Perlu Belajar dari Final 1985

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tragedi Kanjuruhan yang memakan korban jiwa 127 orang merupakan duka bagi dunia sepak bola. Tragedi ini menjadi noda hitam bagi sepak bola Indonesia dan dunia.

Pengamat sepak bola asal Sumatera Utara, Indra Efendi Rangkuti mengatakan, Tragedi Kanjuruhan ini sebagai bukti belum dewasanya suporter klub sepak bola di Indonesia menerima kekalahan.

“Kalah menang dalam pertandingan sepak bola itu hal biasa. Tak ada arti sebuah kemenangan pertandingan sepak bola dibandingkan kehilangan nyawa manusia,” ujar Indra Efendi kepada Sumut Pos, Minggu (2/10).

Diungkapkan, suporter sekarang ini perlu belajar dari final Perserikatan tahun 1985. Saat itu, final yang mempertemukan PSMS Medan dengan Persib Bandung tersebut disaksikan langsung sekitar 150 ribu penonton.

Bahkan, Stadion Gelora Bung Karo (Stadion Gelora Senayan) tidak mampu menampung jumlah penonton. Akibatnya penonton meluber hingga pinggir lapangan. Pertandingan akhirnya dimenangkan PSMS. Duel yang belakangan diberi tajuk El Clasico Indonesia tersebut berjalan tertib tidak ada kerusuhan.

“Penoton saat itu didominasi suporter Persib Bandung. Tapi mereka legowo menerima kekalahan. Mereka meninggalkan stadion dengan tertib dan membuat kerusuhan,” ungkapnya.

Indra menegaskan PSSI juga perlu berjalan ke Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Saat ini Liga Inggris dikenal paling aman di dunia. Bahkan, tidak ada pembatas antara penonton dengan lapangan.

“Inggris melalui FA belajar dari kejadian Heysell. FA bersama dengan klub bekerja sama membina suporter. Mereka memberi pemahaman kepada suporter. Pada akhirnya Liga Inggris sekarang paling aman di dunia,” paparnya.

Indra mengaku khawatir Tragedi Kanjuruhan tersebut akan membuat sepak bola Indonesia mendapat sanksi dari FIFA. Untuk itu, dia berharap agar PSSI segera menjalin komunikasi dengan FIFA sebagai bukti komitmen untuk mengedukasi suporter.

“Imbas Tragedi Heysell, klub Inggris dilarang tampil di kompetisi UEFA. Namun FA dan klub berbenah, sehingga tahun 1991 mereka berhasil meyakinkan FIFA bahwa suporter mereka telah berubah. PSSI harus belajar dari sana,” pungkasnya. (dek)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tragedi Kanjuruhan yang memakan korban jiwa 127 orang merupakan duka bagi dunia sepak bola. Tragedi ini menjadi noda hitam bagi sepak bola Indonesia dan dunia.

Pengamat sepak bola asal Sumatera Utara, Indra Efendi Rangkuti mengatakan, Tragedi Kanjuruhan ini sebagai bukti belum dewasanya suporter klub sepak bola di Indonesia menerima kekalahan.

“Kalah menang dalam pertandingan sepak bola itu hal biasa. Tak ada arti sebuah kemenangan pertandingan sepak bola dibandingkan kehilangan nyawa manusia,” ujar Indra Efendi kepada Sumut Pos, Minggu (2/10).

Diungkapkan, suporter sekarang ini perlu belajar dari final Perserikatan tahun 1985. Saat itu, final yang mempertemukan PSMS Medan dengan Persib Bandung tersebut disaksikan langsung sekitar 150 ribu penonton.

Bahkan, Stadion Gelora Bung Karo (Stadion Gelora Senayan) tidak mampu menampung jumlah penonton. Akibatnya penonton meluber hingga pinggir lapangan. Pertandingan akhirnya dimenangkan PSMS. Duel yang belakangan diberi tajuk El Clasico Indonesia tersebut berjalan tertib tidak ada kerusuhan.

“Penoton saat itu didominasi suporter Persib Bandung. Tapi mereka legowo menerima kekalahan. Mereka meninggalkan stadion dengan tertib dan membuat kerusuhan,” ungkapnya.

Indra menegaskan PSSI juga perlu berjalan ke Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Saat ini Liga Inggris dikenal paling aman di dunia. Bahkan, tidak ada pembatas antara penonton dengan lapangan.

“Inggris melalui FA belajar dari kejadian Heysell. FA bersama dengan klub bekerja sama membina suporter. Mereka memberi pemahaman kepada suporter. Pada akhirnya Liga Inggris sekarang paling aman di dunia,” paparnya.

Indra mengaku khawatir Tragedi Kanjuruhan tersebut akan membuat sepak bola Indonesia mendapat sanksi dari FIFA. Untuk itu, dia berharap agar PSSI segera menjalin komunikasi dengan FIFA sebagai bukti komitmen untuk mengedukasi suporter.

“Imbas Tragedi Heysell, klub Inggris dilarang tampil di kompetisi UEFA. Namun FA dan klub berbenah, sehingga tahun 1991 mereka berhasil meyakinkan FIFA bahwa suporter mereka telah berubah. PSSI harus belajar dari sana,” pungkasnya. (dek)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/