25 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Hing: Atlet Indonesia tak Punya Mental Juara

JAKARTA-Buruknya prestasi olahraga di Indonesia ternyata bukan disebabkan kurangnya skill atau kemampuan yang dimiliki para atlet. Pasalnya, porsi latihan atlet saat ini dirasa sudah memadai.

Master Trainer pertama di Asia Teng gara dan Indonesia Hingdranata Nikolay, mengatakan, permasalahan utama prestasi olahraga di Indonesia meredup, karena tak adanya mental juara yang dimiliki para atlet. Problem itu begitu terasa di cabang bulu tangkis dan sepak bola yang menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.

“Kalau kita bahas mengenai mental itu ibarat mesin ada yang mengizinkan kemampuan kita keluar, namanya keyakinan. Kalau kita yakin maka kemampuan kita akan keluar. Tapi kalau tidak yakin maka itu tidak keluar,” tutur pria yang akrab disapa Hing ini.

Namun, lanjut Hing, hal tersebut tidak dimengerti para atlet, karena mungkin tidak mempelajari ke arah sana. Atlet Indonesia biasanya antara keinginan dengan keyakinannya selalu berlawanan. Misalnya, punya kemauan besar tapi tidak yakin, ya tidak akan bisa. Kalau ada orang tidak ingin menang tapi dia yakin, pasti bakal menang.

“Sekarang 1000 orang dikirim ke Pusat Latihan Nasional (Pelatnas), kenapa hanya 10 yang bagus, sisanya tidak? Padahal porsi latihan, skill, pengetahuan dan fisiknya sama. Perbedaannya itu ada di mental strategi,” terangnya. Pakar neurologistic programing ini menambahkan, seorang atlet berhadapan dengan orang yang sudah pernah mengalahkan seorang atlet lebih dari sekali. “Maka, sebelum main, mental dan strateginya sudah kacau karena dia sudah punya bayangan akan kalah lagi,” sambungnya.

Kalau untuk teknis dan skill, atlet di Indonesia sudah sangat baik. Sepak bola misalnya, negara mana di dunia ini yang dicekokin siaran langsung dari lima negara dengan kualitas sepak bola terbaik di eropa, seperti Italia, Inggris, Spanyol, Belanda, Jerman semuanya disiarkan di Indonesia per pekan. Sebenarnya dengan melihat orang bermain bagus saja, sudah merekam teknik dan knowledge-nya.

Tapi, kalau mentalnya tidak bagus dia akan menganggap apa yang dilakukan pemain bola di televisi tidak akan bisa dia lakukan, karena itu bukan dirinya.
“Jadi teknis, menurut saya sudah banyak dan materi yang disampaikan para pelatih sudah bagus. Jadi bukan teknik masalahnya, cuma mentalnya kita kalah,” simpulnya.

Atlet Indonesia, seharusnya bisa membungkus skill dengan mental, sehingga atlet itu sudah sesuai dengan flow-nya dan tak perlu berpikir soal teknik. Jadi sudah otomatis bisa melakukannya. Artinya antara kemampuan, keyakinan, dan kemauan harus dipadukan maka berhasil. Tapi keyakinan itu bukan hanya diucapkan tapi ada di dalam pikirannya.

Oleh karena itu, Hing ingin mendatangkan spesialis master trainer khusus soal olahraga, di bidang mentalnya, seperti menempa mental atlet. Harapannya semoga ini terwujud di April mendatang dan mudah-mudahan organisasi olahraga di Indonesia seperti PSSI dan PBSI, serta KONI bisa memikirkan jika ini ada alat bantu lain untuk meningkatkan prestasi.

“Saya pernah ditantang satu organisasi olahraga Indonesia, apa jaminannya jika yang saya lakukan bisa berguna kepada atlet? Saya jawab setidaknya tak akan bertambah buruk prestasi. Kalau prestasinya sudah buruk kenapa takut mencoba,” tandasnya. (bbs/jpnn)

JAKARTA-Buruknya prestasi olahraga di Indonesia ternyata bukan disebabkan kurangnya skill atau kemampuan yang dimiliki para atlet. Pasalnya, porsi latihan atlet saat ini dirasa sudah memadai.

Master Trainer pertama di Asia Teng gara dan Indonesia Hingdranata Nikolay, mengatakan, permasalahan utama prestasi olahraga di Indonesia meredup, karena tak adanya mental juara yang dimiliki para atlet. Problem itu begitu terasa di cabang bulu tangkis dan sepak bola yang menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.

“Kalau kita bahas mengenai mental itu ibarat mesin ada yang mengizinkan kemampuan kita keluar, namanya keyakinan. Kalau kita yakin maka kemampuan kita akan keluar. Tapi kalau tidak yakin maka itu tidak keluar,” tutur pria yang akrab disapa Hing ini.

Namun, lanjut Hing, hal tersebut tidak dimengerti para atlet, karena mungkin tidak mempelajari ke arah sana. Atlet Indonesia biasanya antara keinginan dengan keyakinannya selalu berlawanan. Misalnya, punya kemauan besar tapi tidak yakin, ya tidak akan bisa. Kalau ada orang tidak ingin menang tapi dia yakin, pasti bakal menang.

“Sekarang 1000 orang dikirim ke Pusat Latihan Nasional (Pelatnas), kenapa hanya 10 yang bagus, sisanya tidak? Padahal porsi latihan, skill, pengetahuan dan fisiknya sama. Perbedaannya itu ada di mental strategi,” terangnya. Pakar neurologistic programing ini menambahkan, seorang atlet berhadapan dengan orang yang sudah pernah mengalahkan seorang atlet lebih dari sekali. “Maka, sebelum main, mental dan strateginya sudah kacau karena dia sudah punya bayangan akan kalah lagi,” sambungnya.

Kalau untuk teknis dan skill, atlet di Indonesia sudah sangat baik. Sepak bola misalnya, negara mana di dunia ini yang dicekokin siaran langsung dari lima negara dengan kualitas sepak bola terbaik di eropa, seperti Italia, Inggris, Spanyol, Belanda, Jerman semuanya disiarkan di Indonesia per pekan. Sebenarnya dengan melihat orang bermain bagus saja, sudah merekam teknik dan knowledge-nya.

Tapi, kalau mentalnya tidak bagus dia akan menganggap apa yang dilakukan pemain bola di televisi tidak akan bisa dia lakukan, karena itu bukan dirinya.
“Jadi teknis, menurut saya sudah banyak dan materi yang disampaikan para pelatih sudah bagus. Jadi bukan teknik masalahnya, cuma mentalnya kita kalah,” simpulnya.

Atlet Indonesia, seharusnya bisa membungkus skill dengan mental, sehingga atlet itu sudah sesuai dengan flow-nya dan tak perlu berpikir soal teknik. Jadi sudah otomatis bisa melakukannya. Artinya antara kemampuan, keyakinan, dan kemauan harus dipadukan maka berhasil. Tapi keyakinan itu bukan hanya diucapkan tapi ada di dalam pikirannya.

Oleh karena itu, Hing ingin mendatangkan spesialis master trainer khusus soal olahraga, di bidang mentalnya, seperti menempa mental atlet. Harapannya semoga ini terwujud di April mendatang dan mudah-mudahan organisasi olahraga di Indonesia seperti PSSI dan PBSI, serta KONI bisa memikirkan jika ini ada alat bantu lain untuk meningkatkan prestasi.

“Saya pernah ditantang satu organisasi olahraga Indonesia, apa jaminannya jika yang saya lakukan bisa berguna kepada atlet? Saya jawab setidaknya tak akan bertambah buruk prestasi. Kalau prestasinya sudah buruk kenapa takut mencoba,” tandasnya. (bbs/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/