TAK ada petinju hebat tanpa seorang pelatih yang hebat.
Mungkin pesan moral tersebut yang harus dimaknai oleh para pegiat dan pelatih tinju amatir yang saat ini berada di Nabire. Mau bagaimana lagi, meski jumlah petinju dan sasana yang tersebar di sana cukup banyak, namun kualitas pelatih masih jauh dari standar. Kondisi itu yang membuat tinju Nabire seakan gemuk secara kuantitas namun kualitasnya keropos.
“Candradimuka tinju Nasional sebenarnya ada di tangan pelatih. Karena membentuk seorang petinju yang andal butuh proses yang panjang. Seorang pelatih juga harus memiliki kemahiran untuk memadukan teori di kertas dengan praktek di lapangan. Karena yang dilatih bukan seorang tukang pukul, tapi petinju adalah seorang olahragawan,” jelas pelatih tinju Sasana Rokatenda Sidoarjo, Yani Malhendo.
Memang, sebagaimana diketahui, dari ratusan petinju dan belasan sasana yang tersebar di Nabire, ternyata tidak sebanding dengan jumlah pelatih yang ada di sana. Untuk sasana yang besar, memang memiliki satu pelatih kepala dan dua orang asisten. Sementara sasana kecil dan baru bermunculan hanya bisa ditangani oleh satu orang pelatih. Padahal, paling minin, setiap sasana yang ada di Nabire memiliki 15 orang petinju. “Untuk mencari pelatih di Nabire memang sulit, karena olahraga ini tidak begitu menjanjikan bagi kebutuhan ekonomi keluarga. Toh, kami yang sementara bertahan menjadi pelatih saat ini, itu hanya karena semangat dan hobi saja,” ungkap pelatih tinju Sasana Cendrawasih, Marthen Sermumes.
Tak hanya masalah jumlah, kualitas pelatih yang ada di Nabire pun sebagian besar masih berada di bawah standar layak. Memang, dari total 18 pelatih yang ada di Nabire, hanya terdapat tiga pelatih yang memiliki lisensi pelatih dari Asoasiasi Tinju Amatir Dunia (AIBA), yakni Marthen Sermumes, Festus Maran, dan Arius Womsiwor.
Itu pun, dua nama terakhir yang disebutkan namanya tersebut, belum pernah meng-upgrade ilmu kepelatihan mereka setelah mengambil lisensi kepelatihan pada 1995 silam. Sementara yang lainnya hanya mengandalkan pengalaman mereka sebagai mantan petinju.
Nah, karena kualitas dan jumlah pelatih yang minim tersebut, Marthen mengatakan, banyak petinju di Nabire juga miskin regulasi. Seperti pemahaman seorang petinju atas aturan di atas ring yang masih rendah. Seperti, kapan saat mengeluarkan pukulan yang menghasilkan poin dan mana yang tidak dihitung oleh wasit. “Sebenarnya itu tugas pelatih, tapi banyak pelatih yang juga tidak tahu tentang aturan- aturan ini,” jelasnya. (dik/jpnn)