31 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Impikan Punya Museum yang Simpan Memorabilia Skuad Garuda

SUMUTPOS.CO – Komunitas Jersey Timnas Indonesia dan Sejarah yang Dituturkan lewat Pameran Impikan Punya Museum yang Simpan Memorabilia Skuad Garuda, Ada banyak cerita di balik jersey-jersey timnas Indonesia dari berbagai edisi Piala AFF yang tengah dipamerkan di Kota Jogja. Kesadaran tentang pentingnya jersey sebagai media bercerita mulai tumbuh di kalangan pesepak bola tanah air.

PADA jersey-jersey yang terpajang berjejer itu bersemayam beribu kebanggaan. Bagaimana, misalnya, seorang Yeyen Tumena dipercaya mengawal pertahanan menggunakan nomor punggung 4 di Piala Tiger (kini Piala AFF) 1996.

Padahal, Yeyen, jebolan PSSI Primavera, masih “bau kencur” saat itu. Baru 20 tahun. Sedangkan Piala Tiger 1996 adalah edisi pertama turnamen bergengsi antarnegara-negara Asia Tenggara tersebut.

“Yeyen menggunakan jersey itu di semifinal melawan Malaysia,” kata Budi Frastio, founder Komunitas Jersey Timnas Indonesia (KJTI), kepada Jawa Pos Radar Jogja kemarin (22/12).

Demikianlah, di tiap-tiap jersey yang dipajang di Garasi Tirtodipuran, Kota Jogja, dalam pameran bertajuk KJTI Dolan ke Jogja itu, ada banyak lembar sejarah yang tersimpan di dalamnya. Terutama yang berkaitan dengan kiprah Garuda –julukan timnas Indonesia– di Piala AFF. “Jadi, selain melihat desainnya, kita bisa tahu sejarahnya,” kata Budi saat pembukaan pameran kemarin.

Berlangsung dari kemarin sampai Selasa (27/12) depan, pameran itu berbarengan dengan mulai tampilnya Garuda di Piala AFF 2022. Lawan pertamanya hari ini adalah Kamboja, lawan pertama yang juga dihadapi Garuda di Piala Tiger 1996.

Tak cuma sejarah kebanggaan yang terceritakan melalui jersey-jersey itu. Ada pula kisah kekecewaan dan kekelaman. Kekecewaan sudah pasti banyak karena sampai sekarang belum sekali pun Indonesia menjadi juara meskipun sudah enam kali tembus ke final.

Jersey bernomor punggung 11 milik Bima Sakti bahkan memantulkan kisah kekelaman Garuda pada Piala Tiger 1998 di Vietnam. Di laga terakhir grup A ketika itu, Indonesia dan Thailand main “sepak bola gajah” demi menghindari tuan rumah Vietnam di semifinal.

Indonesia akhirnya kalah 2-3 setelah Mursyid Effendi memasukkan bola ke gawang sendiri. Masih terekam jelas dalam berbagai video di YouTube bagaimana beberapa pemain Indonesia lainnya justru bertepuk tangan atas gol itu. Skandal memalukan yang jadi perhatian dunia.

Terhindar dari Vietnam, Indonesia toh akhirnya kalah juga 1-2 oleh Singapura di semifinal. Dan, Singapura yang malah jadi juara setelah menundukkan tim tuan rumah 1-0.

Jadi, sebenarnya Vietnam tidak sekuat itu. Di fase grup pun Singapura bisa menahan mereka 0-0. Lalu, kenapa Indonesia dan Thailand setakut itu sampai tega mengorbankan sportivitas? “Kalau sebatas oh kita takut ketemu Vietnam, sebetulnya agak gak masuk akal. Tapi, balik lagi, memang kontroversi itu nggak bisa terjawab (hingga sekarang, Red),” lanjut Budi.

KJTI terbentuk pada 18 Maret 2017. Berangkat dari keprihatinan segelintir orang atas minimnya minat mayoritas masyarakat Indonesia terhadap jersey timnas. “Awalnya saya juga nggak suka, sukanya (jersey, Red) Arsenal. Tapi, setelah melihat (jersey timnas) banyak dan unik-unik, saya jadi kepikiran kenapa kita malah memilih koleksi jersey dari negara lain,” jelas dia.

Akhirnya komunitas itu terbentuk di Jakarta dan menyepakati bahwa jersey Garuda bagian dari sejarah. Untuk itu, ke depan, KJTI berencana mewujudkan semacam museum untuk merawat ingatan dan mengapresiasi sepak terjang timnas.

Jogja dipilih sebagai lokasi pameran, kata Budi, bukannya tanpa alasan. Di Jogja-lah PSSI didirikan pada 19 April 1930. “Kami pengin Jogja jadi awalan membuka jalan kita untuk ke depan bisa punya (semacam, Red) museum. Penginnya suatu saat di GBK (Gelora Bung Karno, Jakarta), orang datang bukan hanya melihat pertandingan, tapi juga jersey, piala, sepatu, atau sejarah yang dibungkus melalui berbagai memorabilia,” jelasnya.

Untuk bisa mendapatkan berbagai jersey yang dipamerkan, Budi mengakui tidak mudah. Sebab, masih banyak pesepak bola atau mantan pesepak bola yang belum menyadari pentingnya jersey sebagai media bercerita.

Mereka sering kali asal memberikan jersey kepada orang lain. Untung, lanjut Budi, tingkat kesadaran itu mulai tumbuh. Bahkan, sebagian pemain melakukan kegiatan lelang dan menjual jersey koleksi mereka dengan harga tinggi. “Kalau BP (Bambang Pamungkas, Red) itu, dia aware dari awal bahwa jersey timnas punya nilai. Dia biasanya ngelepas jersey dilelang buat amal,” ujar Budi memberi contoh.

Daya tarik timnas itu pula yang membawa langkah Iklil ke pameran kemarin. Pria 23 tahun asal Sleman, Jogjakarta, tersebut ingin melihat langsung bentuk fisik jersey yang dipakai para penggawa Garuda. “Pengin lihat jersey dari masa ke masa karena penasaran. Setahuku, jersey Indonesia yang ngeluarin beda-beda. Ada Nike, Adidas, dan baru tahu ada pula Puma serta Mikasa,” terangnya. (*/c9/ttg/jpg)

SUMUTPOS.CO – Komunitas Jersey Timnas Indonesia dan Sejarah yang Dituturkan lewat Pameran Impikan Punya Museum yang Simpan Memorabilia Skuad Garuda, Ada banyak cerita di balik jersey-jersey timnas Indonesia dari berbagai edisi Piala AFF yang tengah dipamerkan di Kota Jogja. Kesadaran tentang pentingnya jersey sebagai media bercerita mulai tumbuh di kalangan pesepak bola tanah air.

PADA jersey-jersey yang terpajang berjejer itu bersemayam beribu kebanggaan. Bagaimana, misalnya, seorang Yeyen Tumena dipercaya mengawal pertahanan menggunakan nomor punggung 4 di Piala Tiger (kini Piala AFF) 1996.

Padahal, Yeyen, jebolan PSSI Primavera, masih “bau kencur” saat itu. Baru 20 tahun. Sedangkan Piala Tiger 1996 adalah edisi pertama turnamen bergengsi antarnegara-negara Asia Tenggara tersebut.

“Yeyen menggunakan jersey itu di semifinal melawan Malaysia,” kata Budi Frastio, founder Komunitas Jersey Timnas Indonesia (KJTI), kepada Jawa Pos Radar Jogja kemarin (22/12).

Demikianlah, di tiap-tiap jersey yang dipajang di Garasi Tirtodipuran, Kota Jogja, dalam pameran bertajuk KJTI Dolan ke Jogja itu, ada banyak lembar sejarah yang tersimpan di dalamnya. Terutama yang berkaitan dengan kiprah Garuda –julukan timnas Indonesia– di Piala AFF. “Jadi, selain melihat desainnya, kita bisa tahu sejarahnya,” kata Budi saat pembukaan pameran kemarin.

Berlangsung dari kemarin sampai Selasa (27/12) depan, pameran itu berbarengan dengan mulai tampilnya Garuda di Piala AFF 2022. Lawan pertamanya hari ini adalah Kamboja, lawan pertama yang juga dihadapi Garuda di Piala Tiger 1996.

Tak cuma sejarah kebanggaan yang terceritakan melalui jersey-jersey itu. Ada pula kisah kekecewaan dan kekelaman. Kekecewaan sudah pasti banyak karena sampai sekarang belum sekali pun Indonesia menjadi juara meskipun sudah enam kali tembus ke final.

Jersey bernomor punggung 11 milik Bima Sakti bahkan memantulkan kisah kekelaman Garuda pada Piala Tiger 1998 di Vietnam. Di laga terakhir grup A ketika itu, Indonesia dan Thailand main “sepak bola gajah” demi menghindari tuan rumah Vietnam di semifinal.

Indonesia akhirnya kalah 2-3 setelah Mursyid Effendi memasukkan bola ke gawang sendiri. Masih terekam jelas dalam berbagai video di YouTube bagaimana beberapa pemain Indonesia lainnya justru bertepuk tangan atas gol itu. Skandal memalukan yang jadi perhatian dunia.

Terhindar dari Vietnam, Indonesia toh akhirnya kalah juga 1-2 oleh Singapura di semifinal. Dan, Singapura yang malah jadi juara setelah menundukkan tim tuan rumah 1-0.

Jadi, sebenarnya Vietnam tidak sekuat itu. Di fase grup pun Singapura bisa menahan mereka 0-0. Lalu, kenapa Indonesia dan Thailand setakut itu sampai tega mengorbankan sportivitas? “Kalau sebatas oh kita takut ketemu Vietnam, sebetulnya agak gak masuk akal. Tapi, balik lagi, memang kontroversi itu nggak bisa terjawab (hingga sekarang, Red),” lanjut Budi.

KJTI terbentuk pada 18 Maret 2017. Berangkat dari keprihatinan segelintir orang atas minimnya minat mayoritas masyarakat Indonesia terhadap jersey timnas. “Awalnya saya juga nggak suka, sukanya (jersey, Red) Arsenal. Tapi, setelah melihat (jersey timnas) banyak dan unik-unik, saya jadi kepikiran kenapa kita malah memilih koleksi jersey dari negara lain,” jelas dia.

Akhirnya komunitas itu terbentuk di Jakarta dan menyepakati bahwa jersey Garuda bagian dari sejarah. Untuk itu, ke depan, KJTI berencana mewujudkan semacam museum untuk merawat ingatan dan mengapresiasi sepak terjang timnas.

Jogja dipilih sebagai lokasi pameran, kata Budi, bukannya tanpa alasan. Di Jogja-lah PSSI didirikan pada 19 April 1930. “Kami pengin Jogja jadi awalan membuka jalan kita untuk ke depan bisa punya (semacam, Red) museum. Penginnya suatu saat di GBK (Gelora Bung Karno, Jakarta), orang datang bukan hanya melihat pertandingan, tapi juga jersey, piala, sepatu, atau sejarah yang dibungkus melalui berbagai memorabilia,” jelasnya.

Untuk bisa mendapatkan berbagai jersey yang dipamerkan, Budi mengakui tidak mudah. Sebab, masih banyak pesepak bola atau mantan pesepak bola yang belum menyadari pentingnya jersey sebagai media bercerita.

Mereka sering kali asal memberikan jersey kepada orang lain. Untung, lanjut Budi, tingkat kesadaran itu mulai tumbuh. Bahkan, sebagian pemain melakukan kegiatan lelang dan menjual jersey koleksi mereka dengan harga tinggi. “Kalau BP (Bambang Pamungkas, Red) itu, dia aware dari awal bahwa jersey timnas punya nilai. Dia biasanya ngelepas jersey dilelang buat amal,” ujar Budi memberi contoh.

Daya tarik timnas itu pula yang membawa langkah Iklil ke pameran kemarin. Pria 23 tahun asal Sleman, Jogjakarta, tersebut ingin melihat langsung bentuk fisik jersey yang dipakai para penggawa Garuda. “Pengin lihat jersey dari masa ke masa karena penasaran. Setahuku, jersey Indonesia yang ngeluarin beda-beda. Ada Nike, Adidas, dan baru tahu ada pula Puma serta Mikasa,” terangnya. (*/c9/ttg/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/