26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Lembaga Terkorup di Indonesia

Hasil Survey Transparancy Internasional Indonesia (TII), legislative (DPR/DPRD) lagi–lagi memecahkan rekor menjadi lembaga terkorup di Indonesia, tahun 2009 dan 2010 masih tetap di peringkat teratas dengan skor 4,4 diikuti lembaga peradilan dan kepolisian dan partai politik, kementrian dan diikuti swasta.

Caretaker Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Andris Wabdaron menya takan, survey yang dilaku kan pada tahun 2010, DPR menjuarai peringkat lembaga terkorup di republik ini bila dihadap-hadapkan dengan lembaga yudikatif dan eksekutif.

‘’Fakta sejumlah anggotanya dari berbagai komisi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat kasus suap, gratifikasi, percaloan, dan korupsi anggaran,’’ ujarnya dalam siaran pers yang diterima Manokwari Pos, Senin (1/8).

Khusus di Propinsi Papua Barat, menurut LP3BH, sejak tahun 2005 telah ada indikasi berbagai kasus korupsi hampir di semua kabupaten/kota di propinsi ini. Sebagian sudah disidik dan disidangkan di Pengasilan Negeri bahkan ada yang disidangkan di Pengadilan Tipikor. Dan banyak pejabat publik yang harus dilempar ke balik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya akibat mencuri uang rakyat/negara.

‘’Ini menjadi tantangan bagi lembaga penegak hukum, kejaksaan dan kepolisian di daerah ini. Kita tidak bisa berharap banyak kepada KPK akan bisa melakukan pemantauan terhadap indikasi korupsi di daerah-daerah khususnya DPRD kabupaten/kota serta propinsi Papua Barat,’’ tandasnya.

LP3BH mengajak segenap masyarakat di Papua Barat untuk mendukung dan mensupport  kejaksaan dan kepolisian untuk memberantas korupsi di daerah ini. ‘’Jangan ada ampun bagi pejabat publik yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,’’ tegasnya.

LP3BH Manokwari lanjut Andris, melalui Jaringan Advokasi LSM Papua Barat, yang  saat ini lagi konsen pada advokasi anggaran publik, mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Manokwari dengan berani dan siap mengadapi keputusannya menetapkan 44 anggota DPRD Propinsi Papua Barat sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi.‘’Ini menunjukan bahwa Kejaksaan tidak main–main dalam menyeret penjabat publik yang terindikasi menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri dan atau kelompok,’’ tambahnya.(lm/jpnn)

Bulan-bulanan Kritik

Lembaga tinggi Negara serupa DPR menjadi tumpuan harapan seluruh anak negeri agar bisa memperoleh hak-hak dasar mereka setelah menunaikan kewajiban dalam berbagai pemilu. Tapi realitanya mengecewakan.

Peminat kajian sosial keagamaan Ahmad Arif berpendapat, DPR justeru menjadi bulan-bulanan kritik masyarakat luas yang tidak puas dengan kinerja dan performa mereka. Tragisnya, laiknya pendekar mabuk, kini DPR sedang mencari-cari objek dari kekesalan mereka terhadap tsunami kritikan yang tak berhenti menerjang dan menghantam dari semua sisi. Objek itu akan dijadikan isu pengalih dari isu yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, lembaga yang katanya terhormat itu akan mensomasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) karena dinilai memberikan informasi menyesatkan kepada media massa karena telah menyebarkan siaran pers soal uang pulsa anggota DPR. Jika somasi betul dilakukan, bukankah itu semakin menegaskan bentuk arogansi dan sikap antikritik DPR?

Sebelumnya, pelesiran DPR berbungkus kunjungan kerja atau studi banding ke sejumlah Negara di Eropa, China dan Australia, yang menghabiskan uang rakyat lebih dari Rp 12 milliar, juga mendapat sorotan tajam. Selain itu, ngototnya mereka membangunkan gedung baru super megah dan mewah yang menelan Rp 1.16 triliun – meskipun kini beredar angka Rp 777 milliar sebagai koreksi atas angka sebelumnya- menjadi preseden buruk.

Dalam sebuah tulisannya, lebih jauh Ahmad Arif  menyatakan, Beberapa waktu lalu LSM Kemitraan mengeluarkan hasil surveinya yang menyatakan bahwa legislatif adalah lembaga terkorup di Indonesia. Hal yang sangat merisaukan adalah bahwa hasil tersebut tak berbeda dengan hasil survey yang dilakukan tahun 2001 yang pernah dilakukan Transparansi Internasional.

Artinya, korupsi di legislatif ternyata tak berubah meskipun sudah dalam rentang waktu 10 tahun. Fakta ini tentu sangat menyesakkan dada. Tiada tahun yang berlalu tanpa melihat anggota legislatif yang jadi pesakitan; menjadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi, dan kemudian dikirim ke penjara oleh hakim karena terbukti bersalah.
Mereka yang diadili itu ada yang mantan anggota legislatif periode 1999-2004, periode 2004-2009, dan beberapa di antaranya adalah hasil pemilu 2009 yang lalu. Kadang kala kasusnya bukan satu-dua, melainkan sudah beramai-ramai, sehingga disebut korupsi berjamaah.

Pernah ada kasus di satu kabupaten di Jawa, kejaksaan menangkap 39 mantan anggota DPRD sekaligus, seperti juga KPK beberapa waktu lalu yang menangkap 26 mantan anggota DPR-RI karena kasus korupsi (suap) pemilihan Gubernur Bank Indonesia.

Seperti apa modus korupsi di legislatif? Beberapa analisis menunjukkan modus-modus yang sangat menarik, dari cara paling kasar sampai cara paling halus.

Pertama, legislatif memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, yang dalam prosesnya melibatkan juga pihak eksekutif.

Kedua, anggota legislatif menyalurkan dana APBD bagi lembaga/yayasan fiktif, yang biasanya melibatkan rekan atau sahabat para anggota legislatif.

Ketiga, anggota legislatif melakukan manipulasi perjalanan dinas.

Korupsi oleh legislatif juga terjadi dalam bentuk kongkalikong para anggota legislatif dengan pihak swasta dalam meloloskan program pembangunan tertentu, dan kemudian perusahaan swasta ikut tender untuk proyek tersebut.
Dikatakan, beberapa bentuk korupsi sepertinya sengaja dilegalkan, dibuat aturan dan sebagainya, yang tujuan sebenarnya adalah mendapat penghasilan tambahan di luar gaji dan belasan tunjangan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Dari uraian di atas, tak salah jika masyarakat di grass root mengatakan, “Sesungguhnya perilaku negative para anggota DPR selama ini menjadikan mereka laiknya penjagal berdarah dingin yang telah membunuhi rakyatnya sendiri secara perlahan tapi pasti melalui pemborosan dana negara dan korupsi hak-hak asasi rakyat”.

Pertanyaannya, mengapa malang sekali nasib DPR yang terus ‘ditelanjangi’? Menurut Saifuddin, itu sebenarnya konsekuensi logis dari tiga hal.

Pertama, menguatnya peran lembaga dewan dalam mengendalikan keuangannya sendiri, sehingga lembaga dewan menjadi sangat leluasa dalam pengalokasian anggaran. Namun masalahnya adalah bahwa keleluasaan itu tak diiringi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Kedua, semakin munculnya keberanian warga mempertanyakan kinerja legislatif atas dasar pengalaman terdahulu.
Ketiga, semakin mudahnya masyarakat memperoleh informasi atas sikap tindak dan program-program pembangunan. (net/jpnn)

Hasil Survey Transparancy Internasional Indonesia (TII), legislative (DPR/DPRD) lagi–lagi memecahkan rekor menjadi lembaga terkorup di Indonesia, tahun 2009 dan 2010 masih tetap di peringkat teratas dengan skor 4,4 diikuti lembaga peradilan dan kepolisian dan partai politik, kementrian dan diikuti swasta.

Caretaker Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Andris Wabdaron menya takan, survey yang dilaku kan pada tahun 2010, DPR menjuarai peringkat lembaga terkorup di republik ini bila dihadap-hadapkan dengan lembaga yudikatif dan eksekutif.

‘’Fakta sejumlah anggotanya dari berbagai komisi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat kasus suap, gratifikasi, percaloan, dan korupsi anggaran,’’ ujarnya dalam siaran pers yang diterima Manokwari Pos, Senin (1/8).

Khusus di Propinsi Papua Barat, menurut LP3BH, sejak tahun 2005 telah ada indikasi berbagai kasus korupsi hampir di semua kabupaten/kota di propinsi ini. Sebagian sudah disidik dan disidangkan di Pengasilan Negeri bahkan ada yang disidangkan di Pengadilan Tipikor. Dan banyak pejabat publik yang harus dilempar ke balik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya akibat mencuri uang rakyat/negara.

‘’Ini menjadi tantangan bagi lembaga penegak hukum, kejaksaan dan kepolisian di daerah ini. Kita tidak bisa berharap banyak kepada KPK akan bisa melakukan pemantauan terhadap indikasi korupsi di daerah-daerah khususnya DPRD kabupaten/kota serta propinsi Papua Barat,’’ tandasnya.

LP3BH mengajak segenap masyarakat di Papua Barat untuk mendukung dan mensupport  kejaksaan dan kepolisian untuk memberantas korupsi di daerah ini. ‘’Jangan ada ampun bagi pejabat publik yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,’’ tegasnya.

LP3BH Manokwari lanjut Andris, melalui Jaringan Advokasi LSM Papua Barat, yang  saat ini lagi konsen pada advokasi anggaran publik, mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Manokwari dengan berani dan siap mengadapi keputusannya menetapkan 44 anggota DPRD Propinsi Papua Barat sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi.‘’Ini menunjukan bahwa Kejaksaan tidak main–main dalam menyeret penjabat publik yang terindikasi menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri dan atau kelompok,’’ tambahnya.(lm/jpnn)

Bulan-bulanan Kritik

Lembaga tinggi Negara serupa DPR menjadi tumpuan harapan seluruh anak negeri agar bisa memperoleh hak-hak dasar mereka setelah menunaikan kewajiban dalam berbagai pemilu. Tapi realitanya mengecewakan.

Peminat kajian sosial keagamaan Ahmad Arif berpendapat, DPR justeru menjadi bulan-bulanan kritik masyarakat luas yang tidak puas dengan kinerja dan performa mereka. Tragisnya, laiknya pendekar mabuk, kini DPR sedang mencari-cari objek dari kekesalan mereka terhadap tsunami kritikan yang tak berhenti menerjang dan menghantam dari semua sisi. Objek itu akan dijadikan isu pengalih dari isu yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, lembaga yang katanya terhormat itu akan mensomasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) karena dinilai memberikan informasi menyesatkan kepada media massa karena telah menyebarkan siaran pers soal uang pulsa anggota DPR. Jika somasi betul dilakukan, bukankah itu semakin menegaskan bentuk arogansi dan sikap antikritik DPR?

Sebelumnya, pelesiran DPR berbungkus kunjungan kerja atau studi banding ke sejumlah Negara di Eropa, China dan Australia, yang menghabiskan uang rakyat lebih dari Rp 12 milliar, juga mendapat sorotan tajam. Selain itu, ngototnya mereka membangunkan gedung baru super megah dan mewah yang menelan Rp 1.16 triliun – meskipun kini beredar angka Rp 777 milliar sebagai koreksi atas angka sebelumnya- menjadi preseden buruk.

Dalam sebuah tulisannya, lebih jauh Ahmad Arif  menyatakan, Beberapa waktu lalu LSM Kemitraan mengeluarkan hasil surveinya yang menyatakan bahwa legislatif adalah lembaga terkorup di Indonesia. Hal yang sangat merisaukan adalah bahwa hasil tersebut tak berbeda dengan hasil survey yang dilakukan tahun 2001 yang pernah dilakukan Transparansi Internasional.

Artinya, korupsi di legislatif ternyata tak berubah meskipun sudah dalam rentang waktu 10 tahun. Fakta ini tentu sangat menyesakkan dada. Tiada tahun yang berlalu tanpa melihat anggota legislatif yang jadi pesakitan; menjadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi, dan kemudian dikirim ke penjara oleh hakim karena terbukti bersalah.
Mereka yang diadili itu ada yang mantan anggota legislatif periode 1999-2004, periode 2004-2009, dan beberapa di antaranya adalah hasil pemilu 2009 yang lalu. Kadang kala kasusnya bukan satu-dua, melainkan sudah beramai-ramai, sehingga disebut korupsi berjamaah.

Pernah ada kasus di satu kabupaten di Jawa, kejaksaan menangkap 39 mantan anggota DPRD sekaligus, seperti juga KPK beberapa waktu lalu yang menangkap 26 mantan anggota DPR-RI karena kasus korupsi (suap) pemilihan Gubernur Bank Indonesia.

Seperti apa modus korupsi di legislatif? Beberapa analisis menunjukkan modus-modus yang sangat menarik, dari cara paling kasar sampai cara paling halus.

Pertama, legislatif memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, yang dalam prosesnya melibatkan juga pihak eksekutif.

Kedua, anggota legislatif menyalurkan dana APBD bagi lembaga/yayasan fiktif, yang biasanya melibatkan rekan atau sahabat para anggota legislatif.

Ketiga, anggota legislatif melakukan manipulasi perjalanan dinas.

Korupsi oleh legislatif juga terjadi dalam bentuk kongkalikong para anggota legislatif dengan pihak swasta dalam meloloskan program pembangunan tertentu, dan kemudian perusahaan swasta ikut tender untuk proyek tersebut.
Dikatakan, beberapa bentuk korupsi sepertinya sengaja dilegalkan, dibuat aturan dan sebagainya, yang tujuan sebenarnya adalah mendapat penghasilan tambahan di luar gaji dan belasan tunjangan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Dari uraian di atas, tak salah jika masyarakat di grass root mengatakan, “Sesungguhnya perilaku negative para anggota DPR selama ini menjadikan mereka laiknya penjagal berdarah dingin yang telah membunuhi rakyatnya sendiri secara perlahan tapi pasti melalui pemborosan dana negara dan korupsi hak-hak asasi rakyat”.

Pertanyaannya, mengapa malang sekali nasib DPR yang terus ‘ditelanjangi’? Menurut Saifuddin, itu sebenarnya konsekuensi logis dari tiga hal.

Pertama, menguatnya peran lembaga dewan dalam mengendalikan keuangannya sendiri, sehingga lembaga dewan menjadi sangat leluasa dalam pengalokasian anggaran. Namun masalahnya adalah bahwa keleluasaan itu tak diiringi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Kedua, semakin munculnya keberanian warga mempertanyakan kinerja legislatif atas dasar pengalaman terdahulu.
Ketiga, semakin mudahnya masyarakat memperoleh informasi atas sikap tindak dan program-program pembangunan. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

Terpopuler

Artikel Terbaru

/