PN Medan Resmi Miliki 4 Hakim Ad Hoc Tipikor
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Kota Medan, Sumatera Utara telah diresmikan sejak Sejak 28 April 2011 lalu oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) RI Harifin A Tumpak bertempat di Banjarmasin. Selang beberapa pekan, PN Medan resmi memiliki hakim ad hoc Tipikor.
Ya, Ketua PN Medan Panusunan Harahap melantik 4 hakim adhoc Tipikor yang akan menyidangkan kasus-kasus korupsi di Sumut dan NAD. Pelantikan tersebut berlangsung di ruang sidang utama PN Medan, Senin (2/4) Sekitar Pukul 11.00 WIB. Keempat Hakim ad hoc Tipikor yang dilantik adalah Rodslowny L Tobing SH MT, Tirta Winata SH, Mery Purba SH, dan Denny Iskandar SH.
Di sela-sela acara pelantikan tersebut, Panusunan Harahap meminta pada keempat hakim ad hoc Tipikor yang baru dilantik agar dapat mengemban amanah dengan menjalankan fungsi jabatan secara baik, jujur dan adil. “Hakim banyak mendapatkan tantangan dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu diharapkan agar hakim bertindak seadil-adilnya dalam mengambil keputusan dalam peradilan,” tegas Panusunan.
Pengadilan tipikor merupakan mata rantai dalam penegakan hukum dan harapan masyarakat sebagai tumpuan terakhir dalam penanganan perkara korupsi. Oleh karena itu, hakim harus mampu untuk menangani perkara korupsi dengan berbekal ilmu dan pengalaman serta integritas moral yang tinggi pasti akan mampu menangani perkara tersebut. Dan, para tersangka tentu saja dengan berbagai dalih atau cara untuk membentengi dirinya dari jeratan hukum, dengan cara mempengaruhi hakim seperti penyuapan dan kekuasaan yang akan digunakan untuk menekan para hakim. “Sebagai hakim agar tetap netral dan adil dalam mengambil keputusan di peradilan. Apalagi saat ini PN Medan, banyak memperadilkan kasus-kasus korupsi,” tegas Panusunan Harahap.
Pada 28 April lalu, tak hanya Medan, pada peresmian tersebut sekaligus diresmikan 13 Pengadilan Tipikor lainnya berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI no 022/KMA/SK/II/2011. Yakni Pengadilan Tipikor pada PN Padang, Pekanbaru, Palembang, Tanjungkarang, Serang, Jogjakarta, Banjarmasin, Pontianak, Samarinda, Makassar, Mataram, Kupang dan Jayapura.
Sehingga dengan demikian di Indonesia saat ini telah terdapat Pengadilan Tipikor sebanyak 18 pengadilan. Ditambah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang merupakan (Pengadilan Tipikor pertama), Semarang, Bandung dan Surabaya yang telah beroperasi terlebih dahulu.
Usai Pengadilan Tipikor pada PN Medan diresmikan, maka semua perkara korupsi di seluruh Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan dilimpahkan ke pengadilan Tipikor pada PN Medan. Namun bagi kasus Tipikor yang sebelumnya sudah berjalan di PN Kabupaten/kota lain, maka akan tetap ditangani oleh PN setempat.
“Dengan diresmikannya (pengadilan Tipikor) di 14 provinsi kemarin, berarti sudah ada 18 pengadilan. Jadi masih perlu lagi sekitar 12 atau 14 lagi,” kata Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa, saat itu.(bbs/Rud)
Bagaimana ketika Pensiun?
Dibentuknya 18 peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia belum menjamin korupsi di daerah, bakal berkurang. Pasalnya, masih terbatasnya jangkauan pengawasan dan akses informasi di daerah akan berdampak pada rawannya penyuapan terhadap para penegak hukum. Karena itu dibutuhkan, hakim yang berintegritas tinggi dan loyalitas baik.
M Nur Sholikin, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengatakan hal itu belum lama ini. Menurutnya, untuk mendapatkan hakim yang mempunyai qualifikasi tersebut, akan sangat tergantung pada rekrutmen para hakimnya. “Kalau bisa mendapatkan hakim yang berintegritas tinggi dan loyalitas baik, Tipikor daerah bisa menang lawan koruptor,” ujarnya.
Nah, terkait dengan itu, masalah hakim ad hoc Tipikor yang ideal ini memang menarik. Pasalnya, MA telah 3 kali melakukan seleksi hakim adhoc tindak pidana korupsi (tipikor). Namun, dari 3 kali seleksi peminatnya selalu kurang dari target UU. Mengapa?
“Ada 3 alasan yang pertama karena hakim adhoc tipikor tidak boleh mempunyai profesi lain baik sebagai dosen, pengacara, atau lainnya,” jelas ahli pidana UII, Yogyakarta, Mudzakir.
Alasan pertama ini menjadikan orang yang berpengalaman dalam bidang hukum enggan melepaskan profesi utamanya. Apalagi, jika pendapatan hakim ad hoc per bulan lebih rendah. “Ada teman saya seorang advokat. Lolos seleksi jadi hakim adhoc. Tapi mengundurkan diri karena penghasilannya jauh dari profesi semula,” ujar tim perumus RUU KUHP/KUHAP ini.
Alasan kedua, hakim ad hoc tidak boleh mempunyai pekerjaan lain selain mengadili di Pengadilan. Yang ketiga yaitu masa depan hakim ad hoc tidak jelas seperti jaminan hari tua dan sebagainya. Apalagi mengingat beberapa waktu lalu gaji hakim ad hoc tipikor tertunda beberapa minggu. “Bagaimana ketika pensiun dari hakim ad hoc?” tambahnya. (bbs/jpnn)