26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

5 Presiden tak Mampu Hapus Korupsi

MK Nilai Slogan hanya Omong Kosong Belaka

Upaya pemerintah untuk menghapus atau melenyapkan tindakan korupsi di Indonesia dengan melakukan reformasi birokrasi dinilai tidak berhasil. Bahkan, hingga saat ini tindakan korupsi kian merajalela dan berkembang di daerah.

Alasan itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pesimis bahwa pemerintah bisa menuntaskan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurutnya, hingga saat pemberantasan korupsi hanyalah wacana dan teori belaka. Bahkan, setelah kepemimpinan lima presiden pun tak terbukti mampu menghapuskan korupsi di Indonesia. “Banyak orang berbicara hapus korupsi, dan itu hanya teorinya saja. Sekarang itu kuncinya bertindak, bukan teori. Jujur saja, saya malu bicara masalah birokrasi dan korupsi seperti ini. Karena, lima orang Presiden saja tidak mampu menghapuskannya,” terang Mahfud dalam acara Deklarasi Nasional Birokrasi Bersih dan Melayani di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (8/12).

Mahfud mengungkapkan, hingga saat ini banyak orang yang selalu aktif menyuarakan anti korupsi dan secara tegas memberikan opini dan solusi penghapusan korupsi.  Namun, lanjut Mahfud, itu hanya omong kosong.  “Buktinya, orang-orang yang dulunya lantang dan tegas anti korupsi dan hapuskan korupsi, namun ketika diberi jabatan memimpin suatu lembaga ternyata ia pun korupsi. Maka itu, jangan hanya ngomong dan teori. Harus bertindak juga,” tegasnya.

Ia sempat mengakui bahwa dirinya enggan untuk hadir dalam acara Deklarasi ini. Itu disebabkan sudah tidak ada teori lagi yang harus diungkapkan karena korupsi pun tetap berjalan. “Saya sudah tidak tahu harus  berteori seperti apa lagi. Sekarang ini, tugas saya hanya mengetok pejabat atau siapapun yang melakukan korupsi,” imbuhnya. Begitu pun dengan adanya deklarasi ini, Mahfud berharap agar jalannya reformasi borokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Masalahnya, kesalahan bukan pada penyuap, melainkan pada yang meminta suap. “Para penyuap tidak akan menyuap jika tidak ada yang minta disuap. Di birokrasi kita saat ini, justru pejabat birokrasinya yang minta disuapin. Jika tidak disuapin, maka akan dipersulit. Kuncinya, harus ditindak saja,” jelas Mahfud.

Dalam kesempatan yang sama Pengamat Hukum sekaligus penggiat anti korupsi, Teten Masduki mengakui korupsi di Indonesia sulit dihapus. “Di dalam reformasi birokrasi ini tidak bisa menghapus suatu predatory yang menguasai  perekonomisan, politik dan lainnya di dalam pemerintahan. Saya melihat justru yang  lahir saat ini adalah sebuah oligarki hybrid baru dan sangat mengganggu birokrasi kita. Ini menjadi problem nasional,” tukasnya.

Dari kondisi demikian, lanjut Teten, mengakibatkan demokratis di Indonesia  mengalami kemunduran. Menurutnya, dulu masyarakat menilai bahwa korupsi tumbuh dari kepemimpinan yang otoriter. Akan tetapi sekarang ini tindakan korupsi justru bersandingan dengan demokrasi. “Banyak sekali kasus yang terjadi. Misalnya, proses pengangkatan Kepala Sekolah (Kepsek) saat ini hampir mirip jaman kolonial. Reformasi birokrasi gagal menyingkirkan elit birokrasi yang dikembangkan elit yang korup,” ungkapnya.

Contoh lainnya, saat ini banyak sekali tindakan suap menyuap dan korupsi di Pengadilan, Kejaksaaan dan lainnya. Bukti tersebut, terang Teten, adalah salah satu faktor penghambat jalannya proses reformasi birokrasi. Namun, yang terpenting dan dibutuhkan saat ini adalah leadership dari sang pemimpin negara yakni Presiden. “Presiden tidak berani dan tidak tegas dalam menghapus kotornya lembaga-lembaga yang terbukti korupsi. Dulu jaman Presiden Soeharto, beliau berani menyingkirkan oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai yang terkenal kotor luar biasa dan mengerahkan 1500 anggota BPKP untuk mengaudit. Nah, kenapa kasus Nazarudin tak kunjung selesai? Kenapa Presiden tidak berani mengambil langkah seperti Presiden terdahulu?  Tetapi ya sudah lah, kita jangan berharap banyak deh, karena kita pasti kecewa,” serunya.

Guru Besar UI bidang Ilmu Administrasi, Prof. Azhar Kasim yang juga selaku Ketua Panitia Deklarasi Nasional Birokrasi Bersih dan Melayani menjelaskan, deklarasi ini merupakan ajang menginisiasi gerakan massa untuk mendukung, menggerakkan dan mendorong terwujudnya reformasi administrasi (birokrasi) di Indonesia.

“Birokrasi adalah suatu instrument penting negara. Akan tetapi, di Indonesia ternyata menilai perbaikan birokrasi adalah suatu hal yang berat dan lamban serta pemerintah cenderung tidak sensitif. Ini mengakibatkan Indonesia mengalami krisis. Maka itu, dengan deklarasi ini, birokrasi harus ditata kembali tentunya dengan konteks menuju pembangunan,” ungkap Azhar.

Dari ratusan deklarator yang hadir , lima diantaranya adalah Mahfud MD (perwakilan yudikatif), Dewi Aryani (perwakilan legislatif), Putri Wardani (perwakilan pengusaha), Joko Widodo (Walikota Solo), Teten Masduki.

Selain itu, hadir pula tokoh dan senior gerakan perubahan birokrasi dan turut serta sebagai deklarator yaitu Prof. Dr Sofian Effendi, Bapak Sarwono Kusumaatmadja, Bapak J Kristiadi, Bupati Serdang Bedagai, Bupati Samosir, Bupati Sumbawa Barat, Bupati, Mamuju, Walikota Denpasar dan Walikota Kediri. Puluhan profesor, rektor, dekan dari berbagai universitas, kalangan praktisi birokrat,politisi,pengusaha dan lain-lain juga menyatakan hadir dan mendukung. (cha/jpnn)

MK Dianggap Banyak Bicara

DESAKAN demi desakan terus dialamatkan kepada aparat penegak hukum untuk memeriksa dugaan rekening gendut milik Pegawai Negeri Sipil, baik yang muda maupun tua. “Siapapun ia, mau itu PNS muda atau tua, pensiun atau veteran, kalau kemudian gunakan cara tidak halal dan menyalahi aturan, apalagi terindikasi korupsi, periksa,” tegas Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, Kamis (8/12), di Jakarta.

“Kalau punya rekening gendut yang tidak karuan, harus diperiksa,” tegas Ketua DPP Partai Golkar, itu.

Ia mengingatkan, siapapun tanpa terkecuali, mau itu PNS di lingkungan aparat penegak hukum, BEA Cukai, Imigrasi, yang bisa jadi pintu masuk kegiatan itu karena dianggap lahan basah, jangan sampai dibiarkan.

Priyo juga mengingatkan Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi (PPATK), jangan tergoda untuk ikut-ikutan banyak bicara seperti Mahkamah Konstitusi. “Lebih bagus bersikap tenang, berikan bukti kepada Kejaksaan Agung, kepolisian bila perlu KPK agar penegak hukum yang resmi bisa menindaklanjuti,” katanya.

Kalau Pimpinan PPATK, ikut banyak bicara seperti MK, maka Priyo menganjurkan jadikan saja mereka itu Anggota DPR baru. “Harusnya irit bicara. PPATK hendaknya jangan tergoda menjadi anggota parlemen baru. Saya hargai temuan PPATK, dan harus ditindaklanjuti. (cha/jpnn)

MK Nilai Slogan hanya Omong Kosong Belaka

Upaya pemerintah untuk menghapus atau melenyapkan tindakan korupsi di Indonesia dengan melakukan reformasi birokrasi dinilai tidak berhasil. Bahkan, hingga saat ini tindakan korupsi kian merajalela dan berkembang di daerah.

Alasan itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pesimis bahwa pemerintah bisa menuntaskan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurutnya, hingga saat pemberantasan korupsi hanyalah wacana dan teori belaka. Bahkan, setelah kepemimpinan lima presiden pun tak terbukti mampu menghapuskan korupsi di Indonesia. “Banyak orang berbicara hapus korupsi, dan itu hanya teorinya saja. Sekarang itu kuncinya bertindak, bukan teori. Jujur saja, saya malu bicara masalah birokrasi dan korupsi seperti ini. Karena, lima orang Presiden saja tidak mampu menghapuskannya,” terang Mahfud dalam acara Deklarasi Nasional Birokrasi Bersih dan Melayani di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (8/12).

Mahfud mengungkapkan, hingga saat ini banyak orang yang selalu aktif menyuarakan anti korupsi dan secara tegas memberikan opini dan solusi penghapusan korupsi.  Namun, lanjut Mahfud, itu hanya omong kosong.  “Buktinya, orang-orang yang dulunya lantang dan tegas anti korupsi dan hapuskan korupsi, namun ketika diberi jabatan memimpin suatu lembaga ternyata ia pun korupsi. Maka itu, jangan hanya ngomong dan teori. Harus bertindak juga,” tegasnya.

Ia sempat mengakui bahwa dirinya enggan untuk hadir dalam acara Deklarasi ini. Itu disebabkan sudah tidak ada teori lagi yang harus diungkapkan karena korupsi pun tetap berjalan. “Saya sudah tidak tahu harus  berteori seperti apa lagi. Sekarang ini, tugas saya hanya mengetok pejabat atau siapapun yang melakukan korupsi,” imbuhnya. Begitu pun dengan adanya deklarasi ini, Mahfud berharap agar jalannya reformasi borokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Masalahnya, kesalahan bukan pada penyuap, melainkan pada yang meminta suap. “Para penyuap tidak akan menyuap jika tidak ada yang minta disuap. Di birokrasi kita saat ini, justru pejabat birokrasinya yang minta disuapin. Jika tidak disuapin, maka akan dipersulit. Kuncinya, harus ditindak saja,” jelas Mahfud.

Dalam kesempatan yang sama Pengamat Hukum sekaligus penggiat anti korupsi, Teten Masduki mengakui korupsi di Indonesia sulit dihapus. “Di dalam reformasi birokrasi ini tidak bisa menghapus suatu predatory yang menguasai  perekonomisan, politik dan lainnya di dalam pemerintahan. Saya melihat justru yang  lahir saat ini adalah sebuah oligarki hybrid baru dan sangat mengganggu birokrasi kita. Ini menjadi problem nasional,” tukasnya.

Dari kondisi demikian, lanjut Teten, mengakibatkan demokratis di Indonesia  mengalami kemunduran. Menurutnya, dulu masyarakat menilai bahwa korupsi tumbuh dari kepemimpinan yang otoriter. Akan tetapi sekarang ini tindakan korupsi justru bersandingan dengan demokrasi. “Banyak sekali kasus yang terjadi. Misalnya, proses pengangkatan Kepala Sekolah (Kepsek) saat ini hampir mirip jaman kolonial. Reformasi birokrasi gagal menyingkirkan elit birokrasi yang dikembangkan elit yang korup,” ungkapnya.

Contoh lainnya, saat ini banyak sekali tindakan suap menyuap dan korupsi di Pengadilan, Kejaksaaan dan lainnya. Bukti tersebut, terang Teten, adalah salah satu faktor penghambat jalannya proses reformasi birokrasi. Namun, yang terpenting dan dibutuhkan saat ini adalah leadership dari sang pemimpin negara yakni Presiden. “Presiden tidak berani dan tidak tegas dalam menghapus kotornya lembaga-lembaga yang terbukti korupsi. Dulu jaman Presiden Soeharto, beliau berani menyingkirkan oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai yang terkenal kotor luar biasa dan mengerahkan 1500 anggota BPKP untuk mengaudit. Nah, kenapa kasus Nazarudin tak kunjung selesai? Kenapa Presiden tidak berani mengambil langkah seperti Presiden terdahulu?  Tetapi ya sudah lah, kita jangan berharap banyak deh, karena kita pasti kecewa,” serunya.

Guru Besar UI bidang Ilmu Administrasi, Prof. Azhar Kasim yang juga selaku Ketua Panitia Deklarasi Nasional Birokrasi Bersih dan Melayani menjelaskan, deklarasi ini merupakan ajang menginisiasi gerakan massa untuk mendukung, menggerakkan dan mendorong terwujudnya reformasi administrasi (birokrasi) di Indonesia.

“Birokrasi adalah suatu instrument penting negara. Akan tetapi, di Indonesia ternyata menilai perbaikan birokrasi adalah suatu hal yang berat dan lamban serta pemerintah cenderung tidak sensitif. Ini mengakibatkan Indonesia mengalami krisis. Maka itu, dengan deklarasi ini, birokrasi harus ditata kembali tentunya dengan konteks menuju pembangunan,” ungkap Azhar.

Dari ratusan deklarator yang hadir , lima diantaranya adalah Mahfud MD (perwakilan yudikatif), Dewi Aryani (perwakilan legislatif), Putri Wardani (perwakilan pengusaha), Joko Widodo (Walikota Solo), Teten Masduki.

Selain itu, hadir pula tokoh dan senior gerakan perubahan birokrasi dan turut serta sebagai deklarator yaitu Prof. Dr Sofian Effendi, Bapak Sarwono Kusumaatmadja, Bapak J Kristiadi, Bupati Serdang Bedagai, Bupati Samosir, Bupati Sumbawa Barat, Bupati, Mamuju, Walikota Denpasar dan Walikota Kediri. Puluhan profesor, rektor, dekan dari berbagai universitas, kalangan praktisi birokrat,politisi,pengusaha dan lain-lain juga menyatakan hadir dan mendukung. (cha/jpnn)

MK Dianggap Banyak Bicara

DESAKAN demi desakan terus dialamatkan kepada aparat penegak hukum untuk memeriksa dugaan rekening gendut milik Pegawai Negeri Sipil, baik yang muda maupun tua. “Siapapun ia, mau itu PNS muda atau tua, pensiun atau veteran, kalau kemudian gunakan cara tidak halal dan menyalahi aturan, apalagi terindikasi korupsi, periksa,” tegas Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, Kamis (8/12), di Jakarta.

“Kalau punya rekening gendut yang tidak karuan, harus diperiksa,” tegas Ketua DPP Partai Golkar, itu.

Ia mengingatkan, siapapun tanpa terkecuali, mau itu PNS di lingkungan aparat penegak hukum, BEA Cukai, Imigrasi, yang bisa jadi pintu masuk kegiatan itu karena dianggap lahan basah, jangan sampai dibiarkan.

Priyo juga mengingatkan Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi (PPATK), jangan tergoda untuk ikut-ikutan banyak bicara seperti Mahkamah Konstitusi. “Lebih bagus bersikap tenang, berikan bukti kepada Kejaksaan Agung, kepolisian bila perlu KPK agar penegak hukum yang resmi bisa menindaklanjuti,” katanya.

Kalau Pimpinan PPATK, ikut banyak bicara seperti MK, maka Priyo menganjurkan jadikan saja mereka itu Anggota DPR baru. “Harusnya irit bicara. PPATK hendaknya jangan tergoda menjadi anggota parlemen baru. Saya hargai temuan PPATK, dan harus ditindaklanjuti. (cha/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/