Di Medan, Seorang Nasabah Citibank Mengadu
Untuk saat ini permasalahan kinerja debt collector sedang menjadi topik yang hangat, baik di media cetak maupun media elektronik.
Ternyata tidak hanya di Jakarta, nasabah Citibank di Medan pun mengalami hal yang sama.
Beruntung, permasalahan itu belum sampai menjurus kepada kekerasan fisik. Namun yang jelas, seorang nasabah Citi Bank atau pemegang kartu kredit visa Citibank 4541 79104008xxxx, bernama SH warga Kecamatan Medan Barat membuat pengaduan ke Biro Bantuan Hukum dan Jasa Administrasi Firman Jalan Kiwi No 80 AA Medan.
Berangkat dari pengaduan tersebut, Biro Bantuan Hukum dan Jasa Administrasi Firman pada tanggal 4 Maret 2011 lalu melayangkan surat yang ditujukan kepada Pimpinan Citibank Bagian Kartu Kredit. Dalam surat tersebut tertera bahwa, adanya tindakan oknum pihak Citibank selaku penagih kartu kredit yang bertindak di luar kewajaran.
Di dalam surat tersebut tertera beberapa alasan keberatan dari Samin yang disampaikan oleh biro bantuan hukum tersebut. Intinya, dalam surat yang ditandatangi oleh Direktur Anuar Shah dan pengacara Biro Bantuan Hukum Firman yakni, Marwan SH dan Sukatno SH itu, pengaduh keberatan dengan Citibank. Pasalnya, sebagai nasabah yang tercatat sejak 2009, SH, mengaku hanya satu kali menggunakan kartu visa tersebut. Itu pun menurut keterangannya telah dibayarnya sesuai tagihan dari Citibank. Namun, dirinya dikejutkan dengan datangnya tagihan dari Citibank sebesar Rp8 juta tanpa disertai dengan perincian pemakaian dari jumlah tagihan tersebut.
Setelah mengkonfirmasi ke pihak bank, SH tidak juga mendapat kejelasan. Tidak hanya sekali, SH juga sudah berulang kali mendatangi pihak Citibank untuk memperjelas masalah tersebut, tetap saja apa yang diamui tak kesampaian. Bahkan oknum pihak Citibank yang mengaku-ngaku debt collector kartu kredit Citibank berulang kali melakukan penagihan via telepon kepada SH. Yang lebih menyakitkan lagi, SH masuk dalam daftar black list di dunia Perbankan gara-gara hal itu. Karena itu, pihak Biro Bantuan Hukum Firman melalui suratnya menerangkan kalau klien mereka, SH, mengalami kerugian yang cukup besar baik moril maupun materil. Mereka pun meminta pihak Citibank untuk mencabut nama SH dari daftar hitam yang berada pada seluruh lembaga pembiayaan baik bank maupun nonbank.
Terkait dengan permasalahan ini, Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia (BI) Regional Sumut-NAD, Elli Tjan mengatakan bahwa sang nasabah dapat melaporkan hal ini kepada unit pengaduan bank bersangkutan, baik secara lisan ataupun tulisan, dan apabila tidak mendapatkan jawaban baru dapat dilaporkan ke pihak BI.
Elli juga menegaskan, pada peraturan BI no 11/11/PBI/2009, tepatnya pada pasal 21 ada pasal yang mengakui keberadaan “pihak-pihak diluar pihak lain” (debt collector). Tetapi hal tersebut bukan menjadi tanggung jawab BI, melainkan tanggung jawab dari bank yang menggunakan jasa pihak ketiga tersebut. Tetapi harus ada laporan dari bank ke BI. Dalam peraturan tersebut juga diketahui, apabila kerja penerbit, principal kartu kredit tidak sesuai, maka BI dapat mencabut izin usaha mereka.
Elli juga menjelaskan, pada peraturan ini juga dijelaskan bahwa bank harus menggunakan manajemen risiko yang telah ditetapkan. Manajemen risiko yang dimaksud adalah manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, manajemen risiko operasional, dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam penerapan manajemen risiko tersebut, penerbit atau acquirer diharuskan juga memiliki kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu Kredit. Atau dengan kata lain, bahwa bank harus menyiapkan dana untuk kredit yang macet. “Tetapi bukan berarti kredit tidak harus dibayar karena utang adalah utang. Apabila kredit tidak dibayar, maka dapat terjadi kredit macet dan nama orang tersebut akan masuk ke data base, sehingga pihak bank tidak akan mempercayai orang tersebut,” ujar Elli.
“Atau dengan kata lain, sebelum debitur tidak melunasi kredit yang terdahulu, maka pihak bank dari manapun tidak akan memberikan kredit yang baru kepada para debitur sebelum kredit terdahulu dilunasi,” tambahnya.(ari/mag-9)
—
Polisi Dilarang Ikut-ikutan
Soal debt collector yang cenderung overacting ditengarai karena memiliki beking yang kuat. Ujung-ujungnya, pihak Polri pun dikaitkan.
Menjawab hal itu, pihak Poldasu langsung bersuara. Mereka pun siap memberikan sanksi bagi anggota yang nakal. Melalui Kabid Humas Poldasu, Kombes Heri Subiansaori menekankan personel polisi untuk tidak ikut-ikutan terlibat dalam jsa penagih utang tersebut.
Bila ada anggota Polri yang membekingi jasa debt collector akan ditindak. “Laporkan kalau ditemukan. Pasti akan diberikan sanski karena telah melakukan pelanggaran kode etik,” ujarnya, Minggu (10/4).
Dijelaskan Heri, membekingi debt collector jelas jelas dilarang dalam Undang-undang Polri. “Lain halnya kalau perusahan sudah melaporkannya ke polisi, kan sudah ada laporan yang akan diberi surat perintah dari komandannya. Jadi bila ada polisi mengawal untuk bertemu dengan konsumen, itu hannya membantu antara pemilik barang dan konsumennya,” ucap Heri.
Jadi, lanjut Heri, dari data dan laporan yang diterima, belum ada anggota Polri yang membekingi jasa penagih utang tersebut. Heri juga mengingatkan kepada debt collector dan pelanggan harus sama-sama menjaga etika.
“ Jadi debt collector dan nasabah yang memenuhi persayaratan harus menjaga etika. Kita kan sama-sama membutuhkan,” ungkapnya. (adl)