25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sembunyi di Balik Ekstradisi

Dalam 10 Tahun 45 Koruptor Lari ke Luar Negeri

Siapa yang tak kenal Singapura? Hampir semua orang pasti mengenal salah satu negara di kawasan Asia Tenggara ini, terlebih bagi yang suka pelesiran dan belanja. Namun, ketenaran negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya ini terkadang “dikotori” ulah segelintir orang yang tersandung masalah, terutama persoalan hukum.

Ya, negara berpenduduk lima juta jiwa ini kerap dijadikan tempat menghindari tudingan dan kejaran aparat penegak hukum. Dan, mantan Bendum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bukanlah orang pertama yang lari ke luar negeri di saat sedang menghadapi masalah hukum.

Untuk tujuan Singapura, sebut saja Sjamsul Nursalim (merugikan negara Rp6,9 triliun dan US$ 96,7 juta dalam kasus BDNI), Bambang Sutrisno (Bank Surya, Rp1,5 triliun), dan David Nusa Wijaya (Bank Sertivia, Rp1,26 triliun), dan lainnya.

Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, sudah 45 orang yang mimilih kabur ke luar negeri guna menghindari bui akibat berulah menyikat jatah uang rakyat. Dari jumlah itu, 20 diantaranya menjadikan Singapura menjadi negara tujuan favorit. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebutkan, dari 20 pelarian kasus korupsi yang ngendon di Singapura, hanya satu yang bisa dipulangkan ke tanah air, yakni Gayus Tambunan. Itu pun, bukan lewat pemanggilan paksa, melainkan dengan rayuan.

“Jadi nggak ada yang bisa diambil paksa dari Singapura. Gayus itu kan hasil rayuan (oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Red),” ujar Emerson saat diskusi bertajuk Koruptor Ngeloyor Negara Tekor, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6).

Dijelaskan Eson, panggilan akrabnya, sepanjang 10 tahun terakhir, ada 45 orang, sebagian tersangka dan sebagian lagi sudah divonis, lari ke luar negeri. Sebanyak 20 diantaranya lari ke Singapura. Lainnya ada yang ke Australia, Kanada, Hongkong.

Singapura menjadi negara tujuan favorit, kata Eson, lantaran jaraknya dekat dari Indonesia. Dengan jarak yang dekat ini, mereka masih bisa dengan mudah untuk mengurusi bisinisnya, termasuk berupaya melobi aparat hukum agar nasibya bisa selamat jika balik ke tanah air.

Di Singapura pula, pelarian kasus korupsi ini nyaman lantaran belum ada perjanjian ekstradisi antarkedua negara ini. Ekstradisi! Rupanya celah inilah yang dipakai mereka untuk bersembunyi di tempat lain, terutama jika negara tersebut tidak memiliki perjanjian semacam itu. Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan. Atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya.

Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing. Ini berpedoman pada prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya.
Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979.

Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Ketujuh negara yang telah memiliki perjanjian dengan Indonesia, antara lain Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan (belum diratifikasi), dan Singapura (belum diratifikasi). (sam/boy/net/jpnn)

————–

Ramai-ramai ke Singapura
Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir, sedikitnya sudah ada 45 orang tersangka, terduga maupun terpidana korupsi, yang melarikan diri ke luar negeri. Dari catatan ICW, 18 hingga 20 orang di antaranya kabur ke Singapura.

“Karena, pertama, kondisi geografisnya memudahkan mereka untuk monitoring, koordinasi, terkait dengan bisnisnya maupun proses hukum yang sedang berjalan,” kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, Sabtu (11/6) di Jakarta.

Ia menambahkan, perjanjian ekstradisi juga tidak memberikan garansi bahwa ketika perjanjian ekstradisi itu dibuat, koruptor cepat dipulangkan ke tanah air. “Pertanyaannya adalah, ada perbedaan prinsip soal apa itu korupsi bagi Indonesia dan Singapura. Di Singapura, korupsi dibilang suap-menyuap. Padahal ada beberapa kasus yang bukan suap-menyuap. Tapi, perbuatan mengambil uang negara,” jelas Emerson.

Dia mengatakan lagi, dimungkinkan bagi si orang yang diminta ekstradisi, untuk mengajukan upaya hukum di tingkat negara tersebut. “Jadi tidak ada garansi ketika diminta ekstradisi, langsung cepat diproses,” katanya.

Kemudian, Emerson juga melihat sulitnya memulangkan pelaku dari Singapura, karena perbedaan sistem negara. “Sehingga pemberantasan korupsi ini tidak selesai-selesai,” katanya.

Terkait dengan seringnya Singapura yang diduga jadi pintu gerbang atau tujuan sejumlah koruptor melarikan diri, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan bahwa perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, khususnya Singapura harus segera diwujudkan. Ia menyarankan seharusnya secara resmi Indonesia bersikap mengenai hubungan bilateral antara kedua negara bertetangga ini. Sikap itu bisa berlanjut dengan perjanjian ekstradisi.

Mahfud menjelaskan, saat dirinya menjadi anggota Komisi I DPR, rencana perjanjian ekstradisi ini sebenarnya sudah disiarkan. Ini diperlukan karena banyaknya penjahat dan koruptor yang lari ke Singapura. Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat antarkedua negara, Mahfud menilai penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura.

Ia menekankan, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena para pelaku korupsi asal Indonesia akan mendepositokan sejumlah besar uang hasil korupsinya di Singapura. Hal itu sudah pasti akan menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia.

Namun, Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, membantah ucapan Mahfud soal ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Menurut dia, perjanjian ekstradisi dan persetujuan kerja sama pertahanan sudah ditandatangani oleh kedua negara beberapa waktu lalu.

Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007.
“Singapura berkomitmen penuh terhadap perjanjian tersebut, dan saat ini sedang menunggu Indonesia untuk meratifikasinya,” katanya. (boy/net/jpnn)

Dalam 10 Tahun 45 Koruptor Lari ke Luar Negeri

Siapa yang tak kenal Singapura? Hampir semua orang pasti mengenal salah satu negara di kawasan Asia Tenggara ini, terlebih bagi yang suka pelesiran dan belanja. Namun, ketenaran negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya ini terkadang “dikotori” ulah segelintir orang yang tersandung masalah, terutama persoalan hukum.

Ya, negara berpenduduk lima juta jiwa ini kerap dijadikan tempat menghindari tudingan dan kejaran aparat penegak hukum. Dan, mantan Bendum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bukanlah orang pertama yang lari ke luar negeri di saat sedang menghadapi masalah hukum.

Untuk tujuan Singapura, sebut saja Sjamsul Nursalim (merugikan negara Rp6,9 triliun dan US$ 96,7 juta dalam kasus BDNI), Bambang Sutrisno (Bank Surya, Rp1,5 triliun), dan David Nusa Wijaya (Bank Sertivia, Rp1,26 triliun), dan lainnya.

Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, sudah 45 orang yang mimilih kabur ke luar negeri guna menghindari bui akibat berulah menyikat jatah uang rakyat. Dari jumlah itu, 20 diantaranya menjadikan Singapura menjadi negara tujuan favorit. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebutkan, dari 20 pelarian kasus korupsi yang ngendon di Singapura, hanya satu yang bisa dipulangkan ke tanah air, yakni Gayus Tambunan. Itu pun, bukan lewat pemanggilan paksa, melainkan dengan rayuan.

“Jadi nggak ada yang bisa diambil paksa dari Singapura. Gayus itu kan hasil rayuan (oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Red),” ujar Emerson saat diskusi bertajuk Koruptor Ngeloyor Negara Tekor, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6).

Dijelaskan Eson, panggilan akrabnya, sepanjang 10 tahun terakhir, ada 45 orang, sebagian tersangka dan sebagian lagi sudah divonis, lari ke luar negeri. Sebanyak 20 diantaranya lari ke Singapura. Lainnya ada yang ke Australia, Kanada, Hongkong.

Singapura menjadi negara tujuan favorit, kata Eson, lantaran jaraknya dekat dari Indonesia. Dengan jarak yang dekat ini, mereka masih bisa dengan mudah untuk mengurusi bisinisnya, termasuk berupaya melobi aparat hukum agar nasibya bisa selamat jika balik ke tanah air.

Di Singapura pula, pelarian kasus korupsi ini nyaman lantaran belum ada perjanjian ekstradisi antarkedua negara ini. Ekstradisi! Rupanya celah inilah yang dipakai mereka untuk bersembunyi di tempat lain, terutama jika negara tersebut tidak memiliki perjanjian semacam itu. Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan. Atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya.

Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing. Ini berpedoman pada prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya.
Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979.

Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Ketujuh negara yang telah memiliki perjanjian dengan Indonesia, antara lain Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan (belum diratifikasi), dan Singapura (belum diratifikasi). (sam/boy/net/jpnn)

————–

Ramai-ramai ke Singapura
Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir, sedikitnya sudah ada 45 orang tersangka, terduga maupun terpidana korupsi, yang melarikan diri ke luar negeri. Dari catatan ICW, 18 hingga 20 orang di antaranya kabur ke Singapura.

“Karena, pertama, kondisi geografisnya memudahkan mereka untuk monitoring, koordinasi, terkait dengan bisnisnya maupun proses hukum yang sedang berjalan,” kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, Sabtu (11/6) di Jakarta.

Ia menambahkan, perjanjian ekstradisi juga tidak memberikan garansi bahwa ketika perjanjian ekstradisi itu dibuat, koruptor cepat dipulangkan ke tanah air. “Pertanyaannya adalah, ada perbedaan prinsip soal apa itu korupsi bagi Indonesia dan Singapura. Di Singapura, korupsi dibilang suap-menyuap. Padahal ada beberapa kasus yang bukan suap-menyuap. Tapi, perbuatan mengambil uang negara,” jelas Emerson.

Dia mengatakan lagi, dimungkinkan bagi si orang yang diminta ekstradisi, untuk mengajukan upaya hukum di tingkat negara tersebut. “Jadi tidak ada garansi ketika diminta ekstradisi, langsung cepat diproses,” katanya.

Kemudian, Emerson juga melihat sulitnya memulangkan pelaku dari Singapura, karena perbedaan sistem negara. “Sehingga pemberantasan korupsi ini tidak selesai-selesai,” katanya.

Terkait dengan seringnya Singapura yang diduga jadi pintu gerbang atau tujuan sejumlah koruptor melarikan diri, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan bahwa perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, khususnya Singapura harus segera diwujudkan. Ia menyarankan seharusnya secara resmi Indonesia bersikap mengenai hubungan bilateral antara kedua negara bertetangga ini. Sikap itu bisa berlanjut dengan perjanjian ekstradisi.

Mahfud menjelaskan, saat dirinya menjadi anggota Komisi I DPR, rencana perjanjian ekstradisi ini sebenarnya sudah disiarkan. Ini diperlukan karena banyaknya penjahat dan koruptor yang lari ke Singapura. Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat antarkedua negara, Mahfud menilai penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura.

Ia menekankan, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena para pelaku korupsi asal Indonesia akan mendepositokan sejumlah besar uang hasil korupsinya di Singapura. Hal itu sudah pasti akan menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia.

Namun, Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, membantah ucapan Mahfud soal ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Menurut dia, perjanjian ekstradisi dan persetujuan kerja sama pertahanan sudah ditandatangani oleh kedua negara beberapa waktu lalu.

Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007.
“Singapura berkomitmen penuh terhadap perjanjian tersebut, dan saat ini sedang menunggu Indonesia untuk meratifikasinya,” katanya. (boy/net/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/