31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Masyarakat Tidak Bodoh

KOMISI III DPR diingatkan untuk cermat dan cerdas dalam memilih empat pimpinan KPK yang baru. “Jangan sampai mereka memilih pimpinan KPK dari orang yang berasal dari lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan rendah di mata masyarakat,” kata Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Twedy Noviady Ginting kepada Rakyat Merdeka Online (Group Sumut Pos), Minggu (21/8).

Diloloskannya Inpekstur Jendral (Irjen) Pol Purn Aryanto Sutadi (mantan Deputi V Badan Pertanahan Nasional) dan Zulkarnaen (pejabat Kejaksaan Agung) sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Panitia Seleksi Pimpinan KPK disesalkan banyak pihak. Pasalnya, Aryanto dan Zulkarnaen dinilai tak memiliki prestasi yang luar biasa selama kariernya.

Menurut dia, track record calon pimpinan KPK harus diperhatikan secara cermat oleh Komisi III DPR. Hal itu penting dilakukan karena masa depan pemberantasan korupsi ada di tangan mereka. Tak hanya track record, pimpinan KPK yang baru harus berani susah dan yang paling penting tidak kompromi terhadap  korupsi, ujarnya.
Selain itu, pimpinan KPK yang baru harus memiliki integritas dan kredibilitas, berani berantas korupsi tanpa tebang pilih, berani menghadapi tekanan kekuasaan, dan tidak munafik.

“Dengan pimpinan yang memiliki kriteria tersebut maka KPK akan menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Kompromi Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.

Sebelumnya, pada kesempatan lain Ketua Dewan Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Hamid Chalid berharap pada Komisi III DPR memakai pertimbangan politik dalam memilih 4 pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini dinilai sama saja dengan menganggap rakyat bodoh dan tak tahu apa-apa soal calon pimpinan KPK. “Imbauan saya, jangan anggap rakyat bodoh dan jangan terlalu sakiti hati rakyat, ada balasannya nanti,” ujar ketika berbincang kepada wartawan.

Hamid menjelaskan, adalah wajar DPR sebagai lembaga politik menggunakan pertimbangan politik untuk memilih atau melakukan tindakan apapun. Politik, imbuhnya, adalah cara untuk mengelola negara, sehingga politik merupakan suatu akumulasi atau hasil dari apa yang diinginkan rakyat melalui saluran-saluran politik itu dan kemudian membuatnya menjadi nyata.

“Tapi kalau yang dimaksud kekuatan politik itu adalah kepentingan segelintir orang, para koruptor, diri sendiri dan bukan sebagai saluran aspirasi rakyat, jelas maksudnya salah,” tegas doktor hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) ini.

Yang menjadi masalah dan yang mengkhawatirkan, apakah DPR memperhatikan betul suara masyarakat pada umumnya, yaitu, menginginkan pimpinan KPK yang bersih, teguh berpendirian dan berani. Masyarakat, imbuhnya, sudah memiliki asupan informasi mengenai calon-calon pimpinan KPK yang berintegritas melalui Pansel KPK, LSM dan media.

Hamid agak pesimis anggota DPR benar-benar mendengar aspirasi masyarakat, sehingga pertimbangan politik yang dikatakan DPR itu patut dikhawatirkan. Hamid mencontohkan saat Komisi III berkunjung ke Mako Brimob.
“Terakhir kelakuannya di Mako Brimob itu contoh yang amat sangat buruk mengenai seberapa mereka tunjukkan arogansi dan kesombongan di hadapan hukum dan rakyat. Mereka harus berada di atas hukum,” sindirnya.
Dia juga melihat DPR agak bebal untuk memperhatikan suara masyarakat dari bawah.
“Sejauh ini saya melihat, belakangan suara media, suara LSM, gerakan di jalanan, dari tokoh-tokoh yang baik berbicara, nggak ada yang diperhatikan. Mereka (DPR) berpikir menurut maunya saja. Tidak ada usaha, bahkan tidak ada keinginann sedikitpun untuk menyerap aspirasi itu dari rakyat,” sesal Hamid. (net/jpnn)

KOMISI III DPR diingatkan untuk cermat dan cerdas dalam memilih empat pimpinan KPK yang baru. “Jangan sampai mereka memilih pimpinan KPK dari orang yang berasal dari lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan rendah di mata masyarakat,” kata Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Twedy Noviady Ginting kepada Rakyat Merdeka Online (Group Sumut Pos), Minggu (21/8).

Diloloskannya Inpekstur Jendral (Irjen) Pol Purn Aryanto Sutadi (mantan Deputi V Badan Pertanahan Nasional) dan Zulkarnaen (pejabat Kejaksaan Agung) sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Panitia Seleksi Pimpinan KPK disesalkan banyak pihak. Pasalnya, Aryanto dan Zulkarnaen dinilai tak memiliki prestasi yang luar biasa selama kariernya.

Menurut dia, track record calon pimpinan KPK harus diperhatikan secara cermat oleh Komisi III DPR. Hal itu penting dilakukan karena masa depan pemberantasan korupsi ada di tangan mereka. Tak hanya track record, pimpinan KPK yang baru harus berani susah dan yang paling penting tidak kompromi terhadap  korupsi, ujarnya.
Selain itu, pimpinan KPK yang baru harus memiliki integritas dan kredibilitas, berani berantas korupsi tanpa tebang pilih, berani menghadapi tekanan kekuasaan, dan tidak munafik.

“Dengan pimpinan yang memiliki kriteria tersebut maka KPK akan menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Kompromi Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.

Sebelumnya, pada kesempatan lain Ketua Dewan Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Hamid Chalid berharap pada Komisi III DPR memakai pertimbangan politik dalam memilih 4 pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini dinilai sama saja dengan menganggap rakyat bodoh dan tak tahu apa-apa soal calon pimpinan KPK. “Imbauan saya, jangan anggap rakyat bodoh dan jangan terlalu sakiti hati rakyat, ada balasannya nanti,” ujar ketika berbincang kepada wartawan.

Hamid menjelaskan, adalah wajar DPR sebagai lembaga politik menggunakan pertimbangan politik untuk memilih atau melakukan tindakan apapun. Politik, imbuhnya, adalah cara untuk mengelola negara, sehingga politik merupakan suatu akumulasi atau hasil dari apa yang diinginkan rakyat melalui saluran-saluran politik itu dan kemudian membuatnya menjadi nyata.

“Tapi kalau yang dimaksud kekuatan politik itu adalah kepentingan segelintir orang, para koruptor, diri sendiri dan bukan sebagai saluran aspirasi rakyat, jelas maksudnya salah,” tegas doktor hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) ini.

Yang menjadi masalah dan yang mengkhawatirkan, apakah DPR memperhatikan betul suara masyarakat pada umumnya, yaitu, menginginkan pimpinan KPK yang bersih, teguh berpendirian dan berani. Masyarakat, imbuhnya, sudah memiliki asupan informasi mengenai calon-calon pimpinan KPK yang berintegritas melalui Pansel KPK, LSM dan media.

Hamid agak pesimis anggota DPR benar-benar mendengar aspirasi masyarakat, sehingga pertimbangan politik yang dikatakan DPR itu patut dikhawatirkan. Hamid mencontohkan saat Komisi III berkunjung ke Mako Brimob.
“Terakhir kelakuannya di Mako Brimob itu contoh yang amat sangat buruk mengenai seberapa mereka tunjukkan arogansi dan kesombongan di hadapan hukum dan rakyat. Mereka harus berada di atas hukum,” sindirnya.
Dia juga melihat DPR agak bebal untuk memperhatikan suara masyarakat dari bawah.
“Sejauh ini saya melihat, belakangan suara media, suara LSM, gerakan di jalanan, dari tokoh-tokoh yang baik berbicara, nggak ada yang diperhatikan. Mereka (DPR) berpikir menurut maunya saja. Tidak ada usaha, bahkan tidak ada keinginann sedikitpun untuk menyerap aspirasi itu dari rakyat,” sesal Hamid. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

Terpopuler

Artikel Terbaru

/